Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Meramu Imajinasi

22 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 22 Mei 2023   18:06 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MERAMU IMAJINASI

MBAH HAR - WAHYU

Hari Minggu ke mana Yaa?....sebaiknya aku harus ke mana?

Apel...ke mana? Aku belum berpikir sejauh itu, untuk ke sana belumlah sampai ke sana. Masih jauh perjalanan, belum terlintas sebelum aku merasa sampai setengah perjalanan...lalu!

Ke pantai...tanpa menyadari sering aku hampir terlelap, kalau ke gunung diperlukan jalan yang terjal dan berliku. Mungkin saatnya hari ini aku menabur garam-garam yang lain yang dapat kuinsafi dan apakah itu dapat diberi sebagai yang tiada pernah jemu?

Ke 'Bunbin' alias Kebun Binatang...aku merilisnya sambil melangkah pergi. Aku rasa tanpa mengecilkan angin laut dan angin gunung, waktu yang tepat menengok kumbang beserta saudaranya dan saudara-saudara kita yang lain. Perlulah kita untuk tetap jaga komunikasi dan silaturahmi agar selalu terjalin keakraban dan tali kasih.

Maka tanpa ragu aku gayuh ke sana dan kini aku berada sudah dikomunitasnya. Selamat pagi...aku sapa semua saja sambil merekah pergi menuju tempat-tempat yang mungkin bisa kuajak bicara dan membuatku tersadar.

Pertama dan selanjutnya, tetapi sebelumnya aku setelah melewatkan pintu masuk...disambut sudah sepupu-sepupu kita. Dengan ramah kita menyimak mereka dan dengan ramah kita disambut mereka. Kita berjalan seakan awalnya mereka yang mengitari. Kita duduk mereka menghibur dengan lompat-lompat tali, tapi apakah yang telah kita saksikan ada di telinga jua?

("Ma...mama kenapa burung-burung itu, sakit yaa?")

Aku melengok dan aku berubah arah. Mataku dan segenap indera, baik yang mendengar atau yang lain berubah solidaritas ke arah ke bersihan suara anak itu. Dan akupun menyisir jejaknya selepas mereka tinggalkan jejak yang tak terlupakan.

Indah...aku foto dan jepret, setelah itu aku perhatikan dengan posisiku yang setengah melotot. 'Cenderawasih' (di papan tertulis begitu) datangnya pula dari bumi cenderawasih sana.

Saat itu aku berpikir, kenapa dia ada di sini? Dan akupun berbalik ke arah diriku sendiri, bagaimana jika aku sekarang dipaksa untuk hidup di kutub utara seorang diri?

Mungkin itu keputusanku yang berpatokan sepihak, aku berharap dari yang sepihak itu ada orang-orang lain yang mengikuti pihakku. Seperti...seperti sunset yang akan selalu diikuti bintang dan bulan, nah itulah yang aku maksudkan bukannya menjadi pengikutku atau aliansiku...aku tak butuh pengandaian yang semacam terakhir aku sebutkan.

("Hore...hore...!!!) ooeeh...ramai sekali!  Sekali lagi aku terguncang oleh teriakan anak-anak yang dengan riang dan gembiranya mengabadikan waktu mereka. Saatnya mengubah pandangan untuk memastikan apakah gerangan yang membuat mereka begitu bersahaja dan berteriak kegirangan, mungkin saat yang tepat menghabiskan pikir bersama mereka...aku akan mencari dimana tempat itu berada.

Oh di sana...tapi aku kira sedari nanti tempatnya akan tetap di sana, kenapa aku berpikir seperti itu? aku rasa darahku tersisih dengan perlahan dan akhirnya mendidih menyaksikan kandang cukup menjanjikan di hutan depan itu.

Lumayanlah...aku bisa melihat dari dekat kebuasan-kebuasan mereka. Aku bisa pancing dengan ikan segar mungkin, bagaimana mereka bergerak lincah mengikuti insting mereka meredakan gejolak dan ambisinya. Saat terbaik berbagi cerita, jika tidak sekarang mungkin aku takkan pernah tahu karena seseorang yang mau tahu tidaklah berarti harus tahu sekarang.

Terang...selama ini aku cuman lihat kelihaian dan kecerdikan mereka dari sirkus. Aku tidak pernah tahu awalnya, bagaimana terjadinya proses yang demikian cepat menyatu. Dari sana aku berharap dapat menyatukan visi dan misi ke depan.

Di sana ada macan, singa, gajah, juga keras dan monyet dan lain-lain. Pokoknya ada dalam satu kandang dan terkadang membuat aku iri dan tak bisa berbangga diri.

Sebentar...dalam kesementaraan aku lihat gerak lamban mereka. Tidak ada darah, tak ada pula air mata...itulah jawabannya. Aku sempat berpikir, karena bantuan tangan kitalah mereka jadi seperti itu, tapi kenapa kita tidak? Apakah perlu mereka yang ganti balas jasa melatih kita? aku kira kita tak perlu malu jika memang itu jalan yang terbaik, karena adanya apa yang terjadi pastilah ada yang menyebabkan terjadinya.

Mata...agaknya mata ini yang hanya mampu memandang. Dan aku berusaha untuk memandang ke arah yang lain pada saat bersamaan...saat bersamaan bukan sekali tempo atau satu persatu.

Saking penasarannya, aku ingin berteriak sekencang dan sekeras-kerasnya. Aku ingin seluruh penghuni tempat ini dengar keluh dan kesahku yang tak berkesudahan. Aku ingin dan aku ingin redakan kedukaanku yang kalau aku biarkan bakal menjelma jadi amarah.

Jika aku marah, tentu orang-orang akan dapat bercerita...tapi bagaimana bila saatnya tiba 'mereka' yang marah? Sebelum kita berpikir sejauh itu untuk ke arah sana, apakah mereka pernah memulai marah-marah sebelum kita yang memarahi mereka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun