Oleh. Dharmodumadi
Banyak orang-orang palsu disekitar kita. Mereka ada yang berprofesi sebagai pengusaha, politisi, pejabat negara, guru, dosen dan lain sebagainya. Secara empiris mereka adalah seorang yang memangku profesinya, namun secara eksistensial, mereka tidak memiliki kemampuan dan kepribadian yang mencerminkan dirinya sebagai pemegang profesi tersebut.
Mereka sebenarnya adalah orang-orang, yang memang tidak memiliki kompetensi dalam profesinya, namun mereka punya mimpi bahwa profesi yang ia genggam itu mampu memenuhi kebutuhan fisik dan psikologisnya.
Dalam rangka melengkapi legalitas dan upaya untuk membuktikan eksistensinya itu, agar bisa dibilang sebagai orang yang berkompeten di bidangnya, mereka tidak segan-segan membeli ijazah palsu, gelar palsu, dan penobatan-penobatan palsu atas berbagai prestasinya, yang juga palsu itu. Semua ini untuk membuktikan pada publik, bahwa dirinya memang memiliki kemampuan, kepribadian bahkan kompetensi atas profesi yang di genggamnya. Inilah berbagai kepalsuan yang terjadi di sekitar kita, sehingga kita bisa menyaksikan bahwa ternyata kemajuan masyarakat saat ini banyak berlumuran kepalsuan.
Kepalsuan-kepalsuan yang ada di masyarakat kita, bisa kita lihat dengan berbagai perilaku individu, kelompok maupun organisasi. Sekarang, banyak orang hidup hanya sekedar mengumpulkan uang. Orang-orang palsu ini haus akan harta, guna memuaskan semua keinginannya. Orang-orang ini juga hidup untuk memperoleh nama baik. Mereka mengira, uang dan nama baik akan memberikan kepenuhan hidup baginya. Namun sayangnya, orang yang telah memperoleh uang banyak dan nama baik seringkali tidak kunjung merasa bahagia. Sebaliknya, mereka hidup dengan rasa takut akan kehilangan uang dan nama baik tersebut. Mereka melekat pada kedua benda itu. Dikiranya, tanpa kedua benda itu, hidupnya akan hancur.
Kepalsuan-kepalsuan yang melekat pada diri mereka, tidak lain dan tidak bukan, adalah ketidaksesuaian antara kemampuan dan kepribadian yang dimiliki dengan profesi yang mereka geluti. Mereka memaksakan diri untuk menjadi orang yang bukan dirinya, bahkan mereka melumuri dirinya dengan identitas-identitas palsu, agar kepopulerannya tetap bisa terjaga. Oleh karena itu, jangan heran jika gelar palsu, ijazah palsu, bahkan identitas-identitas palsu lainnya laku di jual di masyarakat.
Akhir bulan lalu, kita mendengar berita bahwa Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menonaktifkan sebanyak 243 perguruan tinggi yang dinyatakan bermasalah. Perguruan tinggi itu, ternyata memiliki berbagai masalah, antara lain masalah laporan akademik, masalah nisbah dosen atau mahasiswa, masalah pelanggaran peraturan perundang-undangan, masalah kelas jauh, program studi tanpa izin, kelebihan jumlah mahasiswa, status dosen ganda, hingga pemindahan atau pengalihan mahasiswa tanpa izin dari Kopertis. Dari berita tersebut, kita bisa mengindikasikan bahwa institusi pendidikan di Indonesia pun, ternyata memberi kontribusi besar terhadap keberadaan orang-orang palsu, dan kepalsuan pendidikan di masyarakat kita.
Memang tidak bisa kita pungkiri, bahwa kita hidup di dalam masyarakat yang memuliakan sertifikat/Ijazah. Artinya, kertas tertulis tentang identitas serta kemampuan kita, yang bisa menentukan seluruh hidup kita. Namun, sertifikat/Ijazah ini bukanlah kenyataan hidup. Ia adalah simbol dari kenyataan yang ada di belakangnya, yakni identitas, kepribadian dan kemampuan kita. Namun, seringkali, ijazah menipu kita. Ia menggambarkan sesuatu yang tak sesuai kenyataan. Lulusan dari universitas ternama, namun kemampuannya nol besar.
Bentuk-bentuk kepalsuan yang terkandung di dalam tradisi dan hal-hal yang mengitarinya seringkali diwariskan melalui pendidikan. Dalam arti ini, pendidikan pun juga hanyalah sebuah kepalsuan. Pendidikan berubah menjadi pelatihan orang, supaya menjadi patuh dan dangkal. Tanpa sikap kritis pada pengandaian-pengandaiannya sendiri, pendidikan berubah menjadi pewaris kebohongan dan kesalahan berpikir.
Perlu kita sadari, bahwa kita perlu untuk berpikir kritis. Yang pertama dan paling utama, adalah mengkritisi pikiran kita sendiri, yakni pada prasangka dan anggapan-anggapan salah yang kita pegang selama ini. Kita perlu mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan yang kita alami, dan kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari. Kita perlu memiliki rasa curiga yang sehat, tidak hanya terhadap hal-hal di sekitar kita, tetapi juga pada pikiran kita sendiri.
Dari sikap kritis terhadap diri sendiri tersebut, lalu kita belajar untuk berpikir mandiri. Kita mengambil jarak dari pengaruh-pengaruh di sekitar kita, dan melihat ke dalam diri kita sendiri. Dari pikiran yang mandiri, lalu kita belajar untuk membuat keputusan sendiri. Dengan sikap ini, kita bisa terhindar dari kepalsuan-kepalsuan di sekitar kita, dan mulai membuat keputusan secara mandiri di dalam hidup kita.
Menyadari, bahwa masih begitu banyak kepalsuan di sekitar kita yang menipu, kita harus mulai bisa mencari makna yang sejati untuk hidup kita sendiri. Kita bisa mulai membangun harapan, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk masyarakat dan bangsa ini. Kitapun bisa melawan segala kesalahan berpikir dan tradisi yang menindas, serta kita juga bisa mengkritisi diri sendiri, apakah kita juga termasuk dari orang-orang palsu tersebut ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 07 Oktober 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H