Oleh. Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Beberapa waktu lalu istri saya membeli satu unit mesin cuci dengan merek yang tidak saya sebutkan disini. Mesin cuci merek baru yang belum memperoleh kepercayaan konsumen, namun harganya melebih mesin cuci dari merek lainnya yang sudah terposisi di benak konsumen. Garansi 5 tahun untuk motor pengendali putaran mesin dan penampilannya yang tidak kalah dengan merek terkenal.
Menurut istri saya, si penjual mesin cuci selalu mengatakan bahwa produk-produk keluaran sekarang tidak lagi mementingkan kualitas, tapi lebih fokus pada produk-produk yang laku dijual.Â
Mungkin karena ingin cepat memperoleh keuntungan, sehingga banyak perusahaan tidak lagi mementingkan kualitas. Padahal justru dengan kualitas inilah, konsumen tidak merasa tertipu dengan penampilan produk, Â meskipun penampilan atawa bentuk pun juga merupakan salah satu unsur dari kualitas itu sendiri. Â Â
Di Indonesia, dimana fokus pemasarannya masih berorientasi produsen, maka keluhan konsumen masih menjadi cita-cita dan harapan. Sebagai contoh, garansi atawa jaminan, dan segala bentuk pelayanan purna jual lainnya. hal ini masih berupa tipu-tipu yang sangat muslihat. Ada saja alasan yang bisa tedengar logis agar kita kemudian mengurungkan niat menagih janji-janji terkait garansi atau jaminan dari pelayanan purna jual tersebut.
Ketika isti saya menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, pembuangan air pada mesin cucinya tidak bisa tersambung erat dengan selangnya, maka otomatis hanya umpatan dan gerutuan saya yang bisa terdengar.Â
Dan, setelah istri saya mencoba komplain produk kepada pihak penjual, dengan ringan mereka menjawab, "itu sudah dari pabriknya bu, kita cuma menjual saja. Khan saya sudah bilang sama ibu, bahwa produk sekarang hanya mementingkan daya jual saja bukan kualitas ?!!"Â
Menurut saya, apa yang dialami oleh isti saya itu merupakan salah satu kejahatan korporasi (corporate crime), meskipun yang dilanggar adalah kualitas barang itu sendiri. Jika kualitas produk tidak memadai maka konsumen akan merasa tertipu, yang ujung-ujungnya merugikan konsumen. Â
Kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk kejahatan dalam dunia bisnis yang timbul karena perkembangan teknologi yang semakin canggih dan tingkat intelektual pelaku.Â
Didorong neo liberalisme dalam bidang ekonomi sehingga tujuan utama adalah mengumpulkan modal yang sebesar-besarnya melalui keuntungan dari korporasi (capital), maka hal ini akan rentan sekali menimbulkan kejahatankorporasi.
Marshall B. Clinard dan Peter C Yeager memberi pengertian kejahatan korporasi sebagai berikut, "A Corporation crime is any act committed by corporations that is punished by the state, regardless of whether it is punished under administrative, civil, or criminal law. This broadens the definition of crime beyond the criminal law, which is the only governmental action for ordinary offenders."Â
Kejahatan korporasi ialah setiap tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang dapat dijatuhi sanksi administrasi, perdata atau pidana. Kejahatan korporasi merupakan salah satu paradigma baru dalam dunia hukum sekarang ini, sehingga dalam peraturan perundang-undangan belum dicantumkan secara tegas tentang batasan-batasan korporasi dan bagaimana pertanggungjawabannya.
Batasan-batasan korporasi di indonesia memang masih meraba-raba. Perusahaan menginginkan bahwa semua produk yang sudah terjual di pasar, tidak lagi menjadi tanggunjawabnya, meskipun merek produk tersebut masih menempel selama produk tersebut kita gunakan.Â
Sementara, pihak konsumen ingin memperoleh manfaat yang signifikan (nyata) dari produk yang dikonsumsi, dengan aman, nyaman, puas dan memiliki pelayanan purna jual yang memadai.Â
Sampai saat ini, kesenjangan kepentingan belum mampu terjembatani. Lebih-lebih disaat paham neo liberalisme mewarnai perilaku produsen kita. Mereka memproduksi barang dan jasa bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen, namun hanya semata mengum-pulkan modal yang sebesar-besarnya melalui keuntungan secara finansial.
Dari uraian diatas, mungkin kita bisa menyadari bahwa posisi konsumen selalu menjadi objek jajahan produsen dalam kegiatannya mencari keuntungan finansial. Ketidaktahuan dan tidak adanya pilihan bagi konsumen adalah lahan empuk bagi produsen untuk memeras, mempecundangi bahkan membodohi konsumen.Â
Meskipun di negeri ini, hak konsumen telah diakui negara dan dilegalkan dalam bentuk undang-undang, tetap saja keseimbangan hak konsumen masih menjadi barang langka dan masih menjadi mimpi di siang bolong.Â
Oleh karena itu, ada baiknya kita mulai mengendurkan perilaku konsumtif kita terhadap produk-produk yang belum tentu kita butuhkan. Dan, yang terpenting bagi kita, para konsumen, untuk terus belajar agar tidak dibohongi produsen. Dengan pengetahuan kita yang terus berkembang terkait dengan produk dan jasa, maka kita akan lebih cermat dan teliti sebelum membeli, serta mampu mendedikasikan kepentingan konsumsi kita kepada kualitas. Bukan yang lain ?! Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 16 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H