Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjaga Hati Itu, Menjaga Kehidupan

1 Desember 2015   07:28 Diperbarui: 10 Februari 2017   10:59 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenyataan dalam hidup kita tidak memiliki konsep. Kenyataan adalah apa adanya, Ia tidak memiliki nama. Kata “kenyataan” juga sebenarnya salah kaprah. Ia membuat aliran perubahan seolah-oleh menjadi tetap, dan bisa disebut sebagai “kenyataan”. Konsep hanya membuat sesuatu dalam hidup ini tampak tetap/konstan. Padahal, sejatinya, segala hal terus berubah, tiap detik, tiap menit, bahkan setiap saat, tanpa henti. Konsep bukanlah kenyataan. Bahkan seringkali, ia menghalangi kita untuk memahami kenyataan itu sendiri !.

Di titik inilah, bahwa seluruh alam ini adalah satu kesatuan. Tidak ada perbedaan. Semua terhubung, dan tidak hanya itu, semua adalah satu. Butiran pasir di pantai dan bintang raksasa yang berukuran ratusan kali lebih besar dari matahari adalah satu dan sama. Argumen ini didukung oleh penemuan terbaru di dalam fisika. Komponen terkecil alam semesta adalah satu dan sama. Antara aku dan dirimu. Antara semut dan gajah tidak ada perbedaan, ketika kita melihat komponen terkecilnya. Perbedaan hanya tampak di mata dan pikiran kita.

Kesatuan ini ditunjang oleh harmoni di dalam alam semesta. Harmoni berarti segala sesuatu memiliki tatanan tertentu. Ada hukum-hukum alam yang mengatur segalanya. Tidak pernah ada chaos dan kekacauan, sebagaimana dibayangkan oleh manusia. Sayangnya, banyak orang tak paham akan hal ini. Mereka menganggap, apa yang mereka punya akan tetap dan abadi. Mereka lalu melekat pada harta, ambisi dan nama besar. Mereka juga mengira, diri mereka abadi dan tetap. Tak heran, mereka hidup dalam penderitaan ?!

Mereka juga hidup dalam delusi. Mereka mengira, kematian adalah akhir. Lalu, mereka marah, takut serta sedih, ketika orang yang mereka sayangi meninggalkannya. Mereka juga berusaha untuk bisa hidup sehat dan awet muda, serta berusaha untuk menghindari kematian. Usaha yang sejatinya sia-sia. Banyak orang juga berambisi untuk memulai sesuatu. Lalu, mereka melekat pada ambisi dan pada sesuatu itu. Ambisi membutakan mata mereka. Padahal, itu pun juga sejatinya akan berakhir dan sirna begitu saja !?.

Akhirnya, aku hanya bisa mengemas pesan ini, sekaligus memaafkan segalanya tentang dirimu, bahwa menjaga hati itu, sama halnya dengan menjaga kehidupan. Karena jalan hidup ini, sejatinya adalah pancaran dari hati kita sendiri ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 01 Desember 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun