Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Setelah Berakhir

5 Januari 2019   21:15 Diperbarui: 5 Januari 2019   21:42 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mas Fen, sesungguhnya aku ingin tak henti-hentinya menulis kepadamu. Tetapi, kalaupun ini menjadi penutup dari tumpukan-tumpukan surat kita sejak empat musim ini, maka akan aku terima dengan seluruh napas. Tersebutlah ini sebagai takdir. 

Suka atau tidak. Terima atau tidak, segala sesuatu ada akhirnya. Hanya menghitung hari. Menunggu waktu.

Di malam kering, kutengok ke belakang, surat-surat kita berbalas-balasan. Kekatamu menyentuh hati, bermuara di tempat kita melabuhkan perasaan. Sedari itu, kuhitung kembali berapa detik, menit, jam kita habiskan bersama. Tak kenal waktu, berapa kata yang bertebaran di udara. Adalah kata manismu, tentang janji pada alam. 

Ketika para nyamuk berusaha menciumku, kau begitu ganas menampar. Mana terima kalau kamu dicium nyamuk, Dik. Aku saja belum pernah. Sekalipun. Itulah kata-kata indahmu, caramu membuatku tersipu. Merah pipiku. Aku malu.

Tak hanya itu, di suatu pagi, saat kita menikmati kicauan burung, menghirup bersama menuntaskan embun, kau teramat ganas. Sebuah batu melukaiku. Tidak berdarah sebenarnya. Hanya cenat-cenut di ujung jari. Kau marah. Kau tendang keras batu itu, sampai kau lupa batu terlalu keras, dan kita sama-sama terluka.

Ma Fendik, sesungguhnya surat-surat kita tidak pernah hilang. Meski kuingat, di depan matamu sorotmu membakar surat-surat kita. Selalu kugandakan surat hati kita. Aku tak pernah berpikir akan ada hari kita berakhir. 

Mas Fendik, surat-surat kita masih utuh. Lengkap dengan ciumanmu. Kalau aku rindu, ciuman itu menghampiriku. Ia menjelma dirimu. Hadir, menghampiriku sambil membawa surat balasan, juga surat kepadaku. Dari surat-surat itu, ada bibirmu indah. Bibir manis. Bibir paling jujur sedunia. Aku berlabuh, hinggap di dahan suratmu, tatkala ciumanmu adalah doa dari malaikat.

Mas Fendik, malam ini aku ingin tidur bersama tumpukan-tumpakan suratmu, lengkap dengan ciummu di bibir ini. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun