Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi
Mbah Dharmodumadi Mohon Tunggu... Dosen - Mbah Dharmodumadi / Wira Dharmadumadi Purwalodra adalah nama pena dari Muhammad Eko Purwanto

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Ego dan Ekspektasi: Mengelola Harapan dan Persepsi dalam Menjalani Kehidupan!?

21 Agustus 2024   15:10 Diperbarui: 21 Agustus 2024   15:11 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Wira D. Purwalodra

Dalam kehidupan, ada dua aspek yang sering kali mendominasi pikiran manusia adalah ego dan ekspektasi. Dua hal ini, apabila tidak dikelola dengan baik, dapat membawa seseorang pada kekecewaan, kesedihan, dan berbagai bentuk penderitaan psikologis lainnya. Kombinasi antara ego yang memproyeksikan citra diri yang berlebihan dan ekspektasi yang terus-menerus atas dunia luar, seringkali menciptakan kesenjangan antara realitas dan harapan. Di sinilah, filosofi kuno dan prinsip-prinsip metafisik dari vibrasi dan hukum tarik-menarik atau Low of Attraction dapat memainkan peran yang sangat penting.

Socrates pernah berkata, "Kenalilah dirimu sendiri." Pengenalan diri ini tidak hanya melibatkan pemahaman atas kekuatan dan kelemahan kita, tetapi juga pemahaman tentang ego dan ekspektasi yang kita ciptakan. Ego adalah cerminan diri kita yang ingin selalu dihargai, dipandang tinggi, dan diterima oleh orang lain. Ekspektasi adalah bayangan imajinatif dari bagaimana kita ingin dunia merespons ego kita. Ketika kedua elemen ini tidak sinkron dengan kenyataan, penderitaan adalah hasil yang tak terhindarkan.

Ekspektasi yang tidak realistis menciptakan kekecewaan karena realitas seringkali tidak dapat memenuhi standar yang kita tetapkan sendiri. Dalam hal ini, Buddha mengajarkan, "Keinginan adalah akar dari semua penderitaan." Hawa nafsu dan keinginan yang tidak terkendali lah yang membawa kita kepada kekecewaan, karena dunia tidak mengikuti ekspektasi kita. Dengan melepaskan dari keinginan dan harapan yang tak realistis, kita dapat menemukan kedamaian dalam apa yang ada di depan kita.

Konsep vibrasi mengajarkan bahwa setiap pikiran dan perasaan kita memiliki frekuensi yang tertentu. Pikiran positif dan perasaan bahagia memancarkan vibrasi yang tinggi, sementara pikiran negatif dan perasaan sedih memancarkan vibrasi yang rendah. "Kamu adalah apa yang kamu pikirkan," kata Buddha. Pikiran yang kita pegang erat-erat mempengaruhi vibrasi yang kita pancarkan kepada dunia, dan ini berhubungan erat dengan hukum tarik-menarik.

Hukum tarik-menarik menyatakan, bahwa kita menarik pada diri kita hal-hal yang serupa dengan vibrasi kita. Ketika kita memelihara ekspektasi yang tinggi dan penuh ego, vibrasi yang kita pancarkan mungkin menciptakan situasi yang justru kontradiktif dengan harapan kita. Ralph Waldo Emerson mengatakan, "Hidup adalah cermin dan akan memantulkan kembali kepada pemikir apa yang dia pikirkan." Jika pikiran kita dipenuhi oleh ketakutan, kecemasan, dan ekspektasi yang tak realistis, itulah yang akan kita tarik kembali kepada diri kita.

Untuk menjalani kehidupan dengan lebih damai, penting bagi kita untuk memahami dan mengelola ego kita. Seperti yang dijelaskan oleh Lao Tzu, "Mengetahui orang lain adalah kecerdasan; mengetahui diri sendiri adalah pencerahan." Membiarkan ego melepaskan kita dari realitas hanya akan membawa kita pada kekecewaan yang lebih besar. Dengan menenangkan ego dan melihat diri kita dengan lebih jernih, kita dapat menyesuaikan ekspektasi kita sesuai dengan kenyataan, bukan fantasi.

Di samping itu, kita harus belajar mengelola ekspektasi kita dengan cara yang sehat. Menerima kenyataan seutuhnya tanpa menghakimi adalah kunci untuk melepaskan diri dari penderitaan yang disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi. Eckhart Tolle berkata, "Kehidupan adalah tentang saat ini. Hanya dalam saat ini kita dapat menemukan kebahagiaan yang sejati." Dengan menerima dan menghargai saat ini, kita bisa mengurangi tekanan dan kekecewaan yang seringkali datang dari ekspektasi yang berlebihan.

Mengendalikan ini memerlukan latihan dan ketekunan. Setiap hari kita dihadapkan pada berbagai macam situasi yang dapat mempengaruhi vibrasi kita. Namun, dengan sadar menjaga pikiran positif dan menyesuaikan ekspektasi kita, kita bisa memancarkan vibrasi yang harmonis dan menarik hal-hal baik dalam hidup kita. "Ketika Anda menginginkan sesuatu, seluruh alam semesta berkonspirasi membantu Anda mencapainya," seperti yang diutarakan Paulo Coelho dalam Alkemis.

Melepaskan ego tidak berarti kita kehilangan identitas kita, melainkan kita menemukan identitas sejati kita. Mengurangi ekspektasi tidak berarti kita tidak lagi punya tujuan dalam hidup, melainkan kita menjadi selaras dengan arus kehidupan yang sebenarnya. Aristoteles mengatakan, "Kebahagiaan tergantung pada kita." Dalam pandangan ini, kebahagiaan kita bukanlah hasil dari sesuatu atau seseorang, melainkan dari bagaimana kita mengelola harapan dan persepsi diri kita terhadap dunia.

Zen Buddhisme mengajarkan untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran tanpa gangguan dari ekspektasi yang tidak realistis. Menyadari setiap momen dalam hidup kita sebagai hadiah yang berharga dapat mengurangi dominasi ego dan ekspektasi dalam pikiran kita. "Saat ini adalah satu-satunya yang kita miliki; mencintai dan menikmatinya adalah satu-satunya jalan untuk benar-benar hidup," kata Thich Nhat Hanh.

Mengelola ekspektasi bukan berarti menyingkirkan harapan; hal ini lebih mengarah pada menyelaraskan harapan dengan apa yang nyata dan mungkin. Hanya dengan memahami keterbatasan kita sebagai manusia, kita dapat hidup lebih damai dan damai. Plato berkata, "Kebahagiaan terdiri dalam hidup yang baik, yaitu hidup secara bijaksana dan adil." Bijaksana dalam pengelolaan ego dan adil dalam harapan kita terhadap dunia.

Dalam menjalani kehidupan, kunci kebahagiaan terletak pada bagaimana kita mengelola diri sendiri dalam menghadapi segala tantangan dan harapan. Dalam proses ini, kita menemukan bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari pemenuhan ekspektasi kita, tetapi dari penerimaan diri kita dan dunia sebagaimana adanya. Epictetus, seorang filosof Stoik, mengingatkan, "Bukan peristiwa yang mengganggu kita, tetapi cara kita menafsirkannya."

Ego dan ekspektasi adalah bagian dari manusia yang perlu terus dikelola dan diselaraskan dengan realitas dan prinsip-prinsip vibrasi serta hukum tarik-menarik. Ketika kita memancarkan frekuensi yang penuh kedamaian, kita akan menarik hal-hal yang sama. "Apa yang kita pikirkan, maka kita 'menjadi'," kata Buddha. Jadi, mari kita pikirkan kedamaian, penerimaan, dan harapan yang sejati.

Jadi, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang dapat kita capai melalui pencapaian luar, tetapi dari dalam hati kita sendiri. Kebahagiaan adalah sebuah keputusan untuk menerima dan mencintai diri kita sendiri dan kehidupan ini dengan segala ketidakpastian dan keindahannya. Seperti yang dikatakan oleh Marcus Aurelius, "Ketidakbahagiaan berasal dari pilihan kita sendiri; keadaan luar hanya memiliki kuasa sejauh kita memberikan kuasa itu."

Dalam setiap momen kehidupan yang kita jalani, ego dan ekspektasi akan terus hadir. Namun, dengan pemahaman dan kesadaran, kita dapat mengelola mereka sehingga kita dapat hidup dalam kedamaian dan kebahagiaan sejati. Ingatlah, vibrasi dan pikiran kita adalah magnet yang menarik realitas kita, jadi pilihlah untuk memancarkan vibrasi yang positif dan penuh cinta.

Dengan mengelola ego dan ekspektasi, kita memiliki kunci untuk menjalani kehidupan yang lebih harmonis dan selaras dengan alam semesta. Seperti kata Mahatma Gandhi, "Jadilah perubahan yang ingin kamu lihat di dunia." Mari kita mulai dari dalam, mengelola ego dan ekspektasi kita, dan menciptakan kehidupan yang penuh kedamaian dan kebahagiaan sejati. Wallahu A'lamu Bishshawaab.

Bekasi, 21 Agustus 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun