Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melamunkan Mimpi

16 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 16 Mei 2023   17:58 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MELAMUNKAN MIMPI

udah pagi rupanya...rupanya pagi sudah. Tak kusangka begitu  aku pejamkan mata, begitu pula aku buka mata. Sedetik lalu aku lupa, sedetik kemudian aku ingat kembali. Rupa-rupa dan berupa-rupa yang terjadi.

Kubuka jendela dan jendela terbuka beserta merta yang kulihat adalah segumpalan benda di langit. Aku sedang melamun dan membayangkan sekelompok awan putih yang dalam mimpiku aku tanggakan dengan kaki dan seluruh tubuhku.

Aku terbang...aku mengitari tanah dengan langkah-langkah yang tersusun berurutan. Kaki kiri diikuti langkah berikut dengan kaki kanan, begitu seterusnya meramaikan bertangan dan bertubi-tubi yang membuat aku terus dapat tersenyum lebih awal daripada pagi.

Dengan apa yang ada sekarang, aku telah buka jendela dan bicara pada jendela yang membukannya untuk aku. Aku membuat suatu perkataan dan aku ingin mengulanginya, aku ingin membuat perulangan dalam bentuk lain.

Dalam mimpiku itu...aku melihat inti sari tanah yang menggumpal...kurang jelas aku melihatnya karena tempatku dari ketinggian yang takkan terjangkau tangan dan kaki manusia. Aku ingin sebutkan tak mungkin terjangkau tangan dan kaki manusia.

Aneh memang karena mungkin memang bukan suatu kenyataan. Gumpalan itu berputar begitu hebatnya menebarkan senyum yang entah darimana menyembulnya dan untuk siapa. Cahyanya naik dan terus naik jauh lebih tinggi dari tempatku berada kini. Apa gerangan itu, gerangan perasaanku hanyalah sinar matahati belaka yang mencoba mengupgrade ulang kegagahanku.

Dia yang perlahan membentuk sesosok tubuh...aku kirimkan sapa sinyal menolaknya. Aku bilang proses awal yang kejadiannya tak mungkin dengan membuka mata sampai ke tempatku.

Aku tinggal dan aku hanya bisa bergerak mengikuti ke mana angin bergerak. Kadang aku bergerak ke utara, tetapi sebelum sampai ke utara aku balik ke selatan. Terkadang aku malah diam di tempat seperti benda tak bernyawa.

Sungguh...aku memang di atas, tapi tak bisa menentukan jalan yang aku minta. Tapi anehnya lagi aku masih juga bisa melambaikan tangan kepada 'everybody'...juga hewan dan tumbuhan yang aku jumpai melalui perjumpaan sekilas pandang. Aku di atas...teriakku.

Oooo...jawab seseorang dengan agak berserakan. Siapakah dia gerangan yang mengatai aku?

Suara itu begitu kencang menggema. Aku tak pernah menemukan solusinya untuk menemukan bnetuknya. Aku tak bisa leluasa melihat paradigma pandanganku, pandanganku terbatas karena aku disanteri angin yang terbang berputar begitu hebatnya.

Sudahlah...aku anggap itu pusara yang dibuat angin sehingga mengantarkan bentangan begitu hebatnya. Aku anggap akulah yang terhebat jika sudah dalam ambang mimpi-mimpi. Indah begitu indah, tidak ada yang lain mengubah atau mempengaruhi dan tak ada bakalan yang membuat aku kotor untuk sekarang...untuk sekarang.

Kisah aku punya cerita...berakhir sudah saat aku terbangun. Sama aku dengan mereka, sama aku menginjak tanah dengan telapak kaki yang terkadang angkuhnya dialasi telapak kaki buatan.

Aduh bunyi itu...aduh bunyi itu, histeris keheranan aku. Dari keheranan itu aku teringat yang lain yang terlewatkan...aku ingin ulang yang terlewatkan.

Dalam mimpi-mimpiku itu, aku tak pernah lagi lihat pandangan ke bawah. Pandanganku yang ada selalu tertuju datar ke atas dan terus ke atas...sementara untuk menjanjikannya adalah anganku belaka yang berdiri dalan agar-agar empuk kapan saja dicairkan.

Itulah kenapa aku ingin berbagi cerita ini, untuk diriku sendiri agar aku tak pernah lupa dan melupakannya dan bila aku sudah ingat, maka aku tak mungkin aku lupa lagi.

Ingat aku...tak kusangka bulan yang sudah sedemikian dekatnya direntangan tangan, memang hanya ada dalam jurusan yang salah. Some question dari aku dijawab seorang adik bayi itu. Dia lambaikan tangan dan ucapkan selamat tinggal padaku.

Dia meninggalkan aku dengan bertahap, dengan dilalui ketika menggumpal, berjalan dengan merangkak dan akhirnya meluruskan tangan tinggi-tinggi ke atas untuk menunjukkan refleksinya padaku...pikirku saat itu aku bisa tertawa mengejeknya.

Aku berteriak..."tak mungkin dengan segala kemungkinan menjangkau aku dengan tangan dan kakimu!"...dianya menggeleng dan balas aku "tak mungkin menjangkau bulan dengan menaiki awan".

Tertawa dianya padaku dan dia tunjukkan sebuah buku-buku yang dalam berbagai label dilontarkan padaku saat telah sejajar padaku. Dia lemparkan terus dan yang terjadi aku tak pernah bisa menjangkaunya walaupun hanya barang satu lembar yang tercecer beterbangan. Katanya "ini sebuah rintangan...sebuah rintangan, jangan disia-siakan dan mulailah dari bawah...itu lebih baik!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun