Selain itu, pasal 88 C RUU Cipta kerja mengatur tentang standar pengupahan yang berdasarkan waktu. "Upah ditetapkan berdasarkan : a. satuan waktu; dan/atau b. satuan hasil"
Pasal ini ditakutkan akan menjadi dasar perhitungan upah kerja per jam. Kemudian nantinya bisa berakibat pada perusahaan memberlakukan jam kerja yang panjang.
Dalam  hal ini pihak Kemenkominfo memberikan klarifikasi bahwa ketentuan tentang upah ini bukan berarti upah minimum akan turun. Karena aturan mengenai upah propinsi sudah ada, sehingga pihak propinsi bisa menghitung upah minimum dengan tepat.
Aturan ini tidak berlaku untuk industry berskala kecil. Kemudian untuk industry karya, akan dibuatkan aturan tersendiri mengenai pengupahan.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Dalam pasal 154 A RUU Cipta Kerja, dijelaskan tentang PHK sebagai berikut :
Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan : a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, b. perusahaan melakukan efisiensi.
Nah, pasal ini sangat ditakutkan oleh karyawan karena bisa memicu PHK besar-besaran oleh perusahaan karena alasan efisiensi. Namun jika dilihat selama ini praktek PHK untuk efisiensi memang sudah sering dilakukan pada semua perusahaan. Oleh karena itu, RUU ini pun mengatur soal pesangon yang harus diterima pekerja setelah terkena PHK. Jadi pekerja akan menerima pesangon sesuai dengan masa kerjanya seperti berikut ini :
- Masa kerja kurang dari 1 tahun, pesangon 1 bulan gaji
- Masa kerja 1-2 tahun mendapat 2 bulan gaji
- Masa kerja 2-3 tahun mendapat 3 bulan gaji
- Masa kerja 3-4 tahun mendapat 4 bulan gaji
- Masa kerja 4-5 tahun mendapat 5 bulan gaji
- Masa kerja 5-6 tahun mendapat 6 bulan gaji
- Masa kerja 6-7 tahun mendapat 7 bulan gaji
- Masa kerja 7-8 tahun mendapat 8 bulan gaji
- Masa kerja 8 tahun ke atas mendapat pesangon 9 bulan gaji
Cuti
Dalam Omnibus Law tidak terdapat aturan yang spesifik mengatur tentang cuti hamil, cuti haid ataupun cuti menikah. Seperti yang disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bahwa ketentuan mengenai cuti terutama untuk pekerja perempuan, ada pada Undang-undang 13 tahun 2003. Ketiadaan pasal khusus mengenai hal tersebut pada Omnibus Law bukan berarti aturan sebelumnya tidak berlaku. Para pekerja tetap mendapatkan cuti melahirkan, cuti haid dan cuti menikah sesuai dengan ketentuan yang sudah ada.
Semoga ulasan saya yang cukup sederhana di atas, bisa dipahami dan dimengerti. Paling tidak kita tahu, kemana arah undang-undang tersebut nantinya kalau sudah diberlakukan.
Di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu seperti saat ini, hendaknya kita (terutama yang berstatus pekerja) harus memiliki rencana jangka panjang. Meskipun pengangkatan pegawai kontrak maupun PHK sudah diatur, itu tidak menjamin kondisi keuangan kita akan stabil. Oleh sebab itu, penting juga untuk memikirkan rencana mengembangkan atau merubah karir yang selama ini dalam "zona nyaman". Salah satunya adalah memiliki rencana untuk berinvestasi untuk memperoleh penghasilan pasif. Itu juga bisa menjadi cadangan dana ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam pekerjaan tetap anda.
Tetap semangat dan tetap berkarya untuk negara!