Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memandang Sederhana

24 Desember 2023   20:57 Diperbarui: 24 Desember 2023   21:05 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makin aku tanjak sepedaku ke atas...mumpung masih segar aku beringsut dengan alasan. Nanti, jika aku sudah ingin pulang, tinggallah aku kayuh sekali dan laju sepeda kumbangku menjadi lari sendirian. Saat yang lelah, saat untuk beria-ria dari atas sepeda yang dengan sendirinya melaju.

Stamina tetap terjaga dan hatikupun senang sehingga besok di hari yang lain aku menikmati hari dalam bentuk lain pula. Jadi, dari apa yang aku tahu hari ini membawaku memahami ketidaktahuanku di esok hari dan mengilhami ketidakmengertian di hari yang lalu.

Look...look it is! Lihat bukan? Bukankah kamu sudah lihat? Seharusnya lihat, tapi apakah kau tahu apa yang aku maksudkan?

Aku teguk dulu sebotol air mineral yang memang telah aku persiapkan sejak kemarin. Dari atas bukit ini aku singgah sebentar dan sebentar kemudian aku dapat turun dan pulang.

Nikmati sajiannya dan sajikan kenikmatannya. Satu teguk lagi daku harapkan memberiku kenikmatan yang lebih. Konsistensi yang demikian mungkin akan berkurang diwaktu yang akan datang dengan segala pucuk-pucuk kemungkinan yang ada. Seperti, seperti pucuk-pucuk pinus itu yang mengontrol gelombang malam dan siang, tapi apakah kau pernah tahu apa yang dirasakannya?

Aku kira 'take a rest' aku sudah cukup, maka aku cukupkan sampai di sini. Saatnya ambil waktu yang lain untuk pulang, aku masih butuh banyak waktu untuk memahami yang lain, bagaimana denganmu?

Lantas aku ambil posisi dan posisiku yang begini yang akan mengantarkan aku. Aku harap demikian dan demikian harapanku dengan sepasang roda terus menggelinding perlahan menurun mengikuti yang semestinya.

Lambat aku memang sengaja perlambat dengan pasang rem, yang semata aku perlukan saat itu kenyamanan. Aku berkendara untuk cepat saja aku bisa, lantas untuk lambat kenapa tidak? Kan sama saja...hitung-hitung perbedaan implementasinya saja.

Wuuussss....wuuuus.....suara angin, memang! Demikian aku menirukan dengan tiruan aku. Terkejut aku melihat dua anak muda memacu sepedanya menuruni bukit ini dengan fullspeed...namanya juga anak muda, mereka merasa nyaman pula dengan mereka lakukan.

Kau duluan, nanti aku tunggu di bawah...sapaku yang dikejarkan ke telinga mereka dengan angin. Aku lambaikan tangan dan demikian pula dengan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun