Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku Mah, Apa Atuh ?!

5 September 2015   09:36 Diperbarui: 5 Desember 2015   22:25 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Iklim di masyarakat kita, saat ini, jika kita gagal mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak, atau hanya memiliki sedikit barang, maka kita merasa rendah diri. Lalu kita pun memacu diri untuk bekerja, bahkan di luar batas-batas manusiawi. Karena kita hidup dalam masyarakat yang berbentuk piramid. Pada level tertinggi adalah orang-orang yang kita anggap hebat, seperti para selebritis, orang-orang kaya, orang-orang yang memiliki kekuasaan dan sebagainya. Sementara di level terendah ada para pecundang, yakni para pengangguran, pengungsi, dan gelandangan.

Dengan pola pikir seperti inilah, kita justru mengabaikan orang-orang miskin. Bagi kita mereka adalah perusak sistem dan tatanan yang indah. Mereka mengingatkan kita betapa bobroknya sistem yang kita miliki sekarang. Kita juga akan merasa takut kalau-kalau menjadi miskin, seperti mereka. Semua pikiran ini, membuat kita semakin terpacu untuk bekerja, dan menjauhkan diri dari orang-orang miskin itu. Pokoknya jangan sampai saya menjadi seperti mereka ?!.  Amit-amit dech, jabang baby !!?.

Sekali lagi, bahwa kita hidup dalam masyarakat individual seperti ini, adalah sebuah kompetisi. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa kompetisi adalah daya dorong di balik semua kehidupan sosial. Tapi, kita tidak bisa hidup nyaman, karena selalu berada dalam situasi kompetisi. Kita selalu merasa terancam, kalau ada orang yang lebih berhasil daripada kita. Terkait persoalan ini, Gore Vidal pernah menulis begini, “Tidak cukup kalau kita hanya sukses. Orang lain mesti gagal !!!”

Memang sih ?! Harus diakui tidak semua orang yang berkompetisi adalah orang yang jahat dan rakus. Namun juga harus diakui pula, bahwa orang-orang yang paling suci sekalipun juga dipaksa untuk berlomba dan mengalahkan !. Mereka juga dipaksa oleh keadaan untuk berubah menjadi ganas dan rakus. Apakah masyarakat semacam ini, yang kita sebut sebagai manusia seutuhnya ?! Dalam kondisi sepeti ini, kekuasaan kerap digunakan untuk mempertahankan situasi yang ada, di mana orang-orang yang gagal tetap diupayakan bodoh dan miskin, serta orang-orang yang berhasil tetap kaya dan berkuasa. Sehingga, jangan heran, jika sekarang makin banyak orang yang gagal, bodoh, miskin, yang mengatakan, “Aku mah, Apa Atuh ?!!”

Pada akhirnya, segala upaya yang dilakukan untuk mempertahankan situasi piramid yang tidak adil di masyarakat kita, sekarang ini, baik pendidikan, hukum, ekonomi, budaya, dan bahkan seni ditujukan untuk melestarikan sistem yang tak adil tersebut. Ujung-ujungnya, masyarakat pun pecah dan terkotak-kotak dengan sendirinya. Kita masing-masing tak punya pegangan, bahkan dengan idiologi yang paling religius sekalipun. Karena orang-orang yang kita anggap mampu  membawa masyarakat, agar bisa hidup sesuai dengan tatanan moral, etika dan hukum yang ada, juga sedang mementing diri mereka sendiri ?!! Wkwkwkwk ... Keciaaan dech gueee !!?. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 05 September 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun