Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mempersepsikan Dirimu Apa Adanya

1 Maret 2015   06:57 Diperbarui: 5 Desember 2015   21:28 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Purwalodra

Mendengar suaramu saja aku merasa pilu, apalagi melihat wajahmu. Inilah yang sehari-hari mengahantuiku. Menjadi racun dalam fikiranku, dan membunuhku secara perlahan. Kemelut bathin yang menyambar-nyambar persepsiku atas dirimu, meruntuhkan atap kepribadian yang begitu kokoh pada awal mulanya. Dunia bagai selembar kapas yang melayang-layang tak tentu tujuan. Jiwaku berhamburan tanpa bisa kukumpulkan kembali, meskipun hanya debunya. Inilah gambaran sulitnya aku mempersepsikan dirimu apa adanya.

Suara-suara sumbang menggelantung di sana-sini, menggambarkan dirimu hanyalah sebutir debu yang tidak berarti apa-apa. Namun, ketika nuranimu  menusuk mataku, pedihnya berlarut-larut sampai hari ini. Kesimpulan demi kesimpulan atas dirimu, belum mampu merobohkan singgasanamu, dan aku hanya bisa berguman pilu, 'adakah perubahan nyata dari dunia yang kamu genggam besok ?'

Sampai hari inipun, aku belum bisa memaknai, mengapa aku melihatmu berada diatas angin dan membawamu bersenang-senang. Sementara, badai didepanmu tak menjadikanmu risau, apalai kuatir akan seluruh keselamatan hidupmu. Mungkin, aku yang melihatmu begitu rabun, tak mampu melihat jauh, apa yang ada dalam persepsimu saat itu. Hanya deburan ombak dan gempa eksistenialku saja yang terdengar gemuruhnya. Dan aku membakar kesempatan itu, persis di depan telapan kakimu.

Meskipun, suara-suara itu terus berbisik mengabarkan dirimu. Tetap saja aku sulit melamunimu, apalagi mempersepsikanmu tanpa duri-duri yang menghunuskan kekejaman. Gambaran masa depan yang akan terbangun tanpa dirimupun masih terbawa arus emosiku, yang sampai saat ini tak tahu dimana muaranya. Tapi, yang kutahu, meski arusnya begitu deras, kedalaman perasaan yang kita miliki masih begitu dangkal.

Kusadari, bahwa dunia kita adalah persepsi kita. Dunia kita adalah dunia sebagaimana kita mempersepsinya. Itulah argumen yang diajukan oleh George Berkeley lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita terhadap orang lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang bercokol di kepala kita. Namun, tetap saja aku sulit mempersepsikanmu apa adanya, tanpa simbol-simbol yang sudah lama tertanam di benakku.

Seringkali, persepsi yang ada di kepalaku tidak cocok dengan kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang sering menyimpangkan bola mataku inilah yang selalu melahirkan konflik dan berbagai ketegangan di dalam hidupku, baik pada tingkat pribadi maupun sosial. Aku sering merasa, bahwa persepsiku adalah kebenaran mutlak dan sesuai seratus persen dengan kenyataan. Sehingga aku merasa hidup dalam delusi. Sebagaimana, teori-teori Marxis menyebutnya sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia. Duniaku sendiri.

Mungkin benar, bahwa aku yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong kebohongan. Semua pendapat dan pikiranku lahir dari ideologi sesat yang bercokol di kepalaku sendiri. Tak heran, semua analisis dan pendapat-pendapat di benakku dan sekelilingku, begitu dangkal. Karena fikiran yang ada diluar diriku adalah hasil dari resonansi fikiranku dari dalam. Mereka yang ada di luar fikiranku, hanya mengikuti saja kesesatan berpikir sehari-hari yang ada di dalam fikiranku sendiri. Hidupku dipenuhi prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat apapun dan siapapun, yang semuanya kuanggap sebagai suatu keseluruhan.

Persepsiku juga dibentuk oleh pengalamanku sendiri, sebagai mahluk asing yang mendiami tubuh fisik manusia. Setiap perjumpaan dan perpisahan dengan apapun dan siapapun selalu meninggalkan residu dan mempengaruhi persepsiku. Namun, seperti ditegaskan oleh Karl Popper, pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman. Tidak ada pengalaman murni, karena semua bentuk pengalaman kita selalu dibungkus oleh pra-paham yang sudah ada sebelumnya di kepala kita.

Akhirnya, banyak orang tidak menyadari, termasuk aku, bahwa dengan pra-paham yang bercokol di kepala kita, akan berakibat bahwa persepsi kita adalah kebenaran, atau bahwa persepsi kita sesuai dengan kenyataan yang ada. Di dalam teori-teori Marxis, pra-paham sesat yang tak disadari ini disebut juga sebagai hegemoni. Orang yang hidup di dalam hegemoni terjebak di dalam kesesatan berpikir, walaupun ia sama sekali tak menyadarinya. Dengan demikian, sampai kapanpun, aku akan sulit mempersepsikanmu apa adanya. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun