Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kita Adalah Apa yang Kita Pikirkan!

14 Januari 2019   00:38 Diperbarui: 14 Januari 2019   00:47 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara bising orang-orang di dalam bus, ada bahasa keakraban. Mereka saling bercanda, bersanda gurau. Tak ada yang peduli siapa yang risih dengan coletahnya. Kalau ditanya, maka kujawab itulah bahasa sosial di negeriku.

Mujilah, perempuan paruh baya itu, naik dan masuk bus dengan kaki pincang. Suaminya yang catat terlebih dahulu memasuki lorong bus yang cukup untuk dua orang jalan bersama. Keduanya menelanjangi kursi. Berharap ada kursi yang kosong untuk ditempati. Dua langkah melawan arah bus, seorang aku mempersilahkan duduk perempuan beralis tebal lagi hitam itu. Ia hanya menjawab salam, lalu duduk di sebelahku. 

Di pangkunya tas seharga empat puluh lima ribu. Di sampingnya, suaminya yang bernama Slamet Raharjo menikmati perjalanan. Udara terasa panas, Mujilah menawarkan sebuah kertas untuk suaminya. Barangkali kertas itu mempu meredakan panas di tubuh lelaki cacat itu.

Ya, lelaki yang terpaut tidak jauh usianya, sekitar enam tahun itu cacat karena sebuah tragedi. Entah di tahun berapa ia ceritakan padaku, yang kuingat, lelaki mantan pacar yang kini menjadi suaminya itu tengah melakukan tugas di sebuah Pulau Timur Indonesia. Dalam prosesi penembakan sebuah peluru tersasar di tangannya. Lelaki itu kesakitan, meraung-raung. Darah segar mengalir dari tangan kanannya. Segera ia diberi pertolongan pertama dengan mengikat tangannya menggunakan kain supaya darahnya tak banyak keluar.

Dilarikan ke rumah sakit terdekat dalam keadaan setengah sadar. Entah apa yang terjadi setelah itu, tidak diceritakan oleh perempuan berjilbab itu. Mendadak ia ceritakan suaminya catat. Terpukul. Betapa sedih lelakinya itu. Mujilah mencoba menenangkan suaminya dengan cinta. Ia menguatkan. Katanya, di balik semua ini pasti ada cerita yang akan kita ketahui kelak. 

"Sabar, ikhlas, ikhtiar, Pak!" katanya.

Sabar. Aku tertarik oleh kata itu. Kemudian, aku tanyakan padanya, bagaimana dengan sabar yang dikata orang ada batasnya?"

Perempuan itu tersenyum. Secuil menatapku. Sorot matanya tajam. Aku menyukai senyum di balik bibirnya yang dicat merah jambu tipis itu.

Kembali ia menikmati perjalanan sembari berkata, "Sabar yang membatasi kita sendiri. Kalau hati sudah merasa mentok tugas kita hanya satu. Istigfar. nsya Allah, akan ada energi baru yang muncul. Hidup kan ujian. Setiap ujian harus dijalani dan diterima dengan lapang hati. Sulit, memang sulit, katanya.

Prempuan itu, selalu diuji di keluarganya. Setelah suaminya, anak lelakinya yang nomor dua diuji dengan cinta. Rapalan cinta yang dikirimkan seseorang yang ditolak cintanya mengusik, mengganggu hari-harinya. Depresi. Anaknya seperti orang gila. Kata orang pintar, anaknya itu telah dipelet, diguna-guna. Ada mantra yang masuk ke dalam tubuhnya lewat makanan atau minuman. Ketika ditanya iya, perempuan itu menggeleng tidak tahu. 

Bismilah. Itulah doa yang terlontar ketika perempuan itu memberikan obat, makanan, minuman, dan apa pun untuk anaknya. Kekuatan bismilah, katanya luar biasa. Akan menjauhkan hal buruk, dan akan mendekatkan niat yang baik. Detik-detik itu, Mujilah, berjuang meyembuhkan anaknya lewat Bismillah dan memasrahkan diri pada Sang Pencipta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun