Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Andi dan Kerbau (Part #3 Lomba 17-an)

11 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 11 Mei 2023   17:56 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lomba 17-an

Mbah Har - Wahyu

Jelas lemas-lekuk kebahagiaan di gerut wajah. Mata berbinar memandang ke langit biru menantikan berkibarnya. Lihat nanti, saksikan haru bercampur bahagia.

Pada akhirnya tiba jua saat yang dinanti. Hari yang bersejarah bagi Bangsa Indonesia. Tak ketinggalan segenap lapisan masyarakat larut, kecuali bagi mereka yang tidak merasa memiliki negara ini, tidak mengakui tanah tumbah darahnya.

Pagi yang cerah, secerah mentari di timur sana. Rupanya Andi kecil sedang berbenah. Betapa seragam putih merah, seandainya seorang prajurit kan kelihatan sangat-sangat gagah. Dia lagi bersiul-siul di depan cermin menyisir rambut cepaknya.

"Andi ayo!"

"Tunggu sebentar!"

Ini kan hari libur nasional, lantas ke mana mereka pergi dengan seragam sekolahnya? Pertanyaan yang tidak perlu dijawab, kita semua telah tahu dan mengetahuinya ke mana mereka pergi di hari yang ke-17 pada bulan ke-8.

Berdua menjejakkan Masih di jalanan berbatu, menuruni lereng dan bukit, mendaki jurang-jurang terjal. Bertetes-tetes embun masih memaksakan diri di dedaunan seolah mereka ingin turut serta dan berpartisipasi di hari bersejarah ini. Hari yang tak terlupakan selama hayat masih di kandung badan, tidak pernah dan tidak akan pernah, karena aku anak Indonesia, di sini tanah tumpah darahku.

Hadir di tengah jalanan. Menari di atas pelangi. Indah selalu berjajar rapi dipucuk cemara nanayu. Tiada habis senandungkan rasa rindu berbangsa Indonesia.

Yang tertinggal saat Sang Merah Putih melangit, adalah kitmat. Mengikis akan kelabu, tinggi tunjukkan pada dunia semangatnya merah membara. Kami Bangsa Indonesia bukan bangsa yang lemah, kami Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang besar. Cucuran keringat adalah saksi. Jutaan tetes darah adalah bukti keberadaan kami "satu".

"Proklamasi....!"

Besuknya, kemeriahan belum juga berlalu. Selalu ada moment istimewa di hari yang istimewa. Inilah dia puncaknya, spektakuler bagi desa Andi yang terpencil dari keramaian dan kebisingan kota. Bukan apa-apa, tapi ini adalah budaya sebagai satu dari sekian juta khasanah kekayaan Indonesia.

"Siap untuk menang?" Kata Anang

"Milikku tidak akan kalah, Anang!" Kata Andi

"Berjuanglah kawan!" Seru Anang

"Terima kasih semua atas dukungannya,friend!" Jawab Andi

Waktupun terus bergulir. Bel berdering panjang tiga kali. Tiba saatnya meninggalkan sekolah. Langsung secepat angin diantara hari yang terus berlalu, Andi menengok ke rumahnya. Genderang ditabuh, bendera dikibarkannya seiring dia menempa diri.

"Mas!"

"Masmu dolan!"

"Ke mana Bu?"

Shalat Dhuhur adalah keharusan. Tunaikan kewajiban dengan tegakkan shalat lima waktu, dhuhur diantaranya. Berdosa meninggalkannya, karena kita adalah muslim. Dan di dalamnya kita dapat memohon dan berdoa.

"Ibu, doakan aku menang!"

Andi memberi makan secukupnya. Dia tahu takaran yang pas, mana itu tidak kurang sehingga tidak kelaparan, mana pula tidak kekenyangan. Tanda saling pengertian diantara persahabatan terjalin sudah, beban di pundak tidak akan dipikul sepihak.

"Hitam kita harus menang....di sini menang, di sanapun menang!"

Puji-puji memotivasi. Ingin persembahan terbaik diberikan. Semaksimal mungkin mendulang prestasi.

"Aku janji hitam, jika memang nanti rumahmu akan kuperbaiki. Dan tentu saja kau takkan terjualkan apalagi di sate...ha...ha...!"

begitu menjanjikan. Memipih hati sayu. Mengusap lembut layangkan hasrat terpendam. Hati naniba tiada tega membiarkan lewat begitu saja.

Dan saatnya tiba...hiruk-pikuk berkumpul jadi satu membaur. Riuh rendah menambah santer suasana. Ajang pentas bergengsi siap digeber habis. Tontonan gratisan tahunan. Puncak dari segala kemegahan dan kemeriahan. Saatnya pula uji kemampuan siapa yang terbaik.

"Berjuanglah adikku!" Teriak Mas

Si Hitam akan memenangkannya untukku, Mas!" Harapan Andi

Kemenangan bukan mimpi, kemenangan ada dalam perjuangan. Kemenangan hasil dari jerih payah dan semangat, bukan sulapan belaka. Faktalah nanti yang akan membuktikan, begitu Andi dengan gelora di dada.

"Aku mendungkungmu!"

"Terima kasih teman-teman!" Sahut Andi

Akhirnya! Akhirnya! Akhirnya telah tiba. Terjaga semua mata memandang. Berkilauan panas tak jadi soal. Di balik itu semua, keyakinan optimisme terpancar dari cahya mata yang tajam.

Saringan penyisihan awal membagi ke dalam dua grup. Dari dua grup diambil dua yang tercepat untuk di adu dalam partai final.

Andi nothing tulus, dia bukan unggulan apalagi segalanya. Dia cuman ditempatkan sebagai underdog. Bersamanya menantang juara bertahan sekaligus unggulan pertama. Belum lagi mantan juara dua tahun yang lalu belum bisa dikatakan usur, dia punya pengalaman dan mental juara yang tak bisa dianggap remeh. Tentu dalam dua tahun segalanya telah berubah.

"Bersedia...siap...yak!"

Start pertama dilepas langsung Pak Lurah. Lima ekor kerbau berlari mengitari lapangan. Dengan panjang lintasan kurang lebih seukurang keliling lapangan bola, mereka cukup mengitari dua putaran. Melelahkan pasti, tapi itulah inti perjuangan dimana proses adalah segalanya.

Sementara itu Andi menonton dari luar lintasan. Dia dan si hitam menunggu giliran kedua. Mengamati dengan jeli, seberapa jeli mereka melaju untuk memungkinkan berebut kesempatan jadi juara.

"Bersedia....siap...yak!"

Akhirnya berpaculah dengan waktu. Berlari bersama angin. Meninggalkan debu-debu beterbangan membuat sesak di nafas. Saling kejar, pula saling menyusul dan saling berusaha meninggalkan untuk jadi yang tercepat dan terbaik.

Si hitam berlari cukup konstan. Perlahan tapi pasti terus merapatkan diri dengan pimpinan lomba yang sedang diperebutkan, dia kerbau terdepan. Harapan selalu ada!

"Hitam, ayo kamu bisa!" teriak Andi di atas pacunya.

Jarak kurang 100m. si hitam coba mendahului. Satu kepala selisih dibuatnya sudah. Mulai sejajar, saat-saat mendebarkan mendekati finis. Siapa yang bakal lolos? Layak kita tunggu kiprahnya lebih lanjut.

"Ayo Hitam, rumah baru menanti!"

Pentas kandidat terus berpacu. Laga demi laga berlanjut. Sorak sorai makin nyaring seiirng partai puncak segera bakal digeber. Penonton yang sekedar ingin menontong, pula menghibur hati, termasuk memberi support terus mengalir. Trek yang kering dan berdebu tidak membuat surut animo terus meluber memenuhi tribun-tribun telah disiapkan.

Dan pada kenyataannya segala sesuatu yang bermula, di dunia ini pastilah akan berakhir. Begitu pula untuk perlombaan tahun ini, di dapati pula sang jawara baru. Menerima dengan sportif adalah ciri sosok berjiwa besar. Kemenangan atau kekalahan bukan hasil mutlak. Kebesaran jiwa adalah yang lebih utama.

Itulah kenapa, tidak nomer wahid bukan berarti berakhir. Tahun depan masih ada kesempatan. Masuk ke babak utama dari puluhan kerbau adalah sudah luar biasa untuk seorang Andi dan Si Hitam. Dan yang lebih mencengangkan lagi, adalah podium ketiga sebagai hasil perjuangan adalah balasan setimbal dengan usaha dan kemampuan yang ada saat itu. Andi dan Si Hitam!

Dan kala kemenangan itu telah bersemi, bak daun tumbuh di musim semi. Kemenangan menghantarkan kepada kebahagian dan kebanggaan. Kala kemengan bukan lagi mimpi, kini saatnya wujudkan janji terucap.

"Andi, tolong gergajinya!"

Janji adalah utang

"Palu!"

Bamboo tinggal potong, semua ada dan tersedia di sini. Si hitam dititipkan untuk sementara di rumah tetangga. Sejenak sambil menunggu terselesaikannya.

"Mas saat makan siang!" Kata Andi

"Sebentar, tanggung!"

Artinya kepala berlalu sudah dari atas kepala. Arti yang lain bedug luhur telah bertalu. Pula yang lebih berarti, Mas Andilah yang mengerjakan semuanya. Andi tinggal duduk-duduk di bawah pohon dengan sesekali melayani kebutuhan Si Mas

Terbayang pula pekerjaan yang berat selalu menyisakan kelelahan, pula kecapekan dengan pegal-pegal menghinggapi badan. Dan karena semua telah terbiasa, tiada yang terasakan walaupun keringat mengucur dan membasahi tubuh ini.

BERSAMBUNG...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun