Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Mah, Apa Atuh ?!

5 September 2015   09:36 Diperbarui: 5 Desember 2015   22:25 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Dharmodumadi

Dulu, ketika baru menyelesaikan S1 tahun 1992, ada yang bilang bahwa kelak di kemudian hari, kehidupan masyarakat kita, amatlah individualistik. Setiap orang mengejar kepentingan pribadinya masing-masing, dan seolah tak peduli lagi dengan kepentingan bersama. Kita hidup dalam masyarakat yang amat kompetitif, setiap orang mengurus dirinya sendiri, dan watak masyarakat yang guyub, rukun, dan gotong-royong pun hilang di telan zaman. Ternyata benar, setelah 22 tahun berlalu,  kondisi masyarakat yang saya takutkan dulu, sekarang menjadi sebuah realitas.

Memang sih !? Pengejaran terhadap kepentingan pribadi tidaklah salah. Bahkan perilaku inilah yang sering dikatakan orang, bahwa pengejaran kepentingan pribadi lepas dari segala kekurangannya, merupakan sistem terbaik yang dikenal umat manusia dalam hal produksi dan distribusi barang maupun jasa, sekarang ini.

Namun demikian, ada bahaya besar yang tersembunyi di dalam sistem kapitalisme, yaitu kita menjadi terlalu fokus hanya kepada pemenuhan kebutuhan diri kita sendiri, dan menjadi tak peduli lagi dengan keluarga, sahabat, maupun masyarakat sekitarnya. Kita sering merasa sangat gelisah hidup di masyarakat seperti ini. Banyak orang, termasuk kita sendiri, selalu merasa kesepian. Banyak kasus-kasus perceraian keluarga terjadi, karena di dasarkan pada ketidakmampuannya memenuhi gaya hidup semata. Akhirnya, kita pun mengobati kegelisahan maupun kecemasan itu dengan membeli barang, dan dengan terus memupuk perilaku konsumtif kita untuk kesenangan-kesenangan semu.

Kekosongan dan kehampaan di dalam hati, kita isi dengan barang-barang mewah dan kesenangan-kesenangan lainnya. Sehingga, tidak heran mall-mall dibangun sampai ke kecamatan-kecamatan. Kita, juga tidak heran, melihat korupsi merebak dimana-mana. Perilaku ini muncul, mulai dari rakyat jelata sampai pejabat tingkat paling ‘mentog’ di negeri ini. Padahal, kegelisahan dan kehampaan hidup, kita bisa mengisinya dengan menciptakan hubungan yang bermakna dengan orang lain. Namun, orang lainpun memiliki kepentingan yang sama, yakni konsumtif, hedonis dan hanya mementingkan dirinya sendiri.  

Kita kemudian dibuat lupa, bahwa mengisi hati dari kehampaan hidup dengan berbagai barang mewah dan perilaku konsumtif ini, sangatlah sehat untuk industri pemasaran maupun periklanan. Tujuan industri ini adalah untuk menciptakan keinginan akan barang-barang dan jasa hedonis lainnya, serta memupuk mental-mental konsumtif.

Saat ini, masyarakat kita sudah begitu modern dan individualis. Identitas yang kita kenal sekarang adalah identitas yang hanya memperlihatkan status diri kita dengan simbol-simbol tertentu, seperti titel pekerjaan, jumlah barang-barang yang dimiliki, baju yang dipakai, dan sebagainya. Kualitas kita sebagai individu dan pribadi, hanya dilihat dari seberapa banyak barang yang kita punya, dan apa pekerjaan kita. Meskipun, sehari-hari ia selalu mengatakan dan membicarakan Iman dan Taqwa.

Entah itu, dari mental konsumtif atau memang dari ke-Imanan seseorang, bahwa masyarakat kita sekarang, juga tidak pernah cukup sekali pergi haji ke tanah suci. Mereka selalu berdo’a dan berusaha agar setiap tahun bisa beribadah ke tanah suci itu. Kalo perlu, bisa umroh setiap dua bulan. Namun demikian, jika saja hal ini disuarakan oleh seseorang yang memiliki pengaruh di masyarakat, betapa dianggap bersalahnya orang tersebut kepada ummat, apalagi kalo ada pembatasan bahwa masyarakat hanya boleh berhaji cukup sekali saja. Nggak bisa dibayangkan, betapa bergejolaknya masyarakat. Inilah potret masyarakat kita yang lupa !?.

Selanjutnya, tak heran di dalam masyarakat kita, soal gaji adalah soal yang paling sensitif. Bahkan mendiskusikan soal gaji adalah sesuatu yang amat tabu. Karena dengan mengetahui gaji seseorang, kita bisa tahu level mereka di masyarakat. Kita bisa tahu berapa “harganya” sebagai manusia.

Apabila kita mengetahui gaji seseorang, kita bisa langsung melihatnya dengan kaca mata yang baru. Jika gajinya lebih rendah dari kita, maka kita langsung melihatnya sebagai orang yang levelnya di bawah kita. Jika gajinya lebih besar, maka kita akan cemburu, dan bahkan melihat diri kita lebih rendah dari pada dia. Inilah kecemburuan-kecemburan yang sengaja diciptakan di era materialistik dan konsumeristik. Tapi, yang lebih mengherankan lagi, para pengusaha dan pemilik modal selalu berusaha agar ‘cost’ tenaga kerjanya kalo bisa terus diminimalisir, sementara keuntungan alias surplus selalu harus dimaksimalkan. Kitapun dibuatnya lupa ?!. Kita bisa berbicara macam-macam dengan sahabat kita. Tetapi soal gaji, pasti dia menolak membicarakannya. Itulah kondisi yang dianggap tabu bagi masyarakat konsumtif. Kita semakin di buatnya lupa ?!.

Kita tidak pernah menyadari, bahwa kita sendiri melihat diri kita juga dengan cara yang sama. Kita melihat dan menilai diri kita dengan jumlah gaji, pekerjaan, jumlah barang yang dimiliki, ataupun produktivitas kita. Kita tetap sadar, bahwa kita perlu bekerja dalam hidup ini. Namun, jika kita hanya melihat diri kita dengan kriteria-kriteria seperti ini, maka kita hanya akan menjadi “human doing”, dan bukan “human being.”

Iklim di masyarakat kita, saat ini, jika kita gagal mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak, atau hanya memiliki sedikit barang, maka kita merasa rendah diri. Lalu kita pun memacu diri untuk bekerja, bahkan di luar batas-batas manusiawi. Karena kita hidup dalam masyarakat yang berbentuk piramid. Pada level tertinggi adalah orang-orang yang kita anggap hebat, seperti para selebritis, orang-orang kaya, orang-orang yang memiliki kekuasaan dan sebagainya. Sementara di level terendah ada para pecundang, yakni para pengangguran, pengungsi, dan gelandangan.

Dengan pola pikir seperti inilah, kita justru mengabaikan orang-orang miskin. Bagi kita mereka adalah perusak sistem dan tatanan yang indah. Mereka mengingatkan kita betapa bobroknya sistem yang kita miliki sekarang. Kita juga akan merasa takut kalau-kalau menjadi miskin, seperti mereka. Semua pikiran ini, membuat kita semakin terpacu untuk bekerja, dan menjauhkan diri dari orang-orang miskin itu. Pokoknya jangan sampai saya menjadi seperti mereka ?!.  Amit-amit dech, jabang baby !!?.

Sekali lagi, bahwa kita hidup dalam masyarakat individual seperti ini, adalah sebuah kompetisi. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa kompetisi adalah daya dorong di balik semua kehidupan sosial. Tapi, kita tidak bisa hidup nyaman, karena selalu berada dalam situasi kompetisi. Kita selalu merasa terancam, kalau ada orang yang lebih berhasil daripada kita. Terkait persoalan ini, Gore Vidal pernah menulis begini, “Tidak cukup kalau kita hanya sukses. Orang lain mesti gagal !!!”

Memang sih ?! Harus diakui tidak semua orang yang berkompetisi adalah orang yang jahat dan rakus. Namun juga harus diakui pula, bahwa orang-orang yang paling suci sekalipun juga dipaksa untuk berlomba dan mengalahkan !. Mereka juga dipaksa oleh keadaan untuk berubah menjadi ganas dan rakus. Apakah masyarakat semacam ini, yang kita sebut sebagai manusia seutuhnya ?! Dalam kondisi sepeti ini, kekuasaan kerap digunakan untuk mempertahankan situasi yang ada, di mana orang-orang yang gagal tetap diupayakan bodoh dan miskin, serta orang-orang yang berhasil tetap kaya dan berkuasa. Sehingga, jangan heran, jika sekarang makin banyak orang yang gagal, bodoh, miskin, yang mengatakan, “Aku mah, Apa Atuh ?!!”

Pada akhirnya, segala upaya yang dilakukan untuk mempertahankan situasi piramid yang tidak adil di masyarakat kita, sekarang ini, baik pendidikan, hukum, ekonomi, budaya, dan bahkan seni ditujukan untuk melestarikan sistem yang tak adil tersebut. Ujung-ujungnya, masyarakat pun pecah dan terkotak-kotak dengan sendirinya. Kita masing-masing tak punya pegangan, bahkan dengan idiologi yang paling religius sekalipun. Karena orang-orang yang kita anggap mampu  membawa masyarakat, agar bisa hidup sesuai dengan tatanan moral, etika dan hukum yang ada, juga sedang mementing diri mereka sendiri ?!! Wkwkwkwk ... Keciaaan dech gueee !!?. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 05 September 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun