Mohon tunggu...
Mbak Rini
Mbak Rini Mohon Tunggu... -

yuhuu...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Titian Rindu 2: Semburat Ungu di Wajah Ibu

11 Mei 2010   03:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:17 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ini adalah kali kedua gadis kecil itu ke Jakarta. Kali pertama ibunya mengajak kakak dan adiknya ikut serta. Ibunya mengajaknya ke sebuah keramaian. Ada banyak permainan dan ada badut di sana. Kakaknya tidak bisa diam, berlari kesana kemari sambil berteriak, ”akh..akh..” dan menggeret tangan ibunya yang sedang menggendong adiknya.

Usia kakaknya lebih tua lima tahun. Laki-laki pertama anak ibu bapaknya itu tuli sejak bayi. Menurut cerita budenya, kakaknya waktu lahir sangat kecil dan harus tinggal di klinik. Di klinik itu kakaknya dimasukkan ke dalam suatu alat. Budenya bilang bahwa karena terlalu lama dimasukkan ke alat itu, kakaknya menjadi tuli. Ibunya sangat sayang kepada kakaknya. Kadang-kadang karena terlalu sayangnya ibunya tidak tega kepada kakaknya, padahal kakaknya sering membuat ulah. Gadis kecil itu sering kali dibuat menangis oleh kakaknya, tetapi ibunya tidak pernah memarahi kakaknya.

Adiknya berusia dua tahun di bawahnya, juga laki-laki. Adik itu sangat menggemaskan. Pipinya sangat montok. Seringkali adiknya marah karena pipinya dicubit kakak-kakaknya. Adiknya lahir setelah bapaknya ditugaskan ke Jakarta. Adiknyalah yang paling jarang mengenal bapaknya.

Kali kedua ibunya tidak mengajak kakak dan adiknya. Gadis kecil itu tidak tahu mengapa ibunya tidak mengajak kakak dan adiknya.

- - -

Kantor itu terletak di lantai dua di sebuah gedung perkantoran. Kata ibunya, bapaknya berkantor di situ. Tadi gadis kecil itu sempat melihat nama jalannya, Jalan Kali Besar. Taksi yang mereka tumpangi tadi melewati sebuah sungai. Tidak seperti sungai di daerahnya yang berwarna jernih, sungai itu berwarna kelam. Ia tidak suka melihat sungai itu.

[caption id="attachment_138269" align="alignnone" width="114" caption="sungai kali besar, diunduh dari www.fauzibowo.com"][/caption]

Ibunya mengatakan bahwa bapaknya bekerja di kantor itu. Seorang perempuan yang parfumnya sangat wangi meminta mereka menunggu di sebuah sofa yang empuk berwarna abu-abu. Dulu ia pernah diajak ibunya ke kantor bapaknya yang lama di kota mereka, tapi tidak sekecil ini. Kantor bapaknya yang lama sangat luas, banyak orang yang lalu lalang dan mereka mengenalnya.

niki putrine pak Triman, nggih..?”.

Ia hanya menjawab, “…nggih”.

Ia memang sering mendengar orang-orang mengatakan bahwa wajahnya sangat mirip dengan bapaknya. Dari mulai wajah, warna kulit, mimik bahkan cara berjalannya yang cepat, dikatakan mirip bapaknya. Bapaknya memiliki kulit yang agak putih, berbeda dengan kebanyakan orang jawa lainnya.Ibunya pun begitu. Tak heran gadis kecil itu mewarisi kulit putih seperti bapak ibunya.

- - -

Perempuan wangi tadi mengantarkan mereka ke sebuah ruangan yang besar. Ia lihat bapaknya di duduk belakang sebuah meja besar berwarna coklat. Di meja itu ada tulisan ‘direktur’. Ibunya menyuruhnya untuk menyalami bapaknya.

Tidak banyak kata keluar dari mulut bapaknya, laki-laki berusia 40-an itu. Kumis tebal dan sikap bapaknya yang kaku membuat ia agak segan.

wis mangan, nduk ?”, Tanya bapaknya.

dereng, pak”, jawabnya.

Bapaknya mengajak ia dan ibunya ke sebuah restoran yang terletak tidak jauh dari situ. Restoran itu sangat bagus. Mejanya berbentuk bulat. Bapaknya memilih tempat di pojok. Ia lihat ada orang yang sangat tinggi, hidungnya mancung dan kulitnya putih pucat. Ia berbisik ke telinga ibunya.

bu..niku tiang bule nggih, engkang koyok teng tivi niku nggih, bu ?”. ibunya menjawab “iyo, nduk”. Hari itu adalah hari pertamanya melihat orang bule.

Bapaknya memesankan makanan yang sangat enak untuknya. Ia tidak tahu apa nama makanan itu. Ia ingin sekali bertanya, namun ia urungkan karena ibunya sedang berbicara dengan bapaknya. Ia takut bapaknya marah.

- - -

Bapaknya jarang pulang ke rumah mereka. Kalaupun pulang, pasti tidak lama. Pernah ia melihat ibunya menangis setelah bapaknya pergi. Saat itu malam hari dan ia sedang tidur. Ia terbangun karena mendengar suara ibu bapaknya bertengkar. Ia mendengar adiknya yang tidur di kamar orang tuanya menangis. Tidak lama ia lihat bapaknya pergi sambil menutup pintu kamar dengan sangat kencang.

Ia keluar kamar dan melihat ibunya sedang tersedu sambil menidurkan adiknya.

cep..cep..cep..yo nang.. turu neh nang..”, sambil terisak ibunya berusaha menidurkan adiknya.

Seketika ia lihat wajah ibunya berubah menjadi sangat tua. Ia lihat semburat ungu di wajah ibunya.

[caption id="attachment_138279" align="alignnone" width="300" caption="diunduh dari www.denioktora.com"][/caption]

- - -

the past is never dead, it’s not even past

...to be continued...

catatan :

-Cunduk mentul : hiasan kepala pengantin perempuan jawa

-Nduk: panggilan utk anak perempuan kecil

-Nggih: iya

-niki putrine: ini putrinya

-wis mangan: sudah makan

-dereng: belum

-niku tiang bule nggih, engkang koyok            : itu orang bule ya, yang seperti di tivi itu ya

teng tivi niku nggih

-nang: panggilan untuk anak laki-laki kecil

-turu neh: tidur lagi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun