Mohon tunggu...
Satya Servi Yunianto
Satya Servi Yunianto Mohon Tunggu... Freelancer - Wiraswasta

Berita politik, hukum, ekonomi Dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Lebih Demokratis Dipilih DPRD daripada Musuh Kotak kosong

1 Januari 2025   15:02 Diperbarui: 1 Januari 2025   15:12 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Presiden Prabowo Subianto kembali membuka wacana untuk melakukan pilkada oleh DPRD. Tentu hal ini banyak memancing reaksi negatif dari masyarakat. Namun, gagasan yang disuarakan Prabowo ini patut untuk kita sikapi dengan lebih bijak lagi. 

Hal awal yang perlu kita toleh ke belakang adalah masa sebelum pilkada langsung. Bupati dan Walikota dipilih oleh DPRD. Untuk menjadi kepala daerah "nggak" perlu minta "restu" rakyat secara langsung. Calon bupati/walikota/gubernur hanya butuh suara anggota DPRD terpilih saja. 

Memang, jika kita kembali ke masa lalu, dimana kepala daerah di pilih DPRD, harus diakui akan "memasung" hak rakyat. Namun, kita juga harus koreksi. Apakah kepala daerah yang dipilih oleh rakyat dijamin "lebih baik" daripada pilihan DPRD? Walau penilaian ini tak dapat dibenarkan, bukankah lebih banyak kepala daerah yang terjerat hukum dari hasil pilkada langsung? 

Jika kita menyimak Sila ke 4 Pancasila, pemilihan kepala daerah oleh dewan tentu bukan jadi soal. Secara hukum anggota DPRD merupakan wakil dari rakyat. Kalau saja harapan rakyat bisa terwakili oleh wakilnya di DPRD, maka pilihan dewan "identik" dengan pilihan rakyat. 

Bila dikupas "mudharat" dari pelaksanaan pilkada langsung tentu faktor besarnya biaya jadi masalah utama. Di awal pencalonan, calon kepala daerah "meningkatkan citra diri" nya biar terlihat pantas menjadi pimpinan daerah. Mulai menggunakan jasa lembaga survey, pengenalan diri dengan pemasangan berbagai alat peraga, pembentukan tim "inti ring satu" bahkan melibatkan "botoh" yang biasa bertempur di pemilihan kepala desa. Belum lagi citra diri yang dibentuk lewat langit. Pasukan medsos, influencer dan beberapa konten kreator juga direkrut untuk "menaikkan" derajatnya. Kadang kala, sang "calon pemimpin" ini harus bersekutu dengan dukun atau "orang sakti" di daerah sekitarnya. Untuk mendapat "restu rakyat" beragam cara dilakukan, dan semua ini tidak mungkin gratis. Ada biaya yang lumayan besar guna menjadi orang nomer satu di suatu daerah. 

Setelah citra diri terbentuk, Sang Calon harus melakukan lobby-lobby pada ketua partai. Dilanjutkan dengan "entertaint" ketua umum partai yang tentu beserta "jajarannya". Untuk mendapatkan rekomendasi sebagai calon kepala daerah tentu ada lagi biaya "extra". Jika ingin lebih "terjaga" kekuatannya, sang calon harus melobby beberapa partai agar lebih maksimal. Agar kemenangan bisa lebih mudah didapat, perlu dukungan partai sebanyak-banyaknya. Langjah ini tentu butuh biaya yang tidak sedikit. 

Setelah mendapat rekomendasi, sang calon harus membentuk tim kampanye, membuat tim sukses tingkat kabupaten, kecamatan, tak desa sampai TPS. Belum lagi jika harus  "membeli" suara rakyat.

Untuk agenda ini perlu puluhan miliar atau bahkan sampai ratusan miliar rupiah. Apakah Anda percaya mereka digaji hanya dengan enam juta rupiah sebulan tanpa melakukan korupsi? 

Mudharat lainnya adalah kerukunan warga yang kian tergerus. Di tengah banyaknya negara yang mulai tercerai berai, relakah kita membiarkan Indonesia terpecah yang berawal dari agenda yang namanya pilkada langsung? 

Jika kita melihat pelaksanaan di daerah perkotaan yang masyarakatnya sudah "berpendidikan" moment pilkada hanya agenda yang cepat berlalu. Namun, di beberapa pelosok negeri ini sering kali moment pilkada langsung, menjadi perseteruan lima tahunan di lapisan masyarakat dan elit lokal. 

Jika terus dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk. Syak prasangka negatif pada pemilih calon lain akan terus "terpelihara" dihati warga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun