Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi
Mbah Dharmodumadi Mohon Tunggu... Dosen - Mbah Dharmodumadi / Wira Dharmadumadi Purwalodra adalah nama pena dari Muhammad Eko Purwanto

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kesempurnaan Itu, Selalu Berubah?

24 Februari 2016   08:58 Diperbarui: 17 Maret 2016   08:39 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberpa waktu lalu, perusahaan dimana saya bekerja menggelar rapat kerja, untuk menetapkan kegiatan apa saja yang akan dilaksanakan di tahun depan. Dengan beragam ide dan gagasan yang muncul bagai air terjun, yang melesat ke bawah. Menggelepar keluar untuk mencari kenyataan, atawa realitasnya masing-masing. Namun, bagi saya, apapun kegiatan yang akan dilaksanakan tanpa rasa cinta dan perasaan memiliki, maka aktivitas itu hanya akan melahirkan kekecewaan besar dalam hidup.

Apalagi dalam raker tersebut seorang pimpinan menyatakan bahwa penyakit karyawan saat ini, adalah seringnya meninggalkan tugas-tugas perusahaan dan hanya mengejar kepentingannya sendiri saja. Bagi saya, apa salahnya seseorang memiliki kepentingannya sendiri ?! Jika kepentingannya itu bersentuhan dengan kepentingan perusahaannya. Tokh, seseorang mendapatkan kompensasi finansial atau non finansial juga untuk kepentingan keluarganya sendiri, bukan untuk kepentingan pimpinannya, khan ?!

Karyawan lain yang mendengar pernyataan pimpinan, yang cukup nembus ke ulu hati para bawahannya itu, hanya bergumam, “lihat sebentar lagi ia akan kena batunya.” Karena selain, tuduhan itu tanpa dasar, juga tanpa fakta dan data yang valid dan realibel. Pernyataan tersebut hanya akan menumbuhkan office politics yang tidak penting. Namun demikian, saya hanya menduga, bahwa pimpinan saya ini sedang mengalami sindrome perfectionist saja, tidak lebih dan tidak kurang.

Makna dari Istilah perfectionist adalah seseorang yang mengejar kesempurnaan. Hal ini bisa berkonotasi positif dan bisa juga berkonotasi negatif. Positif atau negatifnya tergantung pola pikir seseorang itu. Oleh karena itu harus dipahami apa bedanya perfectionist positif dan perfectionist negatif.

Contoh perfectionist positif yakni, jika si Amir adalah seorang mahasiswa perfectionist. Dia ingin segalanya sempurna. Bahkan ketika mengikuti perkuliahanpun dia belajar mati-matian alias dengan giat, agar mendapat nilai A. Namun rernyata si Amir diakhir semester nilai UAS-nya dapat nilai B. Diapun menerima kenyataan itu dan tidak merasa kecewa serta tidak merasa gagal untuk mencapai nilai A, semua ini diakuinya sebagai kesalahannya sendiri.

Jadi bisa dikatakan, bahwa si Amir diatas memiliki perfectionist positif, karena ia adalah seseorang yang mempunyai standar maksimal kesempurnaan. Namun, kalau tidak tercapai, maka dia akan menerima hasil akhirnya walaupun tidak 100% sesuai yang ia idealkan. Apabila gagal, ia tak menutupinya ataupun menyalahkan orang lain. Ia berpikir idealistis sekaligus realistis.

Contoh lain, bahwa si Anto adalah seorang pria yang terpilih sebagai Kepala Desa. Ia punya standar kesempurnaan yang tinggi. Bahkan, sebelum berpidato, ia berputar-putar di depan cermin sekitar satu jam lamanya. Ia lihat celana, baju dan pecinya. Harus bersih dan sempurna. Bahkan dia meminta bantuan beberapa orang untuk membantu menyempurnakannya. Begitu, ada celana atau baju yang kurang sempurna, maka diapun marah-marah ke anak buahnya dan meminta celana dan baju lain, agar sesuai keinginannya dan harus sesuai standar kesempurnaannya. Ia bahkan selalu menyalahkan orang lain.

Si Anto tersebut, ingin hasil kerjanya dinilai sempurna. Dia tidak mau dikritik atau dikatakan berbohong. Tidak mau dikatakan ingkar janji. Tidak mau dikatakan gagal. Maka diapun terjebak pada cara pikir pencitraan. Mengiklankan melalui media massa hanya hal-hal yang berhasil menurut kriterianya sendiri. Misalnya, angka kemiskinan di desanya tidak mengggunakan standar kemiskinan yang berlaku umum, tetapi menggunakan standar kemiskinan yang direkayasa sendiri. Kalau dikatakan ingkar janji, maka membela diri bahwa itu bukan ingkar janji, tetapi hanya target yang belum tercapai.

Ilustrasi si Anto dan si Amir diatas merupakan contoh sebagai seorang yang mengejar kesempurnaan atawa perfectsionist. Namun, menurut saya apapun yang namanya perfectsionist itu sama-sama menjadi orang yang menderita. Orang yang selalu perfect (sempurna) alias selalu mencari kesempurnaan akan mudah stress, depresi, dan perasaan takut yang berlebihan. Karena kesempurnaan yang di kejar itu tidak pernah diam, statis maupun stagnan. Seperti halnya kita mengejar masa depan, karena masa depan itu sejatinya tidak pernah ada. Yang ada adalah hari ini, di sini. Dalam bentuk aktivitas, orang ingin tampil sempurna, apa yang dilihatnya harus sempurna, dan apa yang dilakukanya juga mesti sempurna. Dalam bentuk lainnya, yakni apapun yang dipikirkan sempurna, apa yang direncanakan harus sempurna,  dan apapun yang dirasakannya mesti sempurna. Orang yang mencari kesempurnaan ini, tidak mengakui adanya kesalahan. Semuanya harus perfect (sempurna), mulai dari yang direncanakan, dilaksanakan, sampai kepada hasil yang bakal dia perolehnya.

Wajar memang, jika setiap orang selalu teraspirasi pada kesempurnaan. Orang akan selalu menghargai karya yang sempurna, dan kemudian tergerak hatinya oleh kesempurnaan yang tampak di dalam keindahan, di manapun ia berada, mulai dari karya seni, atau sekedar tanaman yang berwarna-warni yang menggoda hati. Inilah dasar, mengapa setiap orang mencari kesempurnaan dalam hidupnya.

Mungkin kita perlu menyadari bahwa yang dimaksud dengan sempurna itu adalah seimbang. Kesempurnaan itu adalah seimbang dalam kesederhanaannya, sekaligus kerumitannya. Ia sempurna dalam kelembutan, sekaligus kekuatannya. Kesempurnaan hidup manusia pun identik dengan keseimbangannya untuk mengatur berbagai ekstrem, tanpa pernah jatuh ke salah ekstrem tersebut. Oleh karena itu, mengejar kesempurnaan diperlukan fleksibilitas diri yang tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun