Oleh. Mbah Dharmodumadi Purwalodra.
Entah sejak kapan istilah air mata buaya ini dilekatkan kepada orang-orang yang berpura-pura simpati atawa berpura-pura memiliki emphati kepada orang lain. Padahal menurut penelitian, buaya mengeluarkan air mata pada saat memakan mangsanya, bukan karena iba, tetapi memang sedang bersungguh-sungguh memakan mangsanya. Istilah air mata buaya ini tiba-tiba muncul di benak saya, ketika ada seorang pimpinan sebuah organisasi terpaksa harus tergantikan oleh orang lain, yang ia rasa lebih bodoh dari dirinya. Ungkapan yang khas dari pemimpin yang merasa dirinya paling mampu dan kurang legowo untuk melepas jabatannya, begini, “sebelumnya saya mohon maaf atas apa yang telah saya perbuat untuk kemajuan organisasi ini, tanpa orang-orang yang ada dalam organisasi ini, yang telah membantu saya, mustahil saya mampu membangun organisasi ini sedemikian baik dan maju. Saya tidak tahu apakah pengganti saya akan mampu meneruskan program-program yang telah saya jalankan ini .....”
Kata-kata diatas terkesan cukup menusuk, dan mampu menarik simpati bagi orang-orang yang menjadi pengikutnya, namun bukan bagi penggantinya. Bagi para pengikut dari pemimpin yang congkak itu, cukup memberi sentuhan magis. Lantas mereka pun mengeluarkan air mata. Air mata buaya. Mengapa saya sebut demikian ? Sebenarnya, mereka yang merasa menjadi pengikutnyapun, tak mungkin merasakan adanya kenyamanan dan ketenangan bekerja. Pemimpin yang merasa dirinya lebih dari yang lain, adalah pemimpin yang tidak pernah menghargai dan selalu meremehkan orang lain, bahkan pengikutnya sekalipun. Kenyataan ini tak lagi bisa terbantahkan !!!
Air mata buaya (atau simpati buatan) adalah emosi palsu pada seorang munafik yang pura-pura bersedih dan mengeluarkan air mata palsu. Nyatanya, memang tak bisa disangkal lagi, kita hidup di dunia yang penuh dengan kemunafikan. Bagaikan udara, kemunafikan terasa di setiap nafas yang kita hirup. Kemunafikan juga tampak di setiap sudut yang dilihat oleh mata. Mungkin, konsep ini benar : kita munafik, maka kita ada ?!!
Namun, seringkali, kemunafikan tidak kita sadari. Keberadaannya ditolak. Menyangkal bahwa kita adalah mahluk munafik, merupakan suatu kemunafikan tersendiri. Yang kita perlukan adalah menyadari semua kemunafikan yang kita punya, dan mulai “menelanjangi bentuk-bentuk kemunafikan” yang bercokol di dalam diri kita.
Di masyarakat kita, tindakan munafik bagaikan kanker yang menjalar ke seluruh sendi-sendi kehidupan individual. Di dalam pendidikan, kemunafikan menjadi paradigma yang ditolak, namun nyatanya diterapkan secara sistematis. Guru mengajar tentang kejujuran, sementara ia sendiri menyebarkan contekan untuk Ujian Nasional. Pemerintah bicara soal sekolah gratis di berbagai media, sementara pungutan liar di sekolah-sekolah tetap saja berlangsung.
Para professor menerima tunjangan raksasa, sementara mereka tak memiliki karya berharga. Guru mendapat uang lebih, namun paradigma mengajar tetap sama, yakni memaksa untuk menghafal, dan memuntahkan kembali melalui ujian. Tujuan pendidikan yang luhur dipampang di muka umum, namun prakteknya justru menyiksa peserta didik, dan memperbodoh mereka.
Ujian dibuat, namun tidak menguji apa yang sungguh penting. Kompetisi digalakkan, tetapi hanya berperan sebagai simbol tak bermakna, yang tak menandakan apapun. Gelar diberikan dan dipampang panjang-panjang, tetapi hanya simbol yang sia-sia belaka. Pendidikan karakter dikumandangkan dengan gencar, tetapi sebenarnya hanya merupakan proyek pemerintah untuk mengucurkan uang lebih, dan kesempatan untuk korupsi.
Selanjutnya, di dunia bisnis, dimana para pekerja mengekspresikan bakat serta kemampuannya, juga tak bebas dari kemunafikan. Senyum manis sebagai wujud pelayanan prima diberikan, hanya untuk menutupi kecemasan yang luar biasa terhadap penghasilannya yang super terbatas. Pembukuan keuangan perusahaan dijungkirbalikkan untuk menghindari pajak, dan menumpuk keuntungan bagi pemilik modal. Retorika tentang defisit anggaran diberikan untuk menekan upah pekerja, padahal keuntungan yang ada melulu mengalir di kantong pribadi para pemilik modal.
Di bidang Politik pun tidak lepas dari penyakit kemunafikan. Senyum di media disebarkan secara luas, sementara korupsi dan penipuan terus dilakukan. Janji-janji indah digemakan, sementara praktek nyata untuk perbaikan kehidupan bersama tak kunjung tiba. Baju necis dan bau harum menjadi ciri para politikus untuk menutupi kekotoran tindakan mereka yang telah membunuh banyak orang.
Pidato-pidato para politikus dibuat seindah mungkin, didukung dengan data-data yang telah dipalsukan, untuk menutupi kenyataan sosial yang menyakitkan. Retorika, yakni kemampuan mempermainkan kata dan menjungkirbalikkan kebenaran, menjadi senjata para politikus untuk menyembunyikan borok politik yang ada. Konvoi-konvoi di jalan raya seolah membuka jalan untuk orang penting, yang sebenarnya hanyalah parasit korup yang menyiksa rakyat.
Ternyata, masih sangat panjang jika kita urut satu-persatu kemunafikan yang kita alami sehari-hari. Salah satu analisis yang paling rasional, bahwa kemunafikan-kemunafikan tersebut lahir dari proses pendidikan kita di dalam keluarga. Ketika orang tua tidak lagi menjadi teladan, dan apa yang mereka katakan tidak berbanding lurus dengan apa yang mereka lakukan, maka anak-anak kita dengan terpaksa terdidik menjadi orang-orang munafik.
Ketika kita, selaku orang tua, berbicara tentang kesetian, sementara kita melakukan perselingkuhan dimana-mana. Ketika seorang istri berbicara soal kejujuran, sementara setiap bulannya, ia mencuri uang rumah tangga untuk kepentingan yang tak jelas. Orang tua berbicara tentang kerajinan, sementara, mereka sendiri malas bekerja. Orang tua berkhotbah tentang pentingnya menaati aturan, sementara mereka sendiri sering melanggar aturan dan hukum, serta merugikan orang lain. Inilah akar dari semua kemunafikan itu ?!!
“Air mata buaya” yang menjadi judul tulisan ini, merupakan fenomena kepura-puraan kaum munafik yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an, Surat Al Baqarah ayat 11 – 15.
Ayat 11. Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.",
Ayat 12. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar,
Ayat 13. Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman." Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu,
Ayat 14. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.",
Ayat 15. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.
Jadi, jelas bahwa kemunafikan adalah jurang yang terlalu besar antara kata dan perbuatan, antara ajaran dan tindakan di lapangan, serta antara apa yang “secara teoritis” menjadi tujuan bersama dan apa yang “secara empiris” terjadi di dalam kehidupan nyata. Jurang ini memang selalu ada. Namun, kedalaman dan keluasannya akan menentukan besarnya kemunafikan yang kita lakukan ?!! Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 30 April 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H