Mohon tunggu...
MB TJAHJONO
MB TJAHJONO Mohon Tunggu... Konsultan - LAKI LAKI

HOBI JALAN JALAN DAN MENYENDIRI

Selanjutnya

Tutup

Money

Menolak Lupa

18 Januari 2022   16:26 Diperbarui: 18 Januari 2022   16:30 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia pada tahun 2016 sampai dengan 2017 melaksanakan program pengampuan pajak atau lebih dikenal dengan Tax Amnesty, dalam pelaksanaannya tercatat penerimaan negara mencapai Rp130 Triliun, dengan nilai deklarasi harta mencapai Rp4.813,4 triliun, dan repatriasi Rp 46 Triliun. Hasil ini cukup besar namun pemerintah masih merasa belum semua ikut, bila dilihat dari sisi angka tebusan dan yang harta dideklarasikan, sudah sangat besar. Wajib Pajak dengan harta yang besar sebagian besar sudah ikut. Dengan harta yang dilaporkan juga signifikan baik dari Wajib Pajak Orang Pribadi atau Wajib Pajak Badan, bila kita bandingkan dengan negara lain.


Namun masih banyak Wajib Pajak yang kesulitan untuk mengikuti program diatas karena negara tempat mereka menyimpan asset belum sepenuhnya mendukung untuk menempatkan hartanya di dalam negeri. Mungkin ini bisa dipahami bahwa penarikan dana yang cukup besar akan membuat bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas atau kalah kliring. Selain itu dana yang di investasikan diluar negeri tidak berbentuk liquid sehingga agak kesulitan dalam mencairkannya.

Di tahun 2020 saat ekonomi melemah beberapa pengusaha muda Indonesia masuk dalam jajaran 30 Under 30 Asia yaitu James Pranoto (Co-Founder Kopi Kenangan), Amanda Cole (Pemelik Sayurbox), Benz Budiman, Kaesang Pangarep, Haryanto TAnjo, Archie Carlson, Andi Nata, Muhammad Alfatih Timur,  dan juga beberapa pengusaha dengan sebutan crazy rich seperti Raffy Ahmad, Gilang, Atta Halilintar, dan Rudi Salim yang memperoleh penghasilan luar biasa disaat pademi melanda. Melihat fenomena itu pemerintah memberi kesempatan kepada pengusaha Indonesia, apabila masih ada hartanya yang belum dilaporkan untuk melaporkan melalui PPS.

SP2DK

SPD2K adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada wajib pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Ditahun 2020 dan tahun 2021 Direktorat Jenderal Pajak meningkatkan penerimaan pajak melalui peneribitan SP2DK. Banyak sekali Wajib Pajak yang menerima SP2DK, dan SP2DK yang diterbitkan tersebut mempertanyakan pemenuhan kewajiban perpajakan dari wajib pajak di tahun-tahun sebelum terjadi pandemi Covid-19.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dalam aturan perpajakan memang berwenang menerbitkan SP2DK sepanjang masih belum melampaui daluwarsa penetapan pajak paling lama 5 tahun setelah saat terutang pajak, atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak. Dan, SP2DK yang dikirim fiskus memang mempersoalkan kepatuhan wajib pajak di tahun pajak 2016-2021. Penerbitan SP2DK sejatinya merupakan bagian dari upaya pengawasan kepatuhan perpajakan berbasis risiko atau Compliance Risk Management (CRM).

Penerbitan SP2DK sudah mengacu pada ketentuan yang berlaku, misal penerbitan SP2DK didasarkan pada hasil penelitian dan analisis atas data/keterangan yang dimiliki pihak ketiga maupun data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data pihak ketiga yang menjadi acuan adalah, penerbitan faktur pajak, data saldo rekening, data transaksi jual beli dan data laporan keuangan. Data-data tersebut terlebih dahulu dilakukan analisa dan matching sehingga keakuratannya dapat dipertagungjawabkan.

Memang ada beberapa data yang masih harus menunggu konfirmasi Wajib Pajak, hal ini terjadi karena bentuk laporan keuangan yang berbeda denagn jenis usaha yang tercantum dalam pendaftaran Wajib Pajak atau penamaan asset yang berbeda dalam SPT dan faktur pajak yang terbit. Alamat dan nilai yang berbeda dari asset berupa tanah dan bangunan yang dilaporkan dalam SPT juga akan menimbulkan persepsi dan penerbitan SP2DK. Bukan SP2DK yang salah namun data yang dilaporkan Wajib Pajak berbeda, meski satu entitas. Oleh sebab itu aparat pajak memiliki data atau keterangan yang berujung dugaan belum terpenuhinya kewajiban perpajakan, yang harus dikonfirmasi ke Wajib Pajak yang bersangkutan dan Wajib Pajak harus merespon surat tersebut. Karena SP2DK diterbitkan karena limpahan data yang diperoleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai hasil dari pertukaran informasi keuangan secara otomatis atau automatic exchange of information (AEoI).

Oleh sebab itu penerbitan SP2DK pasti sudah melalui penelitian atau analisis atas data/keterangan yang dimiliki aparat pajak. Wajib Pajak yang mendapat SP2DK pasti memperoleh dampak psikologis, wajib pajak memang umumnya khawatir dengan penerbitan SP2DK. Terlebih lagi, penerbitan SP2DK bisa saja disusul dengan permintaan penyampaian SPT, pembetulan SPT, atau bahkan pemeriksaan sebagai mekanisme pengujian kepatuhan wajib pajak.

Dari perspektif reformasi perpajakan, ramainya penerbitan SP2DK sesungguhnya merupakan sinyal yang positif, pertama bahwa data itu semakin terbuka, kedua Direktorat Jenderal Pajak dalam mengejar realisasi penerimaan pajak melakukannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kesiapan Akan Keterbukaan

Meskipun keterbukaan informasi sudah dimulai sejak 2018 melalui Automatic Exchange of Information/AEoI, dimana Direktorat Jenderal Pajak bisa bertukar data keuangan secara otomatis dengan sejumlah pemangku terkait, untuk kepentingan perpajakan. Dimana Implementasi AEoI, bisa menutup peluang para Wajib Pajak yang menyembunyikan harta/penghasilan di luar negeri maupun dalam negeri. Namun  hal ini tidak mudah masih ada masalah yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam mengimplementasikan program tersebut.


Pertama kesiapan akan teknologi, kesiapan infrastruktur teknologi di Direktorat Jenderal Pajak dalam menyimpan data-data dari lembaga keuangan. Pada saat ini kesiapan teknologi di Direktorat Jenderal Pajak sudah sangat mumpuni, baik dari segi kapasitas dan security. Dengan pakai join domain, manajmen pemakaian data dapat dikontrol oleh pusat, dimana  pegawai yang melakukan Log-in, akan di evaluasi, jangan sampai ada penyalahgunaan. Dari sisi intilijen dan analitik, Direktorat Jenderal Pajak sudah punya teknologi big data, dimana sebagain pengolahan dilakukan secara system, namun demikian beberapa data-data para nasabah yang masuk ke data base juga dilakukan pengolahan untuk mencocokan dengan data NPWP yang sudah ada.

Kedua, banyaknya lembaga keuangan yang diwajibkan dalam untuk mendaftarkan diri dalam rangka persiapan implementasi AEoI, membutuhkan waktu untuk melaporkan data nasabahnya. Ada diatas 5000 lembaga keuangan yang sudah melaporkan data para nasabahnya ke Direktorat Jenderal Pajak. Bila dahulunya lembaga keuangan dengan alasan privacy nasabah dapat melindungi data nasabahnya saat ini hal itu tidak dapt dilakukan lagi.

Sosialisasi juga seyogyakan dilakukan kepada Wajib Pajak bahwa data keuangan mereka akan tercatat di Direktorat Jenderal Pajak, sehingga dalam melaporkan harta dalam SPT Tahunan harus sesuai dengan kondisi yang sebenarnya, sesuai disini dalam artian, sesuai nama barangnya, sesuai alamat dan sesuai nilainya. Karena perbedaan yang timbul akan dianggap sebagai entitas baru oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Bagaimana dengan data diluar negeri, pemerintah juga melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan diluar negeri, bahkan negara seperti singapura dan swiss juga telah dilakukan kerjasama oleh pemerintah. Memang bukan hal yang mudah tetapi keterbukaan informasi ini menjadikan negara kita menjadi lebih maju.

Sekarang pertanyaannya apakah kita siap ?


Menolak Lupa

Menjawab pertanyaan di atas, sepertnya kita harus melihat diri sendiri. Pemerintah sudah memberi kesempatan kepada masyarakat dengan Tax Amnesty yang diluncurkan pada tahun 2016 sampai dengan tahun 2017. Pada kesempatan pertama, memang menghasilkan penerimaan pajak yang besar namun belum sepenuhnya Wajib Pajak mengikutinya. Oleh sebab itu pemerintah saat ini memberi kesempatan kedua dengan Program Pengungkapan Sukarela atau biasa disingkat PPS.

Pemerintah meyakini PPS yang dimulai sejak 1 Januari 2022 dapat memberikan manfaat besar bagi wajib pajak sekaligus menambah pendapatan negara, dan pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK Nomor 196/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan PPS Wajib Pajak. Dalam peraturan ini menjelaskan bahwa aturan pelaksanaan PPS sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Terbitnya PMK 196/2021 membuat PPS siap berlaku selama enam bulan, yakni 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022. PPS adalah kesempatan yang diberikan kepada WP untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran pajak penghasilan [PPh] berdasarkan pengungkapan harta.

Apa manfaatnya ?, banyak manfaat yang didapat oleh Wajib Pajak seperti terbebas dari sanksi administrative, data yang diungkapkan dilindungi UU dalam artian tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak, kemudian dapat memanfaatkan data yang diungkapkan tersebut dalam usahanya tanpa menyembunyikan dalam laporan keuangan.

Ada dua kebijakan, yaitu Kebijakan I bagi wajib pajak orang pribadi dan badan yang merupakan peserta tax amnesty jilid pertama, lalu Kebijakan II bagi wajib pajak orang pribadi yang belum melaporkan harta perolehan pada 2016---2020 dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) 2020. Disini Wajib Pajak dapat melaporkan hartanya yang belum dimasukkan dalam SPT, bagaimana dengan harta yang sudah diterbitkan dalam SP2DK ?, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan boleh diikutkan dalam PPS, justru ini momentnya. Bila sebelumnya kita mungkin lupa mencatumkan nilai rekening, nama harta atau lupa mencantumkan harta yang diperoleh di tahun 2016 sampai 2020 inilah saatnya.

Data yang digunakan untuk pengungkapan Kebijakan I adalah harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan saat peserta mengikuti Tax Amnesty. Lalu, dengan tarif  11 persen untuk harta deklarasi Luar Negeri, 8 persen untuk harta Luar Negeri  repatriasi dan harta deklarasi Dalam Negeri (DN), serta 6 persen untuk harta LN repatriasi dan harta deklarasi DN yang diinvestasikan dalam SBN SDA

Sedangkan data yang digunakan untuk pengungkapan Kebijakan II adalah harta diperolehan pada tahun 2016 sampai dengan 2020 yang belum dilaporkan dalam SPT 2020. Sedang tarif yang dikenakan adalah 18 persen untuk harta deklarasi LN, 4 persen untuk harta LN repatriasi dan harta deklarasi DN, serta 12 persen untuk harta LN repatriasi dan harta deklarasi DN yang diinvestasikan dalam SBN SDA.

Bagimana dengan tatacaranya dapat dilihat dalam peraturang menteri di atas, dan Pengungkapan dilakukan dengan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) yang disampaikan secara elektronik melalui laman https://pajak.go.id/pps. Kelengkapannya adalah SPPH induk; Bukti pembayaran PPh Final; Daftar rincian harta bersih; Daftar utang; Pernyataan repatriasi dan/atau investasi.

Untuk peserta kebijakan II ada tambahan kelengkapan berupa, pernyataan mencabut permohonan (restitusi atau upaya hukum); Surat permohonan pencabutan Banding, Gugatan, Peninjauan Kembali. Dan penyampaian PPS bisa dilakukan lebih dari satu kali apabila masih ada perubahan harta bersih yang belum dilaporkan.

Jadi tunggu apalagi, manfaatkan selagi masih ada dan jangan bilang lupa...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun