Oleh. Purwalodra
Sesekali terfikir untuk menegur setiap orang yang melewati rumah kontrakanku, 'maaf mas, mbak, pak, bu, ini bukan jalan umum !.' Meski jalan di depan kontarakanku terbilang sempit, tapi orang-orang yang bekerja di mall persis di belakang kontrakanku masih saja melewatinya. Mungkin karena jalan sempit ini merupakan jalan tembus yang paling dekat menuju tempat kerja mereka. Atau, mungkin mereka ingin melihat perempuan-perempuan yang ada di beberapa petak kontarakan haji Dharmadi. Faktanya justru yang banyak lewat di depan kontrakanku rata-rata bapak-bapak atau mas-mas yang sekali waktu matanya liar kesana-kemari.
Sebagai seorang perempuan, akupun risih melihat bapak-bapak atau mas-mas yang lalu-lalang seperti jalan umum di depan kontrakanku. Aku dan teman-teman sekontrakan pernah menemui Pak Haji untuk bisa menutup jalan tembus itu, agar orang-orang tidak menganggap ruas jalan yang cuma satu meter itu dijadikan sebagai jalan umum. Namun, lagi-lagi pak Haji Dharmadi tidak sempatlah, lupalah dan apalah-apalah ... gitu jawabnya. Dan sering terlintas dibenakku kalau Pak Haji sudah diberi 'tip' alias uang suap, oleh pimpinan mall agar jalan sempit itu dibiarkan apa adanya, alias tidak ditutup.
Pengennya sih, aku bisa menegur orang-orang yang sengaja lewat depan kontrakanku, atau menghalangi jalan sempit itu dengan ember bodol atau barang-barang rusak lainnya. Tapi ideku ini justru mendapat perlawanan dari tetangga-tetanggaku, mereka bilang, 'lha wong mereka punya hak lewat sini kok mbak Shofi, mengko awake dewe sing malah dituduh ganggu kesenangan orang lain aja !.' Katanya lagi, 'justru kita bisa cuci mata mbak, khan yang lewat disini bapak-bapak dan mas-mas yang ganteng-ganteng lhooo... ?'
Celakanya, seluruh penghuni kontrakan Haji Dharmadi adalah perempuan, yang rata-rata belum punya pasangan alias 'jomblo suwek', dan panjang ruas jalan sempit yang ada di depan kontrakan pak Haji cuma lima puluh meter saja. Pernah juga, sekali waktu aku menuliskan kata-kata di ujung jalan masuk kontrakan, 'Ini bukan jalan umum !!!.' Tapi tulisan itu dalam beberapa jam saja sudah hilang.
Memang sih, usaha untuk menegur orang lain perlu ada unggah-ungguh alias etiketnya, tapi aku khan nggak pernah sekolah filsafat atau orang kuliahan gitu. Beberapa minggu lalu, aku sempat membaca koran bekas bungkus cabe-bawang, bahwa cara untuk menegur orang lain itu ada lima hal, yakni keberanian, kehendak baik, cara yang baik, epistemologi yang tepat, dan sikap beradab. Meskipun, aku nggak begitu paham apa yang ada dalam tulisan itu, tapi sedikit banyak aku bisa menafsirkannya, tentu dengan logikaku sendiri.
Terkait dengan upaya menegur inilah, secara umum, salah satu sebab mengapa banyak hal-hal buruk terus terjadi di masyarakat kita adalah, karena tidak ada orang yang menegur, ketika orang lain berbuat salah. Ketika orang melanggar lalu lintas, tak ada orang yang menegur. Jangan-jangan, ketika ada orang yang membunuh orang lain, kita juga tak menegurnya. Ketika ada orang korupsi, kita tidak berani menegur, bahkan ikut-ikutan korupsi. Serem juga ya?. Cuma pertanyaannya, gimana caraku menegur orang-orang yang sengaja lewat depan kontrakanku, sementara yang punya rumah kontrakan aja nggak peduli soal ini.
Mungkin aja, kita perlu membangun budaya saling menegur, jika salah seorang dari kita berbuat salah. Teguran amat penting, supaya kesalahan tidak berlanjut, dan merusak lebih dalam serta lebih luas. Menurut koran bekas yang kubaca waktu itu, bahwa prinsip yang perlu diperhatikan adalah, kita perlu menegur dengan kritis, tegas, dan sekaligus beradab. Nah lhooo .... terus gimana menurutku ya ???.
Menurut koran bekas itu lagi, bahwa tindak menegur merupakan hal yang amat penting di dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin harus berani menegur dan ditegur. Jangan bisanya menegur, tapi nggak mau ditegur, alias dikritisi. Tentunya sih, ini tidak dapat dibantah lagi. Yang penting, teguran itu tetap beradab dan fair, ketika menegur, ataupun menerima teguran.
--- *** ---
Beberapa hari ini, memang ada seorang kali laki-laki yang sengaja sliweran di depan kontrakanku, anehnya ia selalu berpapasan muka denganku. Laki-laki menÂcuÂriÂgakan itu selalu menatapku dekat pintu dan tersenyum sangat manis, keÂmuÂdian mengawasiku dengan pandangan yang sejuk. Memang sih, aku tidak perlu heran kepada setiap laki-laki yang melintas di deÂkat pintu kontrakan, kebanyakan mereka menggumamkan suara tidak jelas. Namun, hanya laki-laki yang mencurigakan itu selalu memandangiku dengan sikap tertegun.