Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Menekuni Budaya Lisan Jawa

11 Desember 2018   13:16 Diperbarui: 11 Desember 2018   13:22 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak cara seseorang mendapat atau memeroleh, kemudian menyebarkan informasi kepada orang lain. Terlebih ketika dunia komunikasi semakin canggih dan merakyat (sesuai kantong manusia), tidak perlu bertatap muka atau berkunjung ke rumah, misalnya. Melalui alat elektronik seperti telepon genggam (handphone) dapat membantu manusia ketika ingin melakukan komunikasi dengan orang lain, seperti saudara, kerabat, teman, dan lainnya baik yang ada di kota, luar kota hingga luar negeri.

Uniknya, bagi  Mbah Gambreng, seorang ibu rumah tangga Desa Tajug Siman Ponorogo, sejak dulu ia mengakrabi jenis komunikasi tradisional, dalam bahasa Jawa dikenal dengan getok tular.

Istilah getok tular merupakan kegiatan dari mulut ke mulut, yang meliputi tentang penyebaran berita atau informasi kepada orang lain agar kemudian disebarkan pula kepada masyarakat luas, atau sederhananya disebut transfer informasi.

"Dulu, telepon belum ada. Jadi, kalau ada apa-apa, biasanya masyarakat melakukan getok tular," ungkapnya sembari tertawa kecil.

Pagi itu, Sabtu (16/7) ketika beberapa orang yang berlokasi di Desa Tajug, Siman, Ponorogo sedang melakukan olahraga, jalan kaki, Mbah Gambreng bercerita bahwa ketika ia kecil belum ada yang namanya handphone, barang yang ada hanyalah radio. Itupun tidak semua orang memiliki.

Selanjutnya, ia pun merasa bagi masyarakat kelahiran masa kemerdekaan, memang teknologi informasi belum berkembang seperti saat ini, sehingga budaya lisan tersebut seakan-akan menjadi sarana yang paling mudah dalam penyebaran informasi.

"Pak Pos, dulu itu juga belum ada, Mbak. Kalau pun ada mungkin tidak masuk wilayah pelosok," celetuk ibu paruh baya itu.

Mbah Gambreng mengamati, sejauh ini meskipun teknologi dan informasi sudah canggih pun, masih banyak masyarakat bersahabat dengan budaya lisan. Karenanya, informasi yang didapat dari seorang penutur lebih jelas dan detail dibanding ketika mendapat informasi melalui pesan SMS.

"Lha wong saya kalau melihat cahaya HP itu, di mata sakit, Mbak," keluh Mbah Gambreng waktu itu.

Sehingga inilah kenapa pihaknya memilih budaya lisan, getok tular sebagai sarana penyebaran informasi.

Suci Ayu Latifah,

Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP PGRI PONOROGO JAWA TIMUR.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun