Sumber Gambar : Dok. Pribadi.
Oleh. Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Beberapa waktu lalu seorang teman men-share (membagikan) sebuah tulisan di group WA, tentang pembunuhan kharakter seorang profesor di salah satu perguruan tinggi negeri. Dalam artikel tersebut menyatakan bahwa seorang profesor telah banyak meluluskan mahasiswa S3 nya dengan cara-cara yang kotor dan tidak akademis. Membaca tulisan tersebut saya marah dan geram, baik terhadap teman saya yang men-share tulisan tersebut, maupun orang yang menulisnya. Bahkan saya mengutuk orang-orang yang men-share tulisan tersebut dengan kalimat yang pedas dan mungkin pula tidak akademis.
Dari sikap dan perilaku tidak akademis dari teman saya, yang notabebe seorang akademisi itu, yang dengan sengaja membagikan tulisan tentang pembunuhan kharakter dari seorang akademisi pula, merupakan perilaku ketidakwarasan akademis yang tertanam dalam dirinya. Perilaku semacam ini seringkali kita lakukan hanya untuk memperoleh sensasi belaka, tanpa pikiran yang terkritisi secara baik. Kita membagikan tulisan-tulisan yang belum tentu kebenarannya di dalam grup-grup WA, atau mungkin kita sengaja menulisnya hanya untuk melakukan brainwashing saja. Â
Saya selalu diingatkan oleh pernyataan orang-orang bijak, bahwa "dari seribu orang yang berbicara di Watsapp (WA) atau medsos lainnya, hanya ada satu orang yang berpikir. Dan dari seribu orang yang berpikir itu, ada satu orang yang mampu melihat." Dari pernyataan ini, ternyata beberapa ribu tahun lalu, ketika Rasulullah menyebarkan wahyu, Allah Swt berfirman dalam Al Qur'an Surat As-Sajdah Ayat 9, "kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur."
Pendengaran, penglihatan dan hati merupakan fasilitas dari Tuhan kepada manusia untuk dapat digunakan seoptimal mungkin dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini. Dan, hendaknya kita berhati-hati dalam mendengar, melihat, berucap dan berbuat, karena semua itu pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al Isra' ayat 36, Â "Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya."
Dari dua ayat diatas, mestinya kita sadar dan kritis dengan apa yang kita share dalam group-group WA (whatsApp) kita. Mestinya kita juga mengetahui mana yang mesti di share, mana yang mesti diluruskan dan mana tulisan-tulisan yang tidak perlu kita share. Dan bagi seorang akademisi sudah semestinya memahami hal ini !!?
Mungkin saja, pembunuhan-pembunuhan kharakter melalui tulisan-tulisan yang tidak bertanggungjawab diatas, merupakan sebuah bentuk krisis kewarasan yang terjadi di tingkat global. Semua hal menjadi terbalik. Nilai-nilai kebaikan diabaikan, dan nilai-nilai yang buruk justru menjadi dominan di masyarakat. Orang-orang berprestasi tersingkir, sementara para penjilat dan koruptor justru memiliki kedudukan-kedudukan penting di masyarakat. Nietzsche punya istilah yang pas untuk itu, yakni pembalikan semua nilai.
Secara definitif, orang yang waras adalah orang yang melihat dunia apa adanya, lalu bertindak berdasarkan pengetahuan itu. Ketika orang hanya melihat dunia sebagaimana mereka ciptakan di dalam pikiran maupun ambisi mereka, maka mereka kehilangan pijakan pada kenyataan. Inilah ciri utama orang-orang yang tidak waras, yakni kegagalan untuk berpijak pada kenyataan sebagaimana adanya.
Dalam berbagai literatur perilaku ketidakwarasan ini berawal dari berbagai sebab, antara lain : Pertama, adalah "penggunaan akal budi secara publik." Maksudnya, antara lain, bahwa kehidupan bersama di dalam masyarakat, mestinya ditata dengan menggunakan prinsip-prinsip yang masuk akal. Dengan prinsip-prinsip yang masuk akal ini, kehidupan bersama lalu bisa ditata dengan damai, dan kemakmuran bersama pun bisa diwujudkan.
Tanpa akal sehat, atau rasionalitas, kehidupan bersama akan jatuh ke dalam kebiadaban. Inilah yang disebut Thomas Hobbes sebagai keadaan Bellum Omnia Contra Omnes, yakni keadaan perang semua melawan semua. Keadaan ini jelas merupakan cerminan ketidakwarasan masyarakat. Keadaan ini membawa dua dampak jelek lainnya, yakni reifikasi dan alienasi.
Kedua, di dalam ranah teori-teori Neo-Marxis, terutama pemikiran Karl Marx dan Antonio Gramsci, reifikasi dan alienasi dipahami sebagai dua ciri masyarakat kapitalis yang menindas kelas pekerja. Reifikasi adalah gejala pembedaan, dimana manusia dan hasil kerjanya dianggap semata-mata sebagai benda mati yang bisa diperjualbelikan. Sementara, alienasi adalah keadaan keterasingan kelas pekerja dari hasil karyanya, komunitas hidupnya dan bahkan dari dirinya sendiri, karena penindasan ekonomi, sosial dan politik yang ia alami.
Tentu saja, keduanya ini merupakan ciri masyarakat yang tidak waras. Manusia dinilai sebagai benda. Ia juga saling terasing satu sama lain, sehingga hidup dalam kesepian dan kecurigaan. Reifikasi dan alienasi adalah dua hal yang selalu tertanam di dalam sistem kapitalisme. Ketika sistem tersebut tersebar secara global, maka reifikasi dan alienasi pun juga ikut tersebar.
Selanjutnya yang ketiga, bahwa di dalam masyarakat yang mengalami reifikasi dan alienasi, maka mental pengecut menjadi dominan. Mental ksatria menjadi langka, dan justru dibenci. Penjilat dan pencari aman, walaupun mengorbankan nilai-nilai sejati kehidupan, dianggap sebagai keutamaan yang penting untuk kehidupan. Semuanya menjadi terbalik.
Pada akhirnya, dalam kondisi masyarakat yang semakin hari semakin tidak waras ini, apakah kita akan terkontaminasi dengan ketidakwarasan tersebut, ataukah justru kita tetap waras tapi dijauhi oleh teman-teman kita ?!!. Ingat apa dikatakan oleh Ronggowarsito, "Amenangi zaman édan, éwuhaya ing pambudi, mélu ngédan nora tahan, yén tan mélu anglakoni, boya keduman mélik, kaliren wekasanipun, ndilalah kersa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang éling klawan waspada." Artinya "Berada pada zaman edan; Kalau ikut edan tidak akan tahan; Tapi kalau tidak ngikuti edan tidak kebagian; Sebahagia-bahagianya orang yang edan;  Akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada." Artinya : "Menyaksikan zaman gila, serba susah dalam bertindak, ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak mengikuti (gila), tidak akan mendapat bagian, kelaparan pada akhirnya, namun telah menjadi kehendak Allah, sebahagia-bahagianya orang yang lalai, akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada." Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 03 September 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H