Stasiun Tuntang perjalan terakhirku. Dan aku kembali bertemu dengan anak kecil tadi. Segerombolan anak kecil kemari mengikuti rombong langkah kereta. Aku termenung menutup wajahku, memaksaku membuka sarung tubuh ini. Seolah tersisa seorang, seorang diantaranya menawarkan lagu tentang negeri di awan. Kedamaian yang di tawarkan di istananya. dan kau bawa aku menuju ke sana.
"Aku...kenapa aku harus berjalan merangkak, sedangkan aku punya kaki?"
Terpejam aku kembali mengingat. Bukan bermaksud ingin mengulangi masa lalu, tetapi sekedar bercermin mengingat yang telah lampau. Aku mulai dengan menutup mataku berbantal punggung tangan di atas tumpukan jerami (Gatal hanya untuk empuk). Bebek berjejer menunggu kereta uap yang aku lewati melintas. Tiada lembah terasa gunung melintas, kecuali nyanyian merdu sawah hijau menghijaukan langit biru.
Kulihat anak kecil berselimutkan sarung. Kau datang tawarkan hati nanlugu, selalu mencoba mengetuk hasrat dalam jiwa. Seolah memainkan lagu tentang Negeri di Awan, kedamaian menjadi istana dan kau bawa aku menuju ke sana.
Bahasa kasih terungkap dengan pasti, orkestra air kaki melangkah ringan tanpa terpeleset. Bebek mengepakkan sayap di air. Dan akhirnya dapat aku pahami "Aku dan kamu, dua sosok, dua raga dalam satu jiwa" selama tulus.
Dan saat itu juga aku menyadari makna jembatan kayu yang terlewatkan aku ceritakan, "Yang tertulis untukku adalah yang terindah untukmu". Serasa jejak meninggalkan 25menit atas seribu langkah tertinggal. Ternyata itu isapan berlalu. Anak kecil di Ambarawa sana membagi kisah atas nama cinta, setidaknya tetap melangkah mengejar kereta walaupun semisal hanya terhembus sepuluh langkah nafas tersela. Setidaknya aku telah berjuang, setidaknya telah berusaha meliput. Lebih daripada itu engkau membutakan mataku untuk membuka yang sejati, menjaring mentari dan segera mengakiri keterikatan dengan dunia.
Laksana cahaya di atas cahaya, begitupula waktu dengan caranya untuk menemukan. Sajak waktu berlabuh, waktu berlalu lebih cepat dari awan berjalan. Terlalu congkak menyuratkan puisi untukmu.
Bersamamu aku tidak ingin kembali pulang. Tentang cantik rambut panjangmu, meski tidak hitam lagi, akan kuhabiskan sisa hidupku di atas Puncak Si Kunir -- Dieng Plateu.
"Negeri Di Atas Awan...Semesta Bertasbih"
Awan gelisah, akhirnya jatuh bergugur. Yang bersinar menyinari jiwa. Sun rise menantikan bisikan tanpa angin "Selamat tinggal untuk mereka yang suka dengan mata, karena bagi mereka yang suka dengan hati dan jiwa tiada kata perpisahan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H