Mohon tunggu...
Khoirudin
Khoirudin Mohon Tunggu... Penjahit - Orang biasa

Hanya orang biasa, tidak lebih dan tidak kurang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Karena Kompasiana, Saya Jadi Tidak Punya TV

10 Oktober 2015   17:27 Diperbarui: 10 Oktober 2015   17:36 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mulai bersenggolan dengan kompasiana gara-gara mbah google. Ketika mengetik kata kunci tertentu kadang yang muncul di halaman 1 adalah artikel dari kompasiana. Saat itu aku belum tahu apa itu kompasiana. Yang penting tulisan yang aku inginkan ada, lalu aku baca. Lama-lama kok penasaran juga sebab makin banyak kata kunci yang diarahkan oleh google ke kompasiana.

Puncaknya pada saat pilgub DKI Jakarta. Karena berita di tv sangat ramai, aku mulai mencari-cari profil calon-calon gubernur yang ada. Untuk kata kunci itu, Ternyata google makin sering membawa aku ke kompasiana. Hingga suatu hari aku langsung membuka www.kompasiana.com langsung dari address bar tanpa melalui google. Wah artikelnya banyak banget. Lebih banyak dari blog**tik yang sebelumnya sering aku kunjungi. Dari kompasiana, aku bisa membandingkan kandidat-kandidat yang bertanding dengan sumber informasi berimbang. Apa lagi jika membaca “pertempuran” di kolom komentar, sering pikiranku yang “belum nyampai” jadi terbuka lebar. Ada perspektif berbeda yang aku dapatkan dari kompasiana dari pada berita-berita dari media massa mainstream.

Di kompasiana, selain dapat berita, aku juga bisa membaca pandangan dari penulisnya. Jika kurang greget aku akan membaca berita yang sama, dengan pandangan berbeda dari penulis lainnya.

Momentum lebih besar terjadi saat pemilihan presiden tahun 2014 kemarin. Di kompasiana kita bisa membaca dengan bebas masing-masing ulasan dari hater dan lover. Mungkin jika tidak membaca kompasiana dan terlalu sering nonton tv, mungkin pilihanku akan terlalu mengerucut. Menjadi lover bagi satu calon dan menjadi hater bagi calon lain. Gara-gara kompasiana, aku memilih salah satu kandidat calon presiden dengan pertimbangan yang matang. Bukan hanya masalah suka dan tidak suka, tapi betul-betul karena sudah membaca berbagai tulisan, baik dari yang hater maupun yang lover.

Saat menjumpai adu argumen di dunia nyata antara pendukung salah satu kandidat dengan pendukung kandidat yang lain. Aku sering jadi penengah sebab apa yang mereka perdebatkan tidak jauh berbeda dengan yang diperdebatkan di kompasiana. Bahkan lebih seru di kompasiana sebab di dukung dengan berbagai data dan sumber berita, bukan sekedar adu kerasnya suara. Karena aku sudah membaca dari dua sisi yang berbeda, maka aku bisa menjadi penengah dari mereka dengan informasi yang lebih detail dan terperinci.

Dan masih banyak lagi kejadian-kejadian besar di negeri ini yang informasinya bisa aku dapatkan secara berimbang dari kompasiana. Misal berita tantang LHI, anas urbaningrum, ISL dan IPL, kriminalisasi KPK dan lain sebagainya.

Karena keasikan membaca berita dan artikel di kompasiana, aku jadi jarang nonton tv. Padahal biasanya aku sering menonton 2 TV berita terbesar di indonesia. Hingga pada bulan Februari 2015 tiba-tiba TV ku rusak tidak bisa mengeluarkan gambar. Karena sudah jarang nonton, aku tidak berniat untuk membetulkannya, meskipun mendapat tentangan dari anaku yang biasa nonton kartun dan istriku yang biasa nonton sinetron.

Dengan berbagai alasan dan argumen tentang makin tidak bermutunya acara televisi. Aku berhasil meyakinkan istriku bahwa kita tidak perlu punya TV. Akhirnya aku makin mantap untuk “tidak punya tv”.

Sampai artikel ini aku tulis, sudah sekitar 8 bulan aku “tidak punya TV”. Anak-anak kalau ingin nonton kartun biasanya lari ke rumah neneknya, yang hanya terpisah halaman dari rumahku. Lama-lama anakku mulai melupakan kartunnya dan istriku mulai melupakan sinetron kegemarannya. Sebagai gantinya aku membeli sebuah radio FM sebagai hiburan dan informasi untuk mereka. Rencananya aku akan mulai nonton tv lagi jika sudah punya cukup dana untuk berlangganan tv kabel. Sehingga channel-channel yang ditonton anaku bisa terkontrol lebih mudah.

Terima kasih kompasiana, karena kamu, aku dan keluargaku “tidak punya TV”. TV yang dulu menyala paling keras di ruang keluarga sudah jadi pajangan yang tidak pernah disentuh. Anak-anak dan istriku terselamatkan dari tontonan kurang bermutu yang tiap hari nongol di layar televisi.

Sekali lagi, terima kasih kompasiana.

Sumber Gambar: Dok. Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun