Rumah dengan halaman kehijauan menjelma padang rumput yang subur. Beberapa hewan ternak, seperti sapi, kambing, domba, mampir kelaparan. Parman, biasa orang kampung memanggilnya tengah mengisi ember kosong di setiap sudut pagar. Terlihat, setiap pagi dan sore hari, ember warna kuning itu penuh dengan air. Di sampingnya ada sekeranjang rumput tak berdosa.
"Kambing Pak Boi, loh ke sini lagi. Pasti pemiliknya lupa harus memberi sarapan kambing ," gerutu lelaki berambut panjang itu.
Usai mengisi air di tandon dengan ukuran diameter 150 sentimeter, tinggi 2 meter, Parman menikmati sisa embun. Bahagianya, kambing-kambing yang ia miliki tumbuh besar. badannya ginuk-ginuk. Kalau kambing-kambing itu manusia, pastinya akan menjadi sosok wanita yang banyak digemari para lelaki. Kulitnya putih mulus, tak ada luka dan cacat. Kalau berdiri tegak. Cantik sekali. Pandai mengandung, anak-anak yang dilahirkan sehat dan segar-segar.
Beternak, baru ditekuni lima tahun. Berawal dari warisan mertuanya, ia melatih diri bersahabat dengan kambing, sapi, juga domba. Ayam. Ya termasuk ternaknya. Hanya saja ketika wabah flu burung menyerang ia terjatuh. Puluhan ayamnya mati mendadak. Katanya terkena flu burung.
Suatu pagi, Parman membawa dua ekor kambingnya jalan-jalan di sekitar kampung. Khas, nyanyian kambing seringkali membuat orang tak nyaman. Biasa, kambing-kambing itu diberi makan bila sudah olahraga. Ya, olahraga jalan bersama pemiliknya.
"Pak Parman, kambingnya kok sepertinya murung, sedih. Ada apa?" tanya seseorang yang tengah duduk-duduk di warung Lik Nah.
Parman berhenti.
"Biasa Pak. Baru ditinggal kekasihnya," canda Parman.
"Seperti sampeyan saja, Pak. Hahaha," ketawa lelaki perokok itu membelah matahari.
"Bapak belum tahu ya, kambing kan makhluk hidup juga, seperti kita. Kalau ia kehilangan yang dicintai pasti sedih."
Lelaki bertubuh tinggi itu tak percaya. Pemilik ternak seberang jalan ini memang suka ngelantur. Ia tidak peduli, apa yang dikata. Sisa-sisa mimpi masih nyantol di benaknya.