"Kekuatan puisi terletak pada diksinya," ungkap Sutejo.
Selang lima menit mempratikkan teknik pasang kata, disaksikan bersama, Salama membacakan puisi sederhana. Siswa berjilbab biru tua itu memilih kata rindu. Sebagaimana kata rindu dalam cuplikan larik puisi: //Aroma rindu menusuk hati// menyayat segala dalam pikiran//.
Sementara itu, Diah memilih kata biru. Lalu terciptalah puisi: //Senja sore itu/ menjelma biru// impian terlukis di langit itu// Sungguh indah dalam pandang/ akankah impian itu nyata?//
Menulis puisi mudah, akhirnya terpatri di benak ke enam siswa itu.
 "Mudahkan? Kalian dalam waktu lima menit mendadak menjadi penyair," puji Sutejo, berhasil menularkan teknik pasang kata.
Adalagi, teknik kaguman yang juga dapat dipratikkan untuk menulis puisi. Teknik ini dilakukan dengan cara membandingkan. Sutejo mencontohkan sosok guru.
"Guruku seperti pengukir batu karang. Susah awalnya seperti deburan ombak," contohnya.
Berhasil mempratikkan teknik pasang kata dan kaguman, pesan Sutejo setiap hari coba berlatih menulis puisi minimal dua judul. Lakukan secara berulang, tanpa sadar akan menjadi penyair.
"Tugas penyair adalah berkarya," pungkas Sutejo.