Oleh. Dharmodumadi
Aku pernah mengatakan pada teman perempuanku bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Semuanya yang ada di dunia ini, apalagi yang ada dalam pikiran kita itu, mungkin. Dan, apapun yang ada dalam pikiranku, meski tak memiliki konsekuensi hukum positip, namun dalam hukum spiritual akan menjadi mungkin untuk menjadi realitas yang nyata. Artinya, apapun pikiran kita, itulah yang menjadi realitas hidup ini.
Namun, pertanyaanku apa yang sebenarnya sebut sebagai nyata itu ? Apakah kenyataan sebagaimana adanya, tanpa bumbu kemelekatan yang dibuat oleh pikiran dan perasaan kita ? Kenyataan apa adanya, berarti kenyataan sebelum kita memikirkannya dalam konsep dan bahasa. Di dalam kenyataan ini, yang ada hanya satu hal, yakni kekosongan yang besar.
Kekosongan yang besar ini merupakan keadaan asali dari seluruh alam semesta. Ia juga menjadi bagian terbesar dari seluruh alam semesta. Segalanya lahir dari kekosongan besar, dan kemudian berakhir pada kekosongan semacam itu pula. Pemahaman semacam ini merupakan buah dari penelitian astrofisika dan fisika modern yang menemukan, bahwa unsur terkecil materi adalah kekosongan, atau biasa kita sebut sebagai energi atau getaran.
Dalam konteks ini, aku lalu diajak untuk hidup dengan berpijak pada kenyataan sebagaimana adanya. Aku diajak untuk melepaskan semua kemelekatan pada uang, nama baik, pikiran maupun perasaannya. Di dalam kekosongan yang luas ini, aku menemukan kejernihan dan kedamaian. Aku bisa menjalani hidup dengan penuh kebahagiaan.
Lantas, bagaimana cara melepaskan semua kemelekatan, pikiran dan perasaanku ? Yang jelas, aku perlu melepaskan semua bentuk kemelekatan pada uang dan nama baik. Setelah itu, aku perlu melepaskan semua kemelekatannya pada ide, identitas, harapan, ketakutan dan segala bentuk perasaan maupun pikiran yang muncul di kepalaku. Lalu aku sampai pada kekosongan itu sendiri, yakni kenyataan sebagaimana adanya.
Pada titik ini, aku menemukan kejernihan dan kedamaian. Namun, ini belum cukup. Pada titik ini, aku justru seringkali melekat pada kekosongan itu sendiri, yakni melekat pada ide tentang kekosongan yang juga bisa menggiringku pada penderitaan dan kehampaan batin. Maka dari itu, aku harus bergerak maju dengan melepaskan kekosongan itu sendiri, yakni melepaskan ide tentang kekosongan.
Ketika aku melepaskan kemelekatannya pada kekosongan, aku lalu kembali ke dunia. Aku kembali hidup dan bergerak di dalam masyarakat. Namun, aku hidup dalam kebebasan yang sejati, yakni kebebasan dari kemelekatan pada apapun. Aku bisa berpikir, merasa, mencari uang, dan memperoleh nama baik, namun semua itu kulihat hanya sebagai alat untuk membantu kehidupanku, dan bukan tujuan dari hidupku.
Akupun perlu menyadari bahwa hidup ini sejatinya adalah paradoks. Artinya, aku hanya bisa dihidupi secara penuh, jika aku mampu melepaskan semua pandangan atau perpektifku tentang kehidupan ini. Kebahagiaan hanya dapat dicapai, jika aku melepaskan konsep tentang kebahagiaan. Cinta hanya dapat dicapai, jika aku mampu melepaskan pandanganku tentang cinta.
Ternyata aku harus bisa lepas dari tirani konsep. Aku harus belajar untuk “tidak melakukan apa-apa, karena memang tidak ada apa apa, dan semua berjalan apa adanya”. Hanya dengan begitu, aku bisa menjadi manusia alamiah, yakni manusia apa adanya. Aku tidak lagi dibebani oleh ambisi menguasai dunia, menjadi sukses, menguasai orang lain, atau beragam ambisi lainnya. Aku hanya hidup dalam segala kepenuhannya, tanpa konsep, tanpa pikiran
Aku sadar, bahwa cinta adalah mencintai yang seolah “tak dapat dicintai”. Cinta lahir dari kebebasan, dan tidak pernah dapat diperintahkan, apalagi dipaksakan. Karena, mencintai orang lain berarti mencintai yang tidak hanya dari sisi-sisi baiknya saja, tetapi juga sisi-sisi traumatis yang tak terduga, yang terkandung di dalam dirinya. Mencintai yang terduga berarti tidak mencintai sama sekali, karena kita sudah menebak, dan mengkalkulasi dirinya. Mencintai baru bisa dianggap sungguh mencintai, ketika aku mencintai seseorang yang tak terduga, yang tak dapat ku terka, yang tak dapat kubungkus dalam kesempitan konsep pikiran maupun keinginan-keinginanku.
Aku juga menyadari, bahwa dirimu adalah suatu realitas yang unik, yang tak dapat kukurung dalam harapan ataupun pikiran yang kumiliki. Dirimu adalah realitas yang nyata, yang tak dapat kuhindari dengan ilusi-ilusi harapan yang kumiliki tentangmu. Membayangkan bahwa dirimu bisa selalu sesuai dengan apa yang ku harapkan dan pikirkan adalah sebuah ilusi.
Mungkin, mudah bagiku untuk mencintai orang lain, selama orang lain itu tidak mengganggu hidupku, yang cukup jauh dariku, dan yang ada jarak untuk memisahkanku dengannya. Namun, itu bukanlah cinta. Itu hanya tawar menawar. Cinta yang sejati bisa terlihat, ketika aku bisa masuk ke dalam hidupmu tanpa jarak, tanpa rencana, dan kita bisa tetap saling mencintai.
Yang seringkali terjadi bahwa kedekatan kita seringkali menyesakkan. Perbedaan seringkali membuat kita selalu cemas, membuat rutinitas yang telah kita bangun menjadi hancur, dan harus terus kupikir ulang. Ketidakmampuan kita mengelola perbedaan secara tajam dalam hidup kita bisa membuat cinta berubah menjadi kebencian. Dalam arti ini, ternyata cinta dan kebencian hanyalah setipis benang. Bahkan cinta mengandaikan kemungkinan adanya kebencian di dalamnya. Tapi, sekarang bisa kutegaskan kembali, bahwa aku mampu menghapus Ketidak-Mungkinanku, Mencintaimu ?!
Mencintai bagiku adalah mencintai yang traumatis, yang tak terduga, dan yang mengancam kita dengan perbedaan yang ditawarkan. Cinta adalah komponen utama dalam pernikahan. Pernikahan yang mengharapkan adanya harmoni akan berujung pada kekecewaan yang mendalam. Justru di dalam pernikahan, kita perlu untuk siap pada yang tak terduga, tak tertebak, yang mengancam kita untuk mengubah segala hal yang kita pegang selama ini. Pernikahan adalah the real itu sendiri.
Di dalam pernikahan, mudah sekali untuk mencintai orang yang memberi kita kedamaian. Mudah sekali juga untuk mencintai orang yang memberikan kita kebahagiaan. Namun, realitas tidak seperti itu. Banyak pasangan berpisah, karena mereka tidak siap pada yang tak terduga, yang mungkin muncul di dalam hubungan mereka. Di dalam pernikahan, mencintai berarti mencintai “yang traumatis”.
Akhirnya, bukan cinta yang mengharapkan orang lain untuk bertindak sesuai keinginan kita, melainkan cinta yang berusaha untuk melampaui dirinya sendiri dengan mencintai orang lain yang seolah tak dapat kucintai. Dari titik inilah, aku berani menghapus ketidak-mungkinanku, Mencintaimu ?!. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 16 Juli 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H