Ternyata, masih sangat panjang jika kita urut satu-persatu kemunafikan yang kita alami sehari-hari. Salah satu analisis yang paling rasional, bahwa kemunafikan-kemunafikan tersebut lahir dari proses pendidikan kita di dalam keluarga. Ketika orang tua tidak lagi menjadi teladan, dan apa yang mereka katakan tidak berbanding lurus dengan apa yang mereka lakukan, maka anak-anak kita dengan terpaksa terdidik menjadi orang-orang munafik.
Ketika kita, selaku orang tua, berbicara tentang kesetian, sementara kita melakukan perselingkuhan dimana-mana. Ketika seorang istri berbicara soal kejujuran, sementara setiap bulannya, ia mencuri uang rumah tangga untuk kepentingan yang tak jelas. Orang tua berbicara tentang kerajinan, sementara, mereka sendiri malas bekerja. Orang tua berkhotbah tentang pentingnya menaati aturan, sementara mereka sendiri sering melanggar aturan dan hukum, serta merugikan orang lain. Inilah akar dari semua kemunafikan itu ?!!
“Air mata buaya” yang menjadi judul tulisan ini, merupakan fenomena kepura-puraan kaum munafik yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al Qur’an, Surat Al Baqarah ayat 11 – 15.
Ayat 11. Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.",
Ayat 12. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar,
Ayat 13. Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman." Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu,
Ayat 14. Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.",
Ayat 15. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka.
Jadi, jelas bahwa kemunafikan adalah jurang yang terlalu besar antara kata dan perbuatan, antara ajaran dan tindakan di lapangan, serta antara apa yang “secara teoritis” menjadi tujuan bersama dan apa yang “secara empiris” terjadi di dalam kehidupan nyata. Jurang ini memang selalu ada. Namun, kedalaman dan keluasannya akan menentukan besarnya kemunafikan yang kita lakukan ?!! Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 30 April 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H