Ketika masa pemerintahan Presiden SBY, kenaikan harga BBM menjadi sesuatu yang sangat dramatis. Kenaikan sedikit saja, misalnya 200 -- 500 rupiah akan membuat ekonomi bergejolak. Antrian panjang akan nampak di SPBU, BBM tiba-tiba langka, harga bahan pokok meningkat, harga jual BBM ditingkat pengecer menjadi tidak wajar. Bisa naik 2 -- 3 kali lipat. Masih ditambah dengan TV menyiarkannya secara dramatis dan tidak lupa demo-demo juga dilakukan.
Ketika pak Jokowi dilantik pada tahun 2014, saya kira situasinya akan sama. Ternyata saya salah. Dengan cerdik pak Jokowi menaikan harga BBM "setinggi-tingginya" hingga melebihi level yang bisa dibayangkan oleh masyarakat. Ekonomi bergejolak, harga-harga terkerek, rakyat berteriak, masih ada demo juga. Tetapi segala sesuatunya segera menyesuaikan diri, harga BBM naik, harga kebutuhan naik, UMR naik, dan endingnya semuanya kembali normal.
Ketika pada tahapan berikutnya harga BBM kembali naik turun, respon masyarakat sudah biasa. Karena naik turunnya BBM masih di bawah kenaikan harga BBM pertama kali. Sehingga bisa kita lihat sekarang, kenaikan harga BBM bukanlah sesuatu yang istimewa. Masyarakat meresponnya dengan biasa saja. apalagi sejak diluncurkannya pertalite, masyarakat malah cenderung melupakan premium. Masyarakat lebih fokus kepada pasokan BBM harus tersedia.
Adakah yang tidak suka dengan kebijakan dan keadaan tersebut? Ada, dan hal itu hal yang lumrah dalam bernegara. Tetapi secara umum, kondisinya baik-baik saja.
Bagaimana dengan kondisi harga tiket pesawat?
Harga tiket pesawat mengalami cerita yang berbeda. Dahulu tidak ada orang yang meributkan harga tiket pesawat. Sebab yang naik pesawat memang orang yang punya uang. Bahwa pada saat itu harga tiket pesawat juga mahal (tidak terjangkau oleh masyarakat umum) bukanlah sebuah masalah. Karena mindset yang terbangun pesawat ditujukan untuk yang punya uang lebih. Yang tidak punya uang banyak, dengan rela hati memilih mode transportasi lain yang sesuai dengan kekuatan finansialnya.
Ketika aplikasi pembelian tiket mulai muncul. Harga tiket pesawat yang semula mahal tiba-tiba menjadi murah. Perang harga terjadi. Masyarakat umum yang semula hanya bisa membayangkan naik pesawat terbang, bisa naik pesawat terbang betulan. Sebagai kalangan ekonomi kelas bawah yang hapal dengan kondisi terminal bus. Saya kaget ketika melihat bandar udara lebih ramai dari pada terminal bus.
Sehingga tercipta suatu kondisi bahwa naik pesawat bukanlah sesuatu yang mewah melainkan sudah menjadi kebutuhan dan kebiasaan masyarakat.
Akan tetapi semua berubah. Setelah penjual tiket non aplikasi berguguran. Maskai penerbangan juga berguguran karena tidak kuat menghadapi perang harga. Tersisalah 2 pemain besar dalam bisnis penerbangan. Garuda dan Lion air group. Tidak ada lagi persaingan harga, yang ada adalah pengaturan harga. Harga kembali menjadi normal dan kita menyebutnya sebagai kenaikan harga tiket pesawat.
Masih ditambah dengan judul berita yang boombastis mengenai harga tiket pesawat. Yang ramai hari ini (30/05/2019) adalah rute bandung -- medan yang mencapai 21 juta rupiah. Padahal jika ditelusuri ternyata itu merupakan penerbangan untuk kelas bisnis dengan rute Bandung -- Bali -- Jakarta -- Medan. Bukan penerbangan langsung dari Bandung menuju Medan.
Kementrian perhubungan sudah beberapa kali melakukan klarifikasi bahwa harga tiket pesawat masih dalam batasan yang ditentukan oleh Undang-undang. Akan tetapi penyedia layanan penerbangan masih memiliki trik berbeda. Sebab yang diatur oleh undang-undang adalah harga tiket kelas ekonomi. Seat untuk Kelas ekonomi sering kali terdeteksi kosong sehingga kita "dipaksa" untuk membeli tiket kelas di atasnya.
Kita tentu berharap presiden Jokowi memiliki terobosan akan harga tiket pesawat kembali terjangkau. Tidak perlu murah sebab kadang hal itu harus kita tukar dengan standar keselamatan penerbangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H