Mohon tunggu...
Khoirudin
Khoirudin Mohon Tunggu... Penjahit - Orang biasa

Hanya orang biasa, tidak lebih dan tidak kurang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penyebab Tidak Berdampaknya Tunjangan Profesi Guru Pada Kualitas Pendidikan

3 Oktober 2015   21:17 Diperbarui: 3 Oktober 2015   21:32 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari ini ramai diberitakan bahwa pemerintah akan meninjau ulang mengenai tunjangan profesi guru (TPG). Alasannya besarnya anggaran yang digelontorkan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Anggaran yang triliunan rupiah itu (ada sumber yang menyebutkan 80 triliun, ada yang menyebutkan 200 triliun) tidak memiliki dampak pada kualitas pendidikan di Indonesia. Meski kemudian diralat lagi bahwa tunjangan profesi tidak akan dihapus namun akan berganti nama menjadi tunjangan kinerja (khusus untuk guru PNS) karena merupakan amanat undang-undang.

Dihapus atau tidak tunjangan profesi guru tersebut, tentu kejadian di atas perlu kita renungkan bersama-sama. Pemerintah meninjau ulang, guru-guru penerima TPG juga perlu introspeksi diri. Mengapa hal tersebut bisa terjadi. Angka 80 Triliun atau 200 triliun bukanlah angka yang sedikit. Uang sebanyak itu bisa digunakan untuk memberi beasiswa pada ribuan siswa/mahasiswa kurang mampu.

Mari coba kita telaah dengan hati riang gembira. Oh ya, sebelumnya telaah ini saya batasi untuk menilai guru-guru swasta penerima TPG, jadi guru-guru PNS tidak termasuk dalam telaah ini. Mengapa demikian? sebab di sekolah saya guru PNSnya hanya beberapa orang. Jadi kurang valid untuk bisa menggambarkan kondisi makronya.

Kita mulai dari premis awal. Tujuan pemberian tunjangan profesi guru adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Atau bisa dibolak-balik biar tidak gosong. Setelah guru-guru mendapat status guru profesional, lalu mendapatkan tunjangan sertifikasi, diharapkan guru-guru tersebut akan melakukan hal-hal yang berbeda (dan lebih baik) dari pada guru-guru yang belum profesional, sehingga kualitas pendidikan di tanah air akan terdongkrak ke arah yang lebih baik juga.

Tapi kenyataan di lapangan, guru-guru profesional penerima TPG ternyata melakukan tugas keseharian yang sama dengan guru-guru non profesinal yang belum menerima TPG. Bahkan ada yang lebih buruk dari guru yang belum mendpatkan TPG. Lalu kira-kira apa yang menyebabkan hal tersebut?

Menurut saya, jawabannya simpel. Yaitu ketidak pastian. TPG yang triliunan rupiah itu bagi guru swasta bagaikan hantu baik yang datang sesuka hati. Diharapkan cair malah ndak cair-cair, ketika tidak diharapkan malah tiba-tiba cair dengan syarat pencairan yang seabreg. Kadang 3 bulan sekali cair, kadang 6 bulan sekali, kadang 1 tahun, kadang bahkan sampai lebih dari 1 tahun baru cair. Maka banyak guru (khususnya teman-teman saya) yang menganggap TPG sebagai uang kaget. Dari pada diharapkan ndak cair-cair (dan menyakitkan) lebih baik lupakan saja dan syukuri kalau suatu saat ada pengumuman cair.

Bisa pembaca bayangkan, bagaimana cara membuat perencanaan peningkatan kualitas pendidikan dengan suatu (anggaran) yang tidak pasti. Katakanlah ada seorang guru yang betul-betul berniat menggunakan uang TPG untuk meningkatkan kualitas pengajarannya. Pada hari setelah dia mendapatkan sertifikat profesi guru, dia berencana akan membuat silabus, RPP, prota, promes, dan seabreg perangkat pembelajaran yang lain. Dalam hitungannya Rp 1.500.000 / bulan cukup untuk membeli tinta printer, kertas hvs, mencicil angsuran laptop, membeli kopi dan cemilan untuk teman lembur dalam merampungkan perangkat pembelajaran.

Ternyata, hari berganti hari, bulan berganti bulan, uang yang diharapkan tak kunjung cair. Karena itu terpaksa kembalilah dia pada keadaan sebelumnya. Berkutat dengan anggaran Rp 300.000 / bulan dari honor sekolah untuk hidup. Ditambah lagi cari objekan sana-sini untuk membuat dapur mengebul. Sementara lupakan dulu prota, promes, RPP, silabus, dan perangkat pembelajaran lainnya. Yang penting berangkat pagi sebelum bel, mengajar sesuai dengan buku paket atau LKS, lalu pulang setelah bel terakhir. Toh selama ini dengan langkah seperti itu murid-murid juga lulus.

Atau mungkin ada guru yang berencana, setelah dapat TPG dia akan melanjutkan pendidikan ke S2. Namun apa daya uang yang mau digunakan untuk mendaftar tidak kunjung cair. Ketika cair, masa pendaftaran mahasiswa baru S2 sudah selesai. Mau nunggu tahun depan? Uangnya keburu habis untuk keperluan sehari-hari.

Kalau yang melakukan Cuma 1 orang guru mungkin tidak mengapa, namun jika yang melakukan sebagian guru di indonesia, tentu ini persoalan bersama. Ibarat cerita raja yang ingin menguji kesetiaan rakyatnya dengan cara mereka di suruh mengumpulkan satu sendok madu untuk raja yang ditaruh dalam 1 wadah besar. Rakyat berpikir, kan Cuma 1 sendok madu, bawa 1 sendok air saja ah, paling tidak ketahuan. Ternyata sebagian besar rakyat berpikiran sama. Hasilnya madu yang diharapkan raja, airlah yang terkumpul.

Para pembuat kebijakan di atas sana boleh berkata apa saja dengan program dan anggaran yang mereka canangkan. Tapi selama KETIDAK PASTIAN itu masih mengiringi pencairan TPG, jangan harapkan kualitas pendidikan di negeri ini akan meningkat. Oh ya, jangankan TPG yang 1.500.000 / bulan la wong Tunjangan Fungsional Guru (TFG) yang Rp 250.000 / bulan saja cairnya juga tidak pasti.

SALAM KETIDAK PASTIAN.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun