Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Meretas Kebebasan Berpikir, Filsafat Pendidikan sebagai Kunci Kreativitas di Era Digital

27 Agustus 2024   15:35 Diperbarui: 27 Agustus 2024   15:38 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Ilustrasi Purwalodra dengan AI.

Oleh. Mbah Dharmodumadi

Dalam era digital yang berkembang begitu pesat, kebebasan berpikir dan kreativitas menjadi dua elemen esensial untuk mengarungi dunia yang terus berubah. Pendidikan, sebagai fondasi dasar pembentukan karakter dan pemikiran seseorang, memegang peranan vital untuk melahirkan generasi yang berpikir kritis dan kreatif. 

Melalui filsafat pendidikan, kita dapat meretas jalan menuju kebebasan berpikir yang murni. "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia," kata Nelson Mandela, menggarisbawahi pentingnya pendidikan dalam membentuk pola pikir manusia. Di Indonesia, dengan alokasi dana pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, ada harapan dan tantangan tersendiri untuk mencapai tujuan ini.

Kondisi pendidikan di Indonesia, meski mengalami berbagai perbaikan, masih menghadapi tantangan dalam penegakan kebebasan berpikir. Sistem pendidikan yang seringkali terjebak dalam jebakan formalitas dan kurangnya fokus pada pengembangan kreativitas memerlukan pembaruan yang signifikan. 

Kurikulum yang padat dan orientasi pada hasil akhir sering kali menghambat proses berpikir kritis dan kreatif. Filosof John Dewey menekankan bahwa pendidikan bukan hanya persiapan untuk hidup, tetapi pendidikan adalah hidup itu sendiri. Pernyataannya ini mengingatkan kita untuk menjadikan pendidikan sebagai proses yang dinamis dan penuh makna, bukan sekadar rutinitas yang harus dijalani.

Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina memiliki pandangan mendalam mengenai pentingnya kebebasan berpikir dalam pendidikan. Al-Farabi, misalnya, menekankan pentingnya kebahagiaan sebagai tujuan utama pendidikan, di mana kebahagiaan itu diraih melalui pengetahuan dan kebijakan yang dipupuk lewat kebebasan intelektual. 

Pandangan ini sangat relevan, terutama di dunia digital saat ini di mana arus informasi begitu deras dan sering kali membingungkan. Kesadaran akan hal ini harus terbangun sejak dini melalui pendidikan yang memerdekakan pikiran.

Dalam suasana pendidikan di Indonesia, dimana akses dan kualitas masih menjadi isu utama, penting untuk memanfaatkan anggaran pendidikan secara efektif. Seharusnya, dana tersebut dapat difokuskan pada peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif peserta didik. Dalam kata-kata filsuf Immanuel Kant, "Sapere aude!", yaitu beranilah berpikir untuk dirimu sendiri. Meskipun tantangan di lapangan seperti kesenjangan geografis dan sosial- ekonomi masih ada, dukungan yang tepat dan inovatif dalam sistem pendidikan dapat membawa perubahan berarti.

Pendidikan di era digital menuntut adanya lingkungan yang mendukung keberagaman cara berpikir. Pendidikan yang berfokus pada pencapaian angka ujian dan keberhasilan akademik saja akan sulit melahirkan inovator unggul. Sebagai pengaruh dari teknologi, siswa saat ini lebih membutuhkan penerapan pengetahuan yang mereka peroleh dalam konteks dunia nyata, suatu hal yang ditekankan juga oleh filosof pendidikan seperti Paulo Freire. Baginya, pendidikan harus memerdekakan, bukan menindas.

Kreativitas, yang seringkali terpinggirkan dalam sistem pendidikan tradisional, harus dihidupkan kembali. Filosof kenamaan Bertrand Russell mengatakan bahwa "creativity is the driving force of progress." Kreativitas adalah kekuatan pendorong kemajuan yang sejati. Namun, untuk menumbuhkannya, kita memerlukan lebih dari sekadar instrumen teknis; kita butuh inspirasi dan dorongan dari lingkungan yang kondusif. 

Dalam konteks ini, teknologi digital bisa menjadi alat yang luar biasa, tetapi juga dapat menjadi sumber distraksi yang besar. Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan teknologi ini untuk mendorong kebebasan berpikir dan bukan kebalikannya. Pendidikan harus mengajarkan para pelajar tidak hanya cara menggunakan teknologi, tetapi juga bagaimana berpikir secara etis dan bijak di tengah penggunaan teknologi.

Penerapan filsafat pendidikan dalam kurikulum juga harus meliputi pembelajaran untuk berpikir kritis dan reflektif. Mengutip filsuf Prancis Michel Foucault, "Knowledge is power," yaitu pengetahuan adalah kekuatan, mengisyaratkan bahwa dengan memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, individu akan mampu mengendalikan dampak informasi yang deras di era digital ini.

Strategi pembelajaran yang bersifat kolaboratif dan interaktif dapat menjadi jalan keluar. Pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk berinteraksi secara aktif dan mengembangkan keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kreativitas. Dengan pendekatan ini, siswa tidak hanya pasif menerima informasi tetapi juga aktif mengolah dan menghasilkan ide-ide baru.

Filsuf Muslim seperti Ibnu Khaldun juga memberikan wawasan penting. Beliau percaya bahwa pendidikan haruslah menghasilkan masyarakat yang seimbang dan adil, yang termanifestasi dalam kehidupan sosial yang harmonis. Pendidikan seharusnya mempersiapkan individu untuk kontribusi yang lebih baik bagi masyarakat dan ini hanya mungkin jika pendidikan tersebut mampu meretas kebebasan berpikir dan kreativitas. Untuk itu, perlu adanya peran serta aktif dari para pendidik. 

Guru harus menjadi fasilitator yang dapat merangsang rasa ingin tahu dan semangat belajar siswa. Sokrates, dalam pendekatan dialektikanya, menunjukkan bahwa tanya jawab yang mendalam dan penuh makna adalah jalan terbaik untuk memicu pemikiran kritis. Pendekatan ini dapat pula menjadi contoh bagi guru di era digital ini untuk mengajak siswa berdialog, menjadikan kelas sebagai ruang diskusi yang hidup.

Di era kecepatan informasi ini, penting juga bagi siswa untuk belajar mengenai kebijaksanaan digital. Ini berarti memahami dampak dari tindakan mereka di dunia maya dan memiliki kemampuan untuk memfilter serta menganalisis informasi. "The unexamined life is not worth living," kata Socrates, menegaskan pentingnya refleksi mendalam untuk menjalani kehidupan yang berarti, termasuk dalam berselancar di dunia digital.

Kembali kepada konteks Indonesia, penting untuk menyiapkan pendidik yang mampu mengaplikasikan filsafat pendidikan yang berbasis pembebasan. Pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan wawasan filosofi para pendidik menjadi krusial agar mereka dapat mendukung siswa meretas pembelajaran yang membebaskan. Dalam konteks pemanfaatan APBN dan APBD, pengembangan profesi guru harus menjadi prioritas. 

Dengan merancang strategi pendidikan yang berlandaskan filsafat pendidikan progresif, diharapkan Indonesia mampu mencetak generasi yang tidak sekadar penonton di tengah datangnya era digital, tetapi menjadi pemain aktif yang kreatif dan inovatif. Lebih dari sekadar memberikan akses teknologi, pendidikan harus melatih anak didik untuk berpikir melampaui batasan dan menciptakan solusi baru.

Jadi, filsafat pendidikan memiliki peran sentral dalam meretas kebebasan berpikir dan kreativitas, dua torak utama untuk bertahan dan sukses di era digital ini. Dengan mengambil inspirasi dari pemikiran besar para filosof serta menerapkannya dalam sistem pendidikan kita, ada harapan nyata untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Pemikiran kreatif dan kritis bukan hanya hak individu, tetapi sebuah kebutuhan kolektif untuk menghadapi arus deras perubahan global. Friedrich Nietzsche pernah berucap, "He who has a why to live can bear almost any how," mengingatkan kita bahwa dengan tujuan yang jelas, kita dapat menghadapi tantangan apa pun, termasuk dalam dunia pendidikan digital saat ini. Wallahu A'lamu Bishshawaab.

Bekasi, 27 Agustus 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun