Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjaga Hati Itu, Menjaga Kehidupan

1 Desember 2015   07:28 Diperbarui: 10 Februari 2017   10:59 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Wira Dharmodumadi Purwalodra

Ibarat nasi sudah menjadi bubur, akhirnya aku mencoba memaafkanmu, meski berat sekali rasanya untuk bisa melepasmu dari sekujur benakku. Memaafkan yang tak mampu kumaafkan adalah pekerjaan bathin yang tidak semua orang mampu melakukannya. Namun, ketika aku mencoba menyebabkan tiadanya rasa sakit di kemudian hari, maka apapun kondisinya akan kuredam dendam ini agar tak selamanya kupeluk sebagai sebuah misteri !.

Memang, tak selamanya mudah untuk bisa dan mampu mengalir dengan kejadian-kejadian itu. Banyak batu terjal, tebing yang curam serta perjalanan menurun yang tak pernah tahu kapan bisa selesai. Dan, tak selamanya keyakinan manusia mampu menjadi penguat bagi setiap perjalanan hidupnya, ia butuh keberanian dan ketulusan untuk melampauinya. Ujung dari ketidakmampuanmu dalam mengelola ikhtiar hidup yang baik ini, adalah sebuah tragedi.   

Tragedi adalah bagian dari hidup kita, sebagai manusia. Ia disebut sebagai tragedi, karena peristiwa ini menciptakan penderitaan dan kesedihan yang amat dalam bagi banyak orang. Tragedi ini juga menyadarkan kita, bahwa hidup kita ini pendek dan rapuh. Namun, semua peristiwa yang berujung pada tragedi ini juga bisa menjadi saat yang baik untuk belajar, sehingga kita, manusia, tidak mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.

Bagaimanapun pedihnya kejadian-kejadian hidup ini, harus mampu dilampaui dengan cara melepaskan semua peristiwa itu dari hati dan pikiran kita. Kita perlu menyadari, bahwa segala hal di dunia ini sementara. Ia ada dan kemudian dengan berjalannya waktu, ia menghilang. Hal ini berlaku untuk segala sesuatu, mulai dari karir, keluarga, harapan, kekecewaan dan kehidupan itu sendiri. Semua ada dan akan berlalu.

Plato, filsuf Yunani Kuno, juga sudah menegaskan, bahwa tubuh adalah penjara bagi  jiwa. Tubuh itu hanya seperti kendaraan yang mengantar manusia ke berbagai ruang. Tubuh ada sebagai syarat untuk hidup di dunia. Namun, ia menghalangi jiwa manusia untuk sampai pada pengetahuan sejati. Tubuh manusia akan sakit, menua dan akhirnya mati.

Namun, jiwa manusia tidak pernah lahir, dan juga tidak akan pernah akan mati. Ia selalu ada. Tubuh dan segala yang ada hanyalah kesementaraan yang bersifat kosong. Semuanya adalah ilusi yang tampak bagi indra kita. Oleh karena itu, kita, sebagai manusia, harus hidup di antara sikap memegang dan melepas. Kita perlu mengatur alam, sambil belajar untuk melepasnya. Kita perlu menata hidup kita, sambil terus sadar, bahwa ini pun akan segera berlalu. Kita harus hidup dengan sepenuh hati, sambil terus sadar, bahwa tubuh kita akan menjadi bangkai dan debu pada saatnya nanti.

Ketika kesadaran ini bersemayam dalam jiwa kita, berarti kita hidup sejalan dengan alam, karena kita adalah bagian dari alam ini. Hidup sejalan dengan alam berarti hidup seirama dengan hukum-hukum alam. Kita tidak lagi memaksakan ambisi kita di dalam kehidupan. Kita mengatur diri kita dan alam sekitar kita dengan kesadaran penuh, bahwa semuanya perlu dilepas pada akhirnya nanti. Dengan begitu, kita akan belajar tentang sebuah kenyataan hidup.

Ketika kita memahami dunia ini, berarti kita mengamati hidup di dunia ini apa adanya. Mengamati dunia apa adanya berarti mengamati dunia di dalam perubahannya. Segala sesuatu terus berubah, tanpa henti. Kita tak akan pernah menginjakkan kaki di sungai yang sama, begitu kata Herakleitos, filsuf Yunani Kuno.

Kesadaran kita juga mengajarkan, bahwa apa yang kita lihat sekarang bukanlah yang kita lihat sebelumnya. Setiap tujuh tahun, tubuh manusia berganti sepenuhnya. Kita menjadi manusia yang sama sekali baru. Yang sama dari manusia itu dengan manusia sebelumnya hanyalah namanya. Lantas, apa yang kita anggap tetap dan akan memuaskan kita pada akhirnya akan berubah, dan lenyap dari kehidupan kita. Apa yang kita perolah akan berubah, dan akan lenyap. Apa yang kita pegang erat-erat juga akan berubah. Apa yang kita perjuangkan dengan seluruh hidup kita akan hilang ditelan waktu. Waktu yang begitu sementara ?!

Memahami kenyataan dalam setiap perubahan berarti juga memahami alam di dalam keterhubungannya dengan segala hal.  Hidup kita saling terhubung satu sama lain, baik dengan benda-benda di dunia ini, maupun dengan berbagai mahluk yang hidup di dalamnya. Kotoran bagi satu mahluk adalah makanan bagi mahluk lain. Apa yang dianggap menjijikan oleh manusia justru menjadi rumah bagi peradaban serangga atau tumbuhan tertentu. Lingkaran saling keterhubungan ini merupakan bentuk dari alam semesta kita. Tidak ada yang suci dan tidak suci, karena semuanya saling membutuhkan satu sama lain.

Kenyataan dalam hidup kita tidak memiliki konsep. Kenyataan adalah apa adanya, Ia tidak memiliki nama. Kata “kenyataan” juga sebenarnya salah kaprah. Ia membuat aliran perubahan seolah-oleh menjadi tetap, dan bisa disebut sebagai “kenyataan”. Konsep hanya membuat sesuatu dalam hidup ini tampak tetap/konstan. Padahal, sejatinya, segala hal terus berubah, tiap detik, tiap menit, bahkan setiap saat, tanpa henti. Konsep bukanlah kenyataan. Bahkan seringkali, ia menghalangi kita untuk memahami kenyataan itu sendiri !.

Di titik inilah, bahwa seluruh alam ini adalah satu kesatuan. Tidak ada perbedaan. Semua terhubung, dan tidak hanya itu, semua adalah satu. Butiran pasir di pantai dan bintang raksasa yang berukuran ratusan kali lebih besar dari matahari adalah satu dan sama. Argumen ini didukung oleh penemuan terbaru di dalam fisika. Komponen terkecil alam semesta adalah satu dan sama. Antara aku dan dirimu. Antara semut dan gajah tidak ada perbedaan, ketika kita melihat komponen terkecilnya. Perbedaan hanya tampak di mata dan pikiran kita.

Kesatuan ini ditunjang oleh harmoni di dalam alam semesta. Harmoni berarti segala sesuatu memiliki tatanan tertentu. Ada hukum-hukum alam yang mengatur segalanya. Tidak pernah ada chaos dan kekacauan, sebagaimana dibayangkan oleh manusia. Sayangnya, banyak orang tak paham akan hal ini. Mereka menganggap, apa yang mereka punya akan tetap dan abadi. Mereka lalu melekat pada harta, ambisi dan nama besar. Mereka juga mengira, diri mereka abadi dan tetap. Tak heran, mereka hidup dalam penderitaan ?!

Mereka juga hidup dalam delusi. Mereka mengira, kematian adalah akhir. Lalu, mereka marah, takut serta sedih, ketika orang yang mereka sayangi meninggalkannya. Mereka juga berusaha untuk bisa hidup sehat dan awet muda, serta berusaha untuk menghindari kematian. Usaha yang sejatinya sia-sia. Banyak orang juga berambisi untuk memulai sesuatu. Lalu, mereka melekat pada ambisi dan pada sesuatu itu. Ambisi membutakan mata mereka. Padahal, itu pun juga sejatinya akan berakhir dan sirna begitu saja !?.

Akhirnya, aku hanya bisa mengemas pesan ini, sekaligus memaafkan segalanya tentang dirimu, bahwa menjaga hati itu, sama halnya dengan menjaga kehidupan. Karena jalan hidup ini, sejatinya adalah pancaran dari hati kita sendiri ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 01 Desember 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun