DIUJUNG SEPI
Mbah Har - Wahyu
'Kematian'...kesepiankah dikau yang sendirian di sini? Dipayungi payung anyaman bamboo, berteduh di bawah pohon dengan beratapkan langit. Sekali lagi aku Tanya, kedinginankah kau yang terterobos air-air tanah menjelajah sekujur tubuhmu? Dari ubun-ubun melintang melindas ujung kuku.
Adakah teman bicara? Merasakah terpenjara dalam ruang sempit disinari kegelapan tanpa batas?
Sekitarmu, berapa ruang bebas dikau punya? Tidak takutkah engkau dengan jutaan serangga-serangga pengerat hendak menggerogoti tubuhmu? Cukupkah!
Kesombongan mengemuka. Dengan sinis aku menjemur bibir dalam senyum. Sorot mata tajam mengiri, kebekuan matahari, ketiadaan bulan, pula kata bicara tak lagi terdengar.
Heee...aku Bantu dari sini dengan mengumumkannya. Adakah terlintas gurat sisi dahimu yang mengerut lagi? Ceritakan padaku yang bakal terulang, pula terlahir agar aku dapat tanamkan? Tell me!
Semudah menebar angin, semudah pula terampas bakal belenggu jala-jala dihadapan...dari sini aku dukung bereforia mencari keramaian untuk merengkuh nasihat terbaik.
Ah...bukan tentang lagu baru bersyair tentang masa lalu. Ceritaku yang telah terjadi, pamerkan remuk irama telah berlalu. Tunjukkan sikap setuju, di atas ketidakmampuan mengubah angkara terangkat dalam senjata.
Ah...resah di dada, dera di batin membuka hariku-hari ini. Siksa di jiwa, bawa prasangkaku pantek dalam keraguan terhapus. Angkat kepala dan palingkan muka derap langkah terjalin.
Siapa bilang segalanya berhenti dan terhenti diam? Pernahkah terdengar pada sampiran jiwa jika mungkin, bahwa santun kata tak dapat menjelaskan sepenggal persepenggal dengan lembut sapanya? Bahwa selamanya itu tak ada, dan selamanya patut diukir hanya sebagai keabadian -- aku dalam terdiam memikirkannya, dalam ketermenungan mencoba untuk tak sendiri.