Seperti yang sering kita ketahui, di negeri ini ada istilah dititipi omongan nambah, dititipi uang berkurang. Ungkapan buat menyindir orang-orang yang sering membumbui cerita yang mereka ketahui dengan versi mereka sendiri agar lebih seru.
Bagi netizen, hal seperti ini seringkali disampaikan oleh penyebar hoax, atau oleh orang yang mencoba mencitrakan sesuatu tanpa fakta tanpa data. Lucunya lagi, banyak diantara kita yang menelan mentah-mentah hal seperti ini.
Hari ini saya membaca berita di salah satu media online PelitaEkpress dengan judul Andi Surya : Isu Ganti Rugi Grondkaart Kepada Pemerintah Belanda Hanya Isapan Jempol PT. KAI membuat saya tergelitik. Karena dalam isi berita tersebut ada hal yang sangat prinsip yang salah.Dalam berita tersebut tampak sekali pemahaman Andi Surya tentang materi yang dibahas sama sekali tidak nyambung. Mungkin ketidakpahaman soal sejarah ini yang menjadikan dia berani berpendapat meskipun salah.
Perlu saya uraikan sedikit demi sedikit biar tidak ada kesalahan dalam memahami konteks ganti rugi yang dilakukan Pemerintah Indonesia kepada Kolonial Belanda. Proses nasionalisasi perusahaan asing yang dalam hal ini SS (Staatspoorwegen) dan NISM (Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij) atau perusahaan-perusahaan yang mengelola kereta api di era Kolonial Belanda masih bercokol di Indonesia dilakukan setelah ada keputusan KMB (Konferensi Meja Bundar) 1948.
Di mana dari hasil KMB tersebut salah satunya diambil keputusan bahwa semua perusahaan Belanda di serahkan kepada Pemerintahan Indonesia, dalam hal ini termasuk tanah-tanah yang digunakan. Mungkin dari poin ini Andi Surya perlu memahami dulu, bahwa tanah yang dulunya digunakan oleh SS dan NISM menjadi tanah pemerintah bukan tanah tak bertuan.Â
Selanjutnya mengenai ganti rugi seperti yang dia sampaikan, Andi Surya keliru dalam memahaminya, ganti rugi yang harus dibayar Pemerintah Indonesia kepada Belanda bukan untuk lahan / tanah yang dipakai jalur / sarana kereta api di Indonesia, tetapi untuk aset-aset yang ada di atasnya, seperti rel kereta, loko, gerbong, stasiun, dan sarana lainnya yang menjadi milik SS dan NISM yang jadi hitung-hitungan berapa banyak harus dibayar.
Seperti dikutip dari berita Kompas tanggal 21 Oktober 2017 tentang Ganti Rugi Nasionalisasi Perusahaan Belanda dengan kutipan sebagai berikut: Proses nasionalisasi perusahaan dan perkebunan milik Belanda di Indonesia mencapai tahap klaim ganti rugi. Pemerintah Indonesia dan Belanda sepakat jumlah klaim Belanda atas perusahaan-perusahaan dan perkebunannya di Indonesia mencapai 600 juta gulden.Â
Nilai klaim tersebut jauh di bawah klaim Belanda di awal negosiasi. Semula Belanda mengklaim 4 miliar gulden, lalu menurun sampai jumlah yang disepakati. Jangka waktu pembayaran ganti rugi itu selama 30 tahun dengan bunga 1 persen per tahun.
Ini adalah sebuah fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan atau dibelokkan seperti pendapat Andi Surya yang ngawur tersebut. Generasi muda harus diberikan ilmu yang benar.
Jadi lagi-lagi Andi Surya mengeluarkan pernyataan yang dia sendiri tidak paham. Menjadi menarik karena dia menyampaikannya ke media online, yang mana ini termasuk kategori penyebaran hoax / berita bohong. Bila kebohongan atau kebodohan dipublikasikan seolah-olah hal itu benar oleh mantan anggota DPD yang sekarang maju lagi, ini akan mencoreng kualitas institusi DPD.
Saya yakin di negeri ini masih banyak orang yang lebih berkualitas daripada seorang pembohong seperti Andi Surya. Cara dia memahami sejarah bisa dibilang belum mampu, tetapi seolah-olah dia berlagak sok tahu.
Negeri ini pernah mengalami banyak pembelokan sejarah, janganlah lagi kita memberi panggung kepada orang-orang yang tidak tahu sejarah tapi sok tahu sejarah. Kasihan generasi muda kita bila dicekoki ilmu yang salah.
Banyak sekali materi-materi sejarah yang bisa kita gali bila kita pergi ke Museum Nasional atau ke Arsip Nasional Republik Indonesia. Atau bila mempunya dana yang cukup kita bisa mencari di Nationaal Archief di Belanda. Temukan lembaran demi lembaran yang bisa kita terjemahkan untuk mengungkapkan fakta sejarah yang sebenarnya.
Pasirgintung, 28 November 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H