Lenteng Agung, Jakarta Selatan | Sangat terasa beda dan sangat berbeda. Itulah kesan pertama dan utama, ketika saya ditanyakan secara virtual tentang 'Apa yang didapat pada Idul Fitri 2020.' Mungkin, sama dengan perayaan-perayaan Keagamaaan lainnya sebelum Idul Fitri, semuanya berlangsung nyaris tanpa semarak, ramai-ramai, bahkan cenderung sepi dan 'menjaga jarak' agar tidak saling jamah, sentuh, pelukan, serta kontak fisik lainnya.
Jika pada tahun lalu, juga tahun-tahun sebelumnya, sehari setelah Idul Fitri hinggan tiga Minggu berikutnya, masih dalam suasana Idul Fitri, diwarnai dengan kumpul bersama untuk salam-salaman, maaf-memaafkan, dan Halal bi Halal. Maunya, pada tahun ini, juga seperti itu, tapi mungkin saja tidak bisa sepenuhnya terjadi karena harus tetap dalam tata aturan PSBB. Mengapa?
Penyebabnya sederhana, sebaran Covid-19 belum selesai atau masih terus berlangsung; artinya, siapa pun  bisa terinfeksi Covid-19 dan menularkan ke orang lain. Jadi, tetap harus berjaga-jaga dan waspada.
Lalu, jika kemarin waktu Idul Fitri, terjadi silahturahmi hanya antar keluarga dekat; bagaimana dengan besok dan besoknya ketika, kita, kembalu ada di antara teman kerja, rekan seprofesi, ruang aktivitas sosial dan ekonomi, dan kegiatan lainnya? Â Tentu, ucapan dan gaung "Saling Memaafkan" yang di dalamnya juga di maknai penerimaan satu sama lain dan hubungan baru antar seama, tetap dan harus disuarakan atau diucapkan (kepada semua), karena itu merupakan ekspresi kegembiraan dan suka cita yang didasari oleh panggilan serta dorongan spiritual dan hasil penyucian diri pada waktu puasa dan berpuasa.
Selanjutnya, apakah setelah melewati kehangatat suasana Idul Fitri, mungkin setalh satu dua minggu atau pun sebulan, "Saling Memaafkan" yang di dalamnya juga di maknai penerimaan satu sama lain dan hubungan baru antar seama," masih membekas, tersisa, dan terus berlangsung atau malah dilupakan dan terlupakan. Jika semuanya itu terlupakan, maka kemarin, ketika Idul Fitri, semua ucupan-ucapan yang bemakna damai dan perdamaian, hanyalah semu karena kebiasan yang terus menerus terjadi sejak waktu-waktu sebelum.
Pelupaan atau sengaja melupakan (?) itu, agaknya telah dimaklumi oleh siapa pun dan diterima sebagai biasa-bisanya. Orang-orang telah menjadi biasa dengan (kembali) tidak saling  bicara, menyakiti, judes, nyinyir, tak suka, bahkan benci, walau beberapa hari sebelumnya sudah saling memaafkan. Dengan demikian, yang terjadi adalah 'Silahturahmi dan Saling Memaafkan tanpa Makna' karena tidak muncul dari/dalam hati atau pun spiritualitas bersih; dan itu terjadi karena, sebagian besar dari kita, hanya fisiknya yang beribadah tapi hatinya tidak.
Padahal, menurut orang-orang yang tahu banyak tentang serta spiritualitas yang terbangun karena ajaran Agama, bahwa selayaknya kita berusaha hidup damai dengan semua orang; itu harus terjadi setiap waktu sepanjang durasi hidup dan kehidupan.
Adhe Retno - Jakarta Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H