Mei...nama kita sama.
Kita adalah Dua Mei...
Kau Meita
Aku Meida
Mei... Aku ingin bercerita
Soal Duit Dua Ribu.
Kau tertawa. Dua Ribu...ada apa dengan Dua Ribu?
Yah, Duit Dua Ribu kalau di beli Permen cuma dapat Dua Belas.
Tapi Mei...kalau kita sedekahkan, maka Dua Ribu itu jadi apa?
Abis dong! Katamu...
Katamu itu Mei...
Kataku Dua Ribu itu tidak habis, namun bertambah.
Engkau tertawa.
Mana mungkin, katamu. Dengan ujung tanda tanya dan tanda seru.
Giliran aku yang tertawa.
Bertambah Mei. Dua Ribu itu akan menjadi Dua Puluh Ribu, Dua Ratus Ribu, Dua Juta, bahkan Dua Ratus Juta...
Lagi-lagi engkau tertawa.
Namun, dengan tertawa, engkau mengikutiku...
memasukkan Dua Ribu itu ke mangkok plastik pengemis itu...
Mei...Dua Ribu, yang syarat makna...
Mei, setelah seminggu berpisah
Kaupun menemuiku
tanpa tertawa
Mei, panggilmu. Aku baru saja dapat hadiah menulis senilai Dua Juta Rupiah, ujarmu...
Aku tertawa.
Ya, itu janji Tuhan Mei...
Mei, kali ini aku yang memanggilmu...
Mei, aku dapat  jodoh...
Tertawamu keras sekali...
Aku tak kuasa menghentikannya...
Aku, kau lalu terdiam
Berfikir. Sungguh, syukur terucap tiada henti...
O ya Mei... Ada yang lupa kuceritakan
Apa, katamu. Tentu saja dengan tanda tanya di ujungnya.
Di Dua Mei Dua Ribu Dua belas
Di Sekolahku, Di Kota ini, tiada yang memperingati Hari Pendidikan Nasional
Entah, aku tak tau
Haruskah aku prihatin Mei, atas keadaan ini?
Kau menghela nafas...
Atau, Kondisi pendidikan di Bangsa ini Mei
yang diambang kehancuran Mei, yang harus ku prihatinkan?
Jangan aneh Mei, kalau kelak Bangsa ini tergadai
karena Generasi Penerusnya di bodohkan...
kau bengong Mei...
Wajar mei, kau bukan Guru seperti Aku
Aku yang melihat kebobrokan itu Mei...
Mei...Kau diam
Aku pun sama
Dalam kelu dan pilu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H