Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berangkat dari Titik Akhir Kehidupan

10 Juni 2017   00:01 Diperbarui: 26 Oktober 2023   11:13 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Mbah Dharmodumadi Purwalodra.

Tulisan ini adalah jelmaan dari tulisan saya sebelumnya, yang saya unggah pada 15 Maret 2009. Sungguh, tak terasa, sudah delapan tahun tersimpan di Kompasiana. Namun, akhir-akhir ini saya merasakan kerinduan yang amat dalam, ketika waktu melesat begitu cepat, menggiring usia yang semakin hari, semakin tidak lagi muda. Jika saja Allah Swt, dapat menghadiahi usia saya duapuluh tahun lagi, saya sudah berusia 70-an tahun. Mungkinkah pada usia tersebut, saya masih memiliki kemampuan menulis seperti malam ini ?!

Judul awal dari tulisan ini pada tahun 2009 lalu adalah "Belajar Menjadi Lebih Hidup," namun, agar tulisan ini tidak disebut sebagai plagiat atas tulisan saya sebelumnya, maka judulnya pun berubah menjadi apa yang saat ini anda baca diatas. 

Saya mulai dari karunia Allah Swt, yakni usia. Ternyata, hidup kita itu begitu singkat. Pada saat  kita tak mampu mengelola hidup yang singkat ini, sudah pasti diakhir titik kehidupan, kita akan menemukan kemenderitaan. Dan, apa yang selama ini kita jalani menjadi sangat sia-sia. Kita tak lagi menemukan makna dan keindahan hidup yang kita jalani ?!!

Akankah kita membiarkan hidup kita berakhir dengan realitas semu, dimanaidentitas diri menjadi tujuan, kekayaan dan kepopuleran menjadi bagian perjuangan hidup kita sehari-hari, tanpa berpikir bahwa semua itu akan berakhir. Sebagaimana firman Allah Swt, dalam QS. Fthir : 37, " ... Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan.."

Sementara itu, Ibnu Katsir menjelaskan firman Allah diatas, "Artinya, bukankah kalian hidup di dunia ini selama beberapa waktu. Kalau kalian orang yang mau mengambil manfaat dari kebenaran, tentu kalian sudah mengambilnya di rentang waktu usia kalian itu." Hidup ini ternyata merupakan kesempatan satu-satunya bagi kita untuk meraih keberuntungan. Ungkapan bijak menyatakan, 'Hidup sekali, hiduplah yang berarti.' Dan kesempatan yang sekali itu, betapapun panjangnya, tidaklah terlalu lama, dan bahkan kerap berlalu tanpa terasa. "Usia umatku berkisar antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun. Sedikit yang berhasil melewatinya,"Sabda Rasulullah SAW.

 

Ketika kita sedikit mau berfikir tentang realitas hidup ini, ternyata Allah Swt telah menganugerahi kita fikiran dan akal budi, yang bisa kita gunakan untuk melahirkan berbagai penyakit fisik maupun mental, atau kita gunakan untuk menciptakan kesehatan, kegembiraan dan kebahagiaan. Kita selalu memiliki hak untuk memilih, hidup macam apa yang ingin kita jalani. Karena itu, mungkin, nasehat seorang teman, bisa kita jadikan 'tombo ati' untuk mengawali hidup pada detik-detik akhir dalam hidup kita. Nasehat itu begini, "Belajarlah menjadi orang tua, ketika kita muda. Belajarlah menjadi orang yang menderita sakit, ketika kita sehat. Dan, belajarlah menjadi orang mati, ketika kita hidup."

Belajarlah menjadi orang tua, ketika muda.

Sifat orang tua, selalu berusaha memenuhi kebutuhan fisik, mental dan spiritual kepada anak-anaknya. Apapun yang dituntut anak-anaknya, orang tua akan memenuhinya, dalam kondisi apapun. Orang tua selalu mengasihi dan melindungi anak-anaknya, memberikan pendidikan untuk bekal kemandiriannya, kelak. Ketika anak-anaknya beranjak dewasa dan mandiri, orang tua tetap saja tidak akan pernah melepas tanggungjawab terhadap anak-anaknya. Meskipun, kebanyakan orang tua tidak lagi mempunyai kemampuan untuk memenuhinya, sementara keinginan mereka tetap ingin  memenuhi kebutuhan fisik, mental dan spiritual anak-anaknya.

Ketika kita menjalani hidup sebagai orang tua, pada saat kita masih muda, pelajaran yang bisa kita petik, bahwa kita tidak akan terkejut (pos power sindrome) jika masa tua itu tiba, karena kita sudah mengalaminya sejak usia muda. Kebiasaan kita menjadi orang tua, akan menjadikan diri kita lebih arif dan bijak. Lebih memahami pahit-manisnya kehidupan. Dan, yang lebih penting lagi, bahwa ketika kita menjadi orang tua, selain menjadi lebih bertanggungjawab, juga menjadi teladan bagi anak-anaknya.     

Belajarlah menjadi orangyang menderitasakit, ketikakitasehat.

Sifat orang sakit adalah tidak berdaya, baik secara fisik, mental maupun psikhis. Semangat hidupnya redup, keceriaan dan kegembiraannya hilang. Tidak sedikit orang putus asa, gara-gara menderita penyakit. Dari kondisi tersebut, banyak hal bisa kita pelajari dari orang yang menderita sakit ini, bahwa kita bisa belajar tentang kesabaran, keberserahan, dan keteguhan hati dalam menjalaninya.

Ketika kita menderita sakit beneran, nilai-nilai kesabaran, keberserahan, kesungguhan mental, dan keteguhan hati ternyata dapat mengentaskan kita, untuk lebih cepat sembuh dan sehat kembali.

Belajarlah menjadi orang mati, ketikakitahidup.

Orang yang sudah mati, adalah orang yang benar-benar ikhlas mau diapakan dirinya. Karena ia tak lagi mampu membela diri, tidak lagi bisa berargumentasi, dan tidak adalagi kemelekatan pada identitas, harta dan kepopuleran. Bahkan orang yang sudah mati tidak akan bisa melakukan apapun, pada saat ia dijahati sekalipun. Orang yang sudah mati hanya bisa berharap, agar hubungannya dengan yang masih hidup, masih bisa berlangsung. Ia berharap anak-anaknya dan orang-orang yang pernah hidup bersamanya dulu, selalu mendo'akan setiap saat. Sisa hartanya dibelanjakan kepada hal-hal yang baik dan bermanfaat buat orang banyak (shadaqoh Jariah), dan Ilmu yang disampaikan menjadi maslahat bagi orang-orang yang menerimanya.

Belajar menjadi orang yang sudah mati, adalah belajar berserah diri kepada Allah Swt., apapun kehendak-Nya. Kekuatan yang kita miliki dari belajar menjadi orang yang sudah mati adalah kekuatan iklash, kemampuan mengendalikan kepentingan dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu.

Dari titik ini, kita bisa memahami pembelajaran hidup, kita akan mampu mengelola hidup yang sementara ini dengan damai dan bahagia. Tindakan kita tidak lagi tergesa-gesa. Kepentingan yang kita miliki hanya menjalani hidup ini dengan selalu bersyukur dan ikhlas, dan terus berpikir kritis bahwa ternyata dalam hidup ini, kita tidak akan mampu mendustai nikmat-Nya, sampai di titik  akhir kehidupan kita. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 10 Juni 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun