Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi
Mbah Dharmodumadi Mohon Tunggu... Dosen - Mbah Dharmodumadi / Wira Dharmadumadi Purwalodra adalah nama pena dari Muhammad Eko Purwanto

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kamu Melampaui Semua Pikiranku !?

28 Juli 2015   11:56 Diperbarui: 5 Desember 2015   22:09 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Oleh. Dharmodumadi

Dalam sepi. Engkau datang.
Beri ku kekuatan. tuk bertahan.
Kau percaya. Aku ada.
Kau yang aku inginkan. Selamanya.
Kau adalah hatiku. Kau belahan jiwaku.
Seperti itu ku mencintamu. Sampai mati.
Di hidupku yang tak sempurna.
Kau adalah hal terindah yang ku punya.

Lirik lagu Utopia diatas telah menginspirasiku untuk mampu mengungkap misteri dirimu dalam pikiranku. Karena, sampai hari ini aku tak pernah bimbang untuk menganggapmu ada. Meski dalam realitas hidup saat ini, tak ada wujud yang bisa kugenggam sebagai simbol keberadaan. Karena selain kamu sebagai kesementaraanku, kamu juga tidaklah nyata dan rapuh. Kamu bukanlah kenyataan. Kamu tak lebih dari sebuah tanggapan atas kenyataan hidup sehari-hari, dan tentang dirimu aku mampu membangunnya di atas abstraksi konseptual.  

Ketika kupahami gerak dan geliat dirimu dalam benak ini, kamu mampu menggoyang seluruh persendian hidupku. Lalu, membungkusku ke dalam sebuah konsep hidup, dan menelantarkanku di setiap kerinduan. Kamu seperti pasir dalam genggaman tangganku, yang suatu saat akan habis di kepalan tangan ini, terhempas bersama ketidakmungkinanku hidup bersama gemuruh nafas-nafasmu.

Meski masih terlihat ada, di sudut emosi dan perasaan-perasaanku, tak mungkinlah ia berakar untuk bisa melanjutkan kehidupan. Karena, sekali lagi, kamu tidaklah nyata, sementara dan rapuh. Kamu bisa datang dan pergi tanpa perlu upaya, dan kamu bisa berubah semaumu tanpa kuperintahkan. Kelak, saat musim kemarau ini sirna, dirimupun bisa berubah kalau mau. Bahkan, ketika aku haus cinta sejati, kamu bisa tinggalkanku tanpa mesti menggunakan hati. Dan sebaliknya, ketika aku mabukpun, kamu bisa datang semaumu tanpa pertimbangan akal budi.

Semua ini semakin menegaskanku, bahwa dirimu tidak nyata, sementara dan begitu rapuh. Apa yang kupikir sebuah kebenaranpun, belum tentu menyibak rahasia tentang dirimu. Aku sendiripun belum tentu berada dalam jalan yang benar, bahkan keyakinanku atas dirimupun belum memiliki akar yang bisa mengarahkanku pada hakekat kebenaran yang sama-sama kita genggam.

Kesalahan-kesalahan yang menderitakan, yang pernah tertulis di bathin kita masing-masing, belum mampu mematangkan hati dan pikiran kita tentang sebuah dunia baru. Karena, baik aku maupun dirimu belum bisa memahami arti penderitaan yang semakin hari semakin membeku. Kamu amat mudah berubah, begitupun aku, dan ini jelas menandakan adanya  kerapuhan dari semua bentuk hubungan kita.

Banyak orang mengira, bahwa hubungan kita adalah sebuah kenyataan. Biarkan saja mereka mengira, pikiran-pikiran mereka adalah sebuah kebenaran. Sementara, gerak emosi dan segala bentuk perasaan yang saat ini tumbuh tanpa jiwa, akan menjadi monumen yang tercipta dari pikiran kita berdua, meski bukanlah sebuah realita. Biar saja mereka kesulitan untuk menjaga jarak antara kebenaran dengan pikiran mereka sendiri, karena itu pilihan mereka sendiri.

Pada saatnya nanti orang akan melihat dua kemungkinan, yakni sebuah ekspresi atau sebuah represi mereka sendiri. Ekspresi berarti mengeluarkan seluruh bentuk pikiran ke dalam bentuk tindakan ataupun kata-kata. Biasanya, dalam hal ini orang lain akan menjadi obyek dari tindakan ini. Sementara, represi berarti menekan dan mengunyah semua emosi dan pikiran yang muncul. Kita menyadari bahwa pikiran dan emosi yang ekstrem, akan menciptakan rasa sakit yang luar biasa. Dalam jangka panjang, hal inipun bisa menciptakan penyakit fisik yang berbahaya. Represi emosi dan pikiran, jelas bukan merupakan jalan yang tepat untuk kita akui sebagai sebuah jalan hubungan kita.

Ketika ekspresi menciptakan masalah sosial, maka represi menciptakan masalah personal. Akan banyak orang terjebak di antara keduanya. Mereka tidak dapat keluar dari pikiran dan emosi yang mereka anggap nyata, tentang hubungan kita.

Menyikapi kondisi di luar diri kita itu, akan lebih arif jika kita menggunakan cara-cara observasi, dimana observasi memberikan makna kepada kita, bahwa kita akan lebih damai menjadi pengamat atas hubungan kita sendiri. Kita mengamati muncul dan bergantinya emosi dan pikiran dari satu obyek ke obyek lainnya, dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Kita bisa melihat, bagaimana emosi, perasaan dan pikiran kita terbentuk, dan kemudian berlalu meninggalkan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun