Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tumpas Jurus "Copy-Paste"

20 Desember 2018   23:15 Diperbarui: 21 Desember 2018   02:40 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepertinya kita semua tahu, sejak lahir, tanpa sadar kita menerima pendidikan dari orang tua. Orang tualah sosok pertama yang mengenalkan dan mengajarkan kita mulai dari hal yang paling kecil hingga besar sekalipun. Karena itulah, pendidikan merupakan suatu modal penting dalam kehidupan manusia. Terlebih teruntuk para generasi muda guna membangun suatu kehidupan yang baik---masa depan gemilau. Seyogyanya mereka memiliki pendidikan yang cukup, wawasan luas, dan pengetahuan beragam.

Diungkapkan oleh Daoed Joesoef, pendidikan mencakup segala bidang penghidupan dalam memilih dan membina hidup lebih baik. Kehidupan yang sesuai dengan martabat manusia. 

Mengertilah, kita dapat belajar, sesungguhnya pendidikan tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.  Tersebab, energi yang menghidupkan guna menyiapkan generasi bangsa yang berkualitas dan mampu membangun bangsanya lebih baik. Pendidikan itu pula memegang unsur penting untuk menciptakan pola pikir, akhlak, dan perilaku manusia sesuai norma-norma yang berlaku.

Berjalannya ke sini kebaikan di era teknologi, tidak diikuti dengan tindakan yang andil memanfaatkan teknologi dengan benar dan tepat. Rentetan potret buruk dunia pendidikan saling menghiasi langit pendidikan dengan ragam permasalahan. Tanpa sadar pendidikan di Indonesia mengajarkan ilmu kebohongan. 

Sehingga para penerus bangsa cenderung suka merekayasa demi kepentingan dan keamanan pribadi. Mereka tidak sadar bilamana apa yang dilakukan itu adalah suatu tindakan yang fatal, sebutlah mengcopi tulisan, gagasan, pemikiran orang lain tanpa disertai sumber yang jelas dan lengkap. Tindakan tersebut dikenal dengan plagiat, dikendalikan seorang plagiator. Bermula dari tindakan itulah terlahirlah generasi bohong--tdak mau belajar lebih keras untuk menyelesaikan tugas.

Mengutip gagasan orang lain, sah-sah dan boleh-boleh saja. Apalagi didasari tujuan baik sebagai papan-loncat (spring board) atau pintu masuk (entry point) tulisan kita. Kalau mengutip boleh, lantas apa yang tidak boleh? Menjiplak tulisan orang lain dan mengaku-ngaku bahwa itu tulisan kita sendiri. Sebuah artikel L Wilardjo (17/12/2018), berjudul Plagiarisme, Komunalisme, dan Skeptimisme, menuliskan bahwa melakukan penjiplakan sama halnya "setali tiga uang" dengan berbohong. Sementara ilmuwan, bisa jadi salah, tetapi tidak berbohong.

 Kasus plagiat di dunia pendidikan, bukanlah persoalan baru. Lalu, pertanyaannya apa solusi terbaik terkait permasalahan tersebut? Mau dibawa ke mana pendidikan Indonesia?

Ada cara yang dapat kita renungkan. Yaitu, melakukan parafrasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Parafrasa diartikan sebagai penguraian kembali suatu teks dalam bentuk susunan kata yang lain dengan tujuan dapat menjelaskan maknanya yang tersembunyi. Pada tahap parafrasa ini, penulis memberikan penekanan yang berbeda dengan penulis aslinya.

 Semua tulisan dalam bentuk kalimat maupun paragraf  yang dikutip hendaknya dicantumkan sumber dan penulisnya. Atau tidak begitu, dari pemikiran dan gagasan yang ada kita dapat menarik intisari kemudian membahasakan ulang dengan bahasa sendiri. Mampu menghasilkan gagasan dan pemikiran sendiri, bukanlah pekerjaan mudah. Harus melewati tahapan-tahapan sampai menelurkan kata-kata baru untuk dituangkan dalam tulisan.

Ada salah satu tulisan yang tidak harus selalu disebutkan sumbernya. Dengan alasan semua orang yang membaca dan mendengar tulisan itu boleh dianggap sudah tahu---tulisan siapa pernyataan itu ditulis. Sebutlah kata, Ikatlah ilmu dengan menuliskannya. Kutipan kata tersebut, tanpa harus mencantumkan nama Ali bin Abi Thalib, pembaca sudah mengenali kutipan tersebut. Contoh lain, pada kekata, Enak Jamanku to?, tanpa diberi nama yang melontarkan, pembaca sudah tahu, bahkan sudah hafal, gaya bahasa tersebut milik siapa. Inilah toleransi mengutip tulisan atau tuturan yang tidak diharuskan mencantumkan sumbernya.

Memahami menyoal plagiat, wajib dikenali, dipahami, dan direnungkan pada aktivis pendidikan. Karenanya, banyak penulis yang ingin karyanya diterbitkan sehingga dapat dikenal masyarakat luas. Pentingnya akan kesadaran atas menghargai karya orang lain perlu ditekankan. Sebab, kekinianmasih banyak para aktivis pendidikan yang kerap kali menggunakan jurus "copy-paste" dalam karyanya.

Karena itu, dengan cekatan mari kita memutus ilmu kebohongan. Demi meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia lewat tulisan hasil pemikiran sendiri. Hal itu dilakukan karena untuk menghargai karya orang lain. Supaya filsafat Jawa "mamayu hayuning bawono", menata kehidupan dunia lebih baik segera terwujud guna membawa masa depan indah pendidikan kita.

Penulis adalah Suci Ayu Latifah. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, semester 7.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun