Cadar, jilbab, kerudung, hijab, atau apalah istilahnya, tiba-tiba (kembali) menjadi tren percakapan di Medsos serta berbagai komunitas diskusi virtual, misalnya WA dan LINE. Apa pun istilah dan sebutannya, semua tertuju pada selembar kain berwarna polos (belakangan sudah ada dari kain batik), berbentuk bujur sangkar atau segi empat beraturan, dan berukuran satu meter. Kain tersebut, biasa digunakan oleh perempuan (di Indonesia oleh mereka yang beragama Islam), untuk menutup kepala, sehingga yang terlihat hanya wajah.
Penggunaan kain tersebut, dengan aneka sebutan, menurut mereka atau para pemakainya, merupakan 'tuntutan' keagamaan atau perintah ayat-ayat Kitab Suci. Karena merupak perintah Kitab Suci, maka setiap perempuan (terutama yang beragama Islam di Indonesia) harus memakainya; bahkan jika goooglin,bayi-bayi perempuan pun telah dikenakan cada. Juga, seringkali terjadi, dengan alasan keagamaan, mereka yang memakai cadar cenderung 'merendahkan serta meremehkan' perempuan lainnya yang tidak memakainya. Mereka yang tidak memakai cadar, sering dianggap belum mendapat hidayah, belum sempurna spritualitasnya, moral'nya rendah, dan lain sebagainya.
Lalu, apa memang seperti itu? Mereka yang tidak memakai cadar lebih rendah kualitas keagamaannya dengan telah memakai? Hal tersebut, benar tidaknya, perlu pembuktian di area publik.
Belakangan, ada larang penggunaan cadar bagi mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dengan alasan "mencegah radikalisme dan fundamentalisme," munculah 'ramai dan keramaian.' Muncul pro-kontra, banyak orang membela serta tak sedikit mengecam larang tersebut; masing-masing membawa atau mengajukan alasan teks Kitab Suci, dan tradisi keagamaan, sosial, budaya, jauh sebelum muncul Quran dan Islam.
Salah seorang ilmuawan Muslim, yang juga pahami betul 'Sejarah Ajaran Islam dan Antropologi Timur Tengah,' justru menjunhgkirnalikan pemahaman (sakralis) tentang cadar. Orang tersebut adalah Sumanto Al Qurtuby [Catet: Fokus utama PhD-ku di Boston University adalah di bidang "Antropologi Islam dan Masyarakat Muslim" (di berbagai kawasan).
Selama bertahun-tahun, saya mempelajari sejarah, keragaman, dan dinamika masyarakat Muslim di berbagai negara: Afganistan, Turki, Indo-Pakistan, Iran, Arab & Timur Tengah, Tiongkok, dlsb., termasuk Asia Tenggara tentunya. Jadi, dikit-dikit tahulah tentang seluk-beluk sejarah Islam dan pluralitas Muslim, dan nggak bego-bego amat soal kajian keislaman he he. Meski begitu ya saya tahu dikit aja, nggak tahu banyak karena kepinteran ada batasnya, beda dengan kebegoan he he]; saya mengikuti berbagai tulisan dan pendapat kritis tentang cadar.
Sumanto Al Qurtuby, justru  ingin menunjukan kepada berbagai kalangan (perempuan dan laki-laki, Muslim atau pun tidak) bahwa cadar (atau apalah itu sebutannya) lahir dari dalam budaya dan sikon sosial serta lingkungan Timur Tengah, jauh sebelum kelahiran Islam. Cadar pun dipakai oleh berbagai umat beragama, serta bukan sebagai tanda khas seorang perempuan Islam atau Muslimah. Nah.
Jadi, jika ada larangan pemakaian cadar bagi mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta, maka itu adalah alasan yang masuk akal, hanya alasan praktis dan keamanan. Dengan itu, UIN ingin menunjukkan kepada Dunia bahwa moralitas, spritualitas, kedewasaan iman seorang Muslimah, tak tergantung pada ia bercadar atau tidak. Sebaliknya, dengan bercadar, bisa muncul 'salah pandang dan nilai' bahwa di balik cadar tersebut tersimpan wajah-wajah kekerasan dan radikalisme. Â Itu saja.
Ok lah, mari kita tersenyum dengan kata-kata [klik]Sumanto Al Qurtuby,
Sebagai antropolog pula, saya tidak ada urusan soal "halal-haram" sebuah fakta atau fenomena sosial itu. Yang suka bilang halal-haram kan golongan "klerik", agamawan, dan "ahli pekih" atau minimal Mamat-Mimin he he. Saya hanya tertarik: kenapa ada orang dan kelompok yang bilang halal, dan ada orang dan kelompok lain yang bilang haram atas sebuah fakta/fenomena itu.
Yang saya perhatikan dan pentelengi adalah: kenapa sebagian orang dan kelompok menggunakan dalil ayat/hadis/kitab ini, sedangkan yang lain memakai dalil ayat/hadis/kitab itu. Kenapa mereka mengklaim dalil ayat/hadis/kitab tertentu yang paling valid, sahih dan otentik? Kenapa bukan dalil ayat/hadis/kitab yang lain? Bukankah "dalil naqli" itu sangat plural dan kompleks? Apa maksud, tujuan, dan motivasi orang-orang ini? Adakah "udang di balik glepung" dari pernyataan dan argumen mereka? Itu saja.
Saya sendiri, walau pada foto profile di beberapa akun Medsos memakai  cadar, namun dalam keseharian tidak memakai; ada banyak pertimbangan sehingga tidak (bukan belum) memakainya. Tapi, bukan bermakna, kehidupan  dan giat keagamaan saya, misalnya sholat lima waktu tetap rajin, lebih rendah dari temah-teman lainnya.
Bagi saya, bercadar atau tidak, bukan ukuran iman atau tak beriman  seseorang; bukan juga sebagai alat ukur terhadap seorang perempuan, ia bermoral baik atau sebaliknya.  Monggo, jika bercadar, maka berpakaianlah dengan baik benar; jika tak bercadar, maka berpakaianlah dengan baik benar. Intinya bukan cadarnya, tapi cara berpakain yang benar, anggun, sopan, dan enak dipandang orang lain.
MAR - JAKARTA SELATAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H