Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi
Mbah Dharmodumadi Mohon Tunggu... Dosen - Mbah Dharmodumadi / Wira Dharmadumadi Purwalodra adalah nama pena dari Muhammad Eko Purwanto

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apa Yang Terjadi Pada Dirimu?

14 Desember 2015   09:09 Diperbarui: 14 Desember 2015   10:55 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Dharmodumadi

Jalan hidup seseorang itu terkadang terasa begitu cepat, namun tidak jarang berjalan sangat  lambat. Jam yang ada di dinding, dan jam yang tertanam di hati seseorang tidak sama berlaku dan gerakannya. Jam yang ada di dinding berputar sesuai dengan tenaga baterai atau mekanik yang mentenagainya. Sementara, jam yang ada di hati sanubari seseorang, ditenagai oleh perasaannya. Ia bisa melambat, bahkan bisa pula dipercepat sesuai kondisi hati seseorang itu. Ketika hati dan pikiran kita terus saja tidak berdamai, maka hari-hari terasa begitu panjang. Lain halnya, saat hati dan pikiran kita berdamai, maka hari-hari berlalu tanpa pernah bisa terperhatikan.

Kadang, kehadiran seseorang dalam hidup kita itu berlaku sebagai ujian, cobaan bahkan mungkin sebagai musibah. Namun, seringkali kehadiran seseorang dalam lubuk hati kita itu menuntut konsekuensi lahir-bathin. Berbagai pernyataan yang menyedihkan dan menyenangkan, sikap penerimaan dan penolakan, serta perilaku mendamaikan dan membuat derita, menjadi konsekuensi logis dari setiap hubungan antar sesama. Karena itu, sebenarnya apa yang terjadi di dunia ini ? Lalu, dunia macam apa yang kita inginkan ? Dan, hidup macam apa yang ingin kita jalani ?

Pertama-tama yang perlu kita pahami adalah, bahwa apa yang kita sebut sebagai dunia, sejatinya merupakan hasil dari pikiran dan tindakan kita sebagai manusia. Apa yang kita sebut sebagai “kamu”, “kita”, “kekasih” atau “saya” sebenarnya bukanlah kenyataan yang mutlak, melainkan bentukan dari pikiran dan perilaku kita sebagai manusia. Pikiran dan perilaku kita yang berulang itu akhirnya menciptakan pola hidup kita. Pola itulah yang kini menjadi “dunia” kita.

Di bilik kehidupan lainnya, kita sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana kita menjalani kehidupan. Cara kita berpikir, cara kita berbicara, cara kita tertawa, cara kita memangkas rambut, sampai dengan cara kita yakin dan percaya pada Tuhan, juga amat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar kita. Ringkasnya adalah dunia yang kita ciptakan dengan pikiran, hati dan perilaku ini, juga membentuk kita.

Dalam kehidupan ini, tentunya kita ingin hidup yang bermakna. Kita ingin menjalani hidup yang utuh dan penuh sebagai manusia. Kebahagiaan adalah akibat dari hidup yang bermakna ini. Makna, keutuhan dan kepenuhan hidup hanya bisa kita capai, jika kita mencoba untuk menemukan suara hati kita sendiri, yang lahir dari batin kita yang terdalam.

Oleh karena itu, inginnya sih kita hidup di suatu lingkungan masyarakat, dimana suara pribadi kita mendapat tempat. Kita juga menginginkan hidup di suatu masyarakat, dimana keunikan pribadi bukanlah sesuatu yang aneh, tetapi sesuatu yang dirindukan. Kita ingin hidup di suatu masyarakat yang mendorong kita untuk menemukan suara kita sendiri. Dari lingkungan masyarakat semacam inilah, kemudian kita mampu menjalani hidup dan kehidupan yang asli dan bermakna.

Kita juga ingin hidup di dunia, dimana rasa takut tidak menjadi sesuatu yang dominan, di jalan-jalan berliku kehidupan kita. Kita tidak ingin ditekan oleh rasa takut, ketika menemukan kegagalan. Lalu, kita mudah mendapatkan bantuan atas kegagalan kita itu, dan bukannya hukuman yang semakin memperbesar atau menambah rasa takut kita tersebut. Kita tidak ingin hidup terus dalam rasa takut, ketika pada usia tertentu, kita belum lulus sekolah, belum menikah atau belum punya pekerjaan tetap. Kita ingin didukung, dan bukan dicekam dengan rasa takut ?!.

Lebih dalam lagi, pengennya sih kita juga hidup dalam masyarakat, dimana uang bukanlah Tuhan. Kita ingin tinggal di masyarakat, dimana harkat dan martabat kita sebagai manusia tidak diukur dari seberapa besar pendapatan kita per bulan. Kita juga ingin hidup di masyarakat, dimana kepemilikan mobil dan rumah tidak menjadi ukuran pribadi kita sebagai manusia. Kita ingin hidup di masyarakat, dimana uang hanyalah salah satu cara untuk mencapai kebaikan, dan bukan tujuan yang mutlak itu sendiri.

Kita ingin hidup di sebuah dunia, dimana kesuksesan material (uang dan harta) bukanlah tanda jati-diri manusia. Kita ingin hidup di sebuah dunia, dimana setiap orang tidak hanya bekerja untuk menumpuk harta seumur hidupnya, seolah itu adalah yang terpenting dalam hidupnya. Kita tidak ingin hidup di sebuah dunia, dimana orang yang tidak sukses dianggap lebih rendah. Kita ingin hidup di dunia, dimana kesuksesan materi hanya merupakan tanda kecil yang tak berarti, jika dibandingkan dengan nilai kemanusiaan kita.

Akhirnya, dunia yang saat ini kita tinggali dan hidup di dalamnya, pengennya kita, manusia, menjadi ukuran yang tertinggi. Kita ingin diperlakukan sebagai manusia, bukan karena kekayaan atau kesuksesan, tetapi karena keberadaan kita apa adanya. Lantas, apa yang terjadi pada dirimu, sehingga kamu begitu cepat meninggalkanku sendiri, di sini ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 14 Desember 2015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun