Oleh. Mbah Dharmodumadi
Dalam era digital yang berkembang begitu pesat, kebebasan berpikir dan kreativitas menjadi dua elemen esensial untuk mengarungi dunia yang terus berubah. Pendidikan, sebagai fondasi dasar pembentukan karakter dan pemikiran seseorang, memegang peranan vital untuk melahirkan generasi yang berpikir kritis dan kreatif.Â
Melalui filsafat pendidikan, kita dapat meretas jalan menuju kebebasan berpikir yang murni. "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia," kata Nelson Mandela, menggarisbawahi pentingnya pendidikan dalam membentuk pola pikir manusia. Di Indonesia, dengan alokasi dana pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD, ada harapan dan tantangan tersendiri untuk mencapai tujuan ini.
Kondisi pendidikan di Indonesia, meski mengalami berbagai perbaikan, masih menghadapi tantangan dalam penegakan kebebasan berpikir. Sistem pendidikan yang seringkali terjebak dalam jebakan formalitas dan kurangnya fokus pada pengembangan kreativitas memerlukan pembaruan yang signifikan.Â
Kurikulum yang padat dan orientasi pada hasil akhir sering kali menghambat proses berpikir kritis dan kreatif. Filosof John Dewey menekankan bahwa pendidikan bukan hanya persiapan untuk hidup, tetapi pendidikan adalah hidup itu sendiri. Pernyataannya ini mengingatkan kita untuk menjadikan pendidikan sebagai proses yang dinamis dan penuh makna, bukan sekadar rutinitas yang harus dijalani.
Para filsuf Muslim seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina memiliki pandangan mendalam mengenai pentingnya kebebasan berpikir dalam pendidikan. Al-Farabi, misalnya, menekankan pentingnya kebahagiaan sebagai tujuan utama pendidikan, di mana kebahagiaan itu diraih melalui pengetahuan dan kebijakan yang dipupuk lewat kebebasan intelektual.Â
Pandangan ini sangat relevan, terutama di dunia digital saat ini di mana arus informasi begitu deras dan sering kali membingungkan. Kesadaran akan hal ini harus terbangun sejak dini melalui pendidikan yang memerdekakan pikiran.
Dalam suasana pendidikan di Indonesia, dimana akses dan kualitas masih menjadi isu utama, penting untuk memanfaatkan anggaran pendidikan secara efektif. Seharusnya, dana tersebut dapat difokuskan pada peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif peserta didik. Dalam kata-kata filsuf Immanuel Kant, "Sapere aude!", yaitu beranilah berpikir untuk dirimu sendiri. Meskipun tantangan di lapangan seperti kesenjangan geografis dan sosial- ekonomi masih ada, dukungan yang tepat dan inovatif dalam sistem pendidikan dapat membawa perubahan berarti.
Pendidikan di era digital menuntut adanya lingkungan yang mendukung keberagaman cara berpikir. Pendidikan yang berfokus pada pencapaian angka ujian dan keberhasilan akademik saja akan sulit melahirkan inovator unggul. Sebagai pengaruh dari teknologi, siswa saat ini lebih membutuhkan penerapan pengetahuan yang mereka peroleh dalam konteks dunia nyata, suatu hal yang ditekankan juga oleh filosof pendidikan seperti Paulo Freire. Baginya, pendidikan harus memerdekakan, bukan menindas.
Kreativitas, yang seringkali terpinggirkan dalam sistem pendidikan tradisional, harus dihidupkan kembali. Filosof kenamaan Bertrand Russell mengatakan bahwa "creativity is the driving force of progress."Â Kreativitas adalah kekuatan pendorong kemajuan yang sejati. Namun, untuk menumbuhkannya, kita memerlukan lebih dari sekadar instrumen teknis; kita butuh inspirasi dan dorongan dari lingkungan yang kondusif.Â