Mohon tunggu...
Mbah Lapendos
Mbah Lapendos Mohon Tunggu... -

Sang Perindu-Mu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filosofi Bahasa Dalam Cerita Kita

23 Juni 2012   13:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:37 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam sebuah teks narasi/cerita, diawali dari ORIENTASI, disitulah apa, siapa, dimana, dan kapan ceritaku, ceritamu dan cerita kita itu terjadi. Di situlah kita memperkanankan atau tidaknya seseorang atau siapapun untuk hadir dalam cerita kita. Kemudian di susul dengan EVALUASI, dimana kita, aku, atau kamu memberikan penilaian tentang apa, siapa, dimana dan kapan yang terlibat dalam cerita kita atau ceritamu. Di sini bisa jadi kita mulai mengenal seseorang dan boleh jadi mulai jatuh cinta padanya.

Selanjutnya cerita berlangsung dan inilah yang di sebut KOMPLIKASI. Di sinilah klimaks atau krisis yang terjadi di antara aku, kamu, dan kita. Ada konflik di sini di antara kita, di antara kamu dan dia. Krisis ini bisa terjadi karena adanya pihak ketiga, adanya ketidak saling pahaman, adanya salah pengertian, adanya kurang komunikasi di antara aku, kamu, kita, atau kalian.

Kemudian, sebagaimana umumnya sebuah cerita, setiap ada yang klimaks pasti ada anti klimaksnya, setiap ada konflik pasti ada solusinya. Inilah tahap RESOLUSI namanya. Pada tahap ini, kita mencari jalan keluarnya, dan bisa jadi ini menyakitkan, menyenangkan, membenci, dan tentunya merindukan.

Semakin kita membenci seseorang, maka percayalah ada titik puncaknya kebencian itu, dan saat kita mencapai titik puncak itu, timbullah kerinduan. Kita rindu akan kebersamaan, kita rindu untuk mendengarkan atau mengucapkan ‘I Love You’, ‘I miss you’, atau ‘I need you’.

Jika sudah tahap ini terjadi, jujurlah pada diri, jujurlah pada suara hati, sebab jika kita jujur pada diri dan mendengarkan suara hati, mudah-mudahan semua akan happy ending, semua akan indah pada akhirnya. Namun bila kita naifkan suara hati, kita abaikan diri demi sebuah harga diri, demi sebuah ego, dan demi sebuah dendam, maka yang terjadi adalah kita menciptakan krisis yang baru. Bahkan mungkin akan menyebabkan hadirnya orang yang baru, setting situasi yang baru yang boleh jadi membuat kita menderita dan semakin menderita.

Siapkah kita dengan itu semua? Hanya demi sebuah ego!!! Jawabannya ada pada diriku, dirimu, dirinya, diri kita dan diri kalian.!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun