Mohon tunggu...
Umar Fondoli
Umar Fondoli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jika kebisuan tidak sanggup memberikan jawaban, menulis adalah cara mudah untuk meringankan beban hidup.

Kalau susah diomongin, ditulis aja......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wala Wala Kuata

18 Februari 2011   13:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:29 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sarmin merasa hidupnya seperti jatuh tertimpa tangga dan bokongnya tertancap paku pula. Sudah susah cari pekerjaan, ditambah tagihan-tagihan yangseolah-olah menguruk seluruh tubuhnya.Tagihan listrik, air dan juga tagihan-tagihan lainnya termasuk tagihan dari bank thithil, yang semuanya belum terbayarkan. Bank thithil yang mengejar Sarmin adalah koperasi simpan pinjam yang waktu pencairan pinjaman dipotong lima persen untuk biaya administrasi dan bayarnya ditambah bunga lima persen. Cicilannya setiap minggu sekali ditagih di manapun dia berada. Ketemu di rumah ya ditagih di rumah, ketemu di warung ya ditagih di warung, ketemu di jalan ya tagih di tempat.

“Weleh-weleh, hidup kog begini susah. Semoga Engkau tidak tuli Tuhan, kabulkanlah permohonan dan doa yang aku panjatkan setiap saat setiap waktu, ya Tuhan.” begitulah keluhan dia, ketika jalan keluar atas persoalan hidup itu menemui jalan buntu. Artinya segala upaya yang dia lakukan untuk berhutang guna memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sudah mentok membentur tembok.

Suatu ketika, kedua anaknya mengeluh perutnya lapar. Istrinya hanya duduk diam di bale bambu kamar tidur sambail memandang kosong ke arahnya dengan mata berkaca-kaca. Dan dilihatnya di tempat wadah penyimpanan beras di dapur, sudah tidak tersisa lagi menir-menir yang bisa ditanak. Lalu dia bergegas keluar rumah dan mencoba mencari pinjaman dari satu kawan ke kawan lainnya. Kog ‘ndilalah’ dari sekian orang kawan-kawannya itu, juga sedang tidak ada duit. Dari mana dapat duit, lha wong kawan-kawannya yang disambati itu sebagian besar adalah pengangguran. Coba kalau dia berkawan dengan para pengusaha atau rentenir kredit, pasti jawabannya akan berbeda.

Dia sudah minder duluan , lebih tepatnya dia malu, jika mau berhutang pada kawannya yang lebih baik status sosial ekonominya. Karena dia tidak pernah tepat waktu untuk mengembalikan pinjamannya.

“Sebenarnya, saya ini orangnya tertib. Tapi berhubung tidak ada duit untuk membayarnya ya saya kasih janji-janji lagi. Karena sering janji, janji dan janji, ya wajar toh, kalau mereka akhirnya mangkel, jengkel, dan menganggap saya tidak punya itikad baik untuk mengembalikan utang-utangku itu,” jelas Sarmin dua minggu yang lalu pada kang Suto, debt collectornya Pak Juma’at, anggota partai yang didukungnya dan kini sudah menduduki jabatan sebagai yang terhormatanggota dewan perwakilan rakyat.

“Lha terus, iso mbayarmu kapan ? “ bentak kang Suto.

“Lha kalau mbok bentak begini ya aku tambah bingung cari duitnya kemana. Ndak usah mbok bentak aja, kepala ini sudah mau pecah cari uang. Apalagi, mbok bentaki begini,” jawabnya.

“Ora usah ndagel ! Aku serius ini ! Itu urusan kamu, mau cari duit kemana ! Urusannya pak Juma’at itu banyak dan penting-penting, mosok diganggu permasalahan dengan orang ruwet macam kamu !Kalau ndak segera mbok bayar, tak obrak-abrik rumahmu ini. Dan barang-barang yang ada di rumah ini akan saya angkuti,”ancam Kang Suto, waktu itu. Dan semua tetangga kanan-kirinya Sarmin, waktu itu, dengar dan tahu kejadian yang memalukan itu. Istri dan anak-anaknya memilih bersembunyi di dapur sambil menutupi kedua telinganya, agar tidak terdengar teriakan dan makian Kang Suto pada suaminya.

Lalu apa jawab Sarmin waktu itu ke Kang Suto,”Angkut saja, obrak-abrik saja kalau berani. Dikira saya ini nggak paham hukum apa ? Lha wong sampean mengutik tubuh saya saja bisa saya perkarakan kog. Apalagi mau ambil barang-barang di rumah ini. Lagian barang apa yang mau sampean ambil, coba. Televisi, radio tape, almari, atau spring bed ? Cari, kalau ada di rumah ini. Meja kursi tamu saja sudah reyot begini. Kalau sampean memang mau ambil barang, silahkan ambil. Tapi setelah itu saya laporkan sampean kepada pihak yang berwajib kalau sampean ini merampok barang saya. Dan tuntutan saya, hutang saya ke pak Juma’at, sampean yang harus melunasinya. Gimana,” jawab Sarmin dengan santainya. Para tetangga yang mendengar ucapan pertikaian mereka berdua itu, hanya tersenyumgeli. Kog ya bisa-bisanya, dalam situasi genting begitu masih bisa membela diri. Dasar tukang utang.

Dan hari ini, karena merasa bahwa jalan keluarnya untuk mendapatkan pinjaman dari kawan-kawannya sudah buntu, dia mencoba meminjam uang kepada kepada Raden Sobary, salah satu warga di kampungnya yang dikenal paling kaya.Dan terhormat karena nama depannya ditambahlabel haji. Dia berpikir bahwa orang kaya yang sudah bertitel haji itu akan membantu orang seperti dia karena dia yakin ilmu dan pengetahuan agamanya Den Kajine (begitu orang kampong biasa menyebut namanya) lebih matang dan lebih bisa menyejukkan orang-orang miskin seperti dia.

“Den Kaji, maksud dan kedatangan saya kemari ini, yang pertama adalah silaturahmi. Dimana orang yang bersilaturahmi itu akan dipanjangkan usianya dan dilapangkan rejekinya. Dan yang kedua, anu..Den Kaji..anu..saya mau pinjam uang untuk beli beras. Kebetulan beras yang ada di rumah, habis,” Sarmin mencoba membuka percakapannya dengan Den Kaji.

Tapi jawaban yang diberikannya membuat kuping dan hatinya ‘mak nyos’ panas sekali,“Begini lho, Min. Sebaik-baiknya rejeki untuk memenuhi kebutuhan keluarga adalah rejeki yang didapat dari hasil keringat sendiri, bukan dari pinjaman. Utang itu bakalan ditagih diakherat lho ? Lha kalau kamu tiba-tiba mati sebelum kamubisa mengembalikannya, bagaimana coba,” begitu kata Haji Den Sobary kepada Sarmin.

“Injih, Den Kaji. Tapi saya jamin, panjenengan tidak akan menyengsarakan saya, Den Kaji. Justru panjenengan akan mendapatkan pahala dan balasan surga dari Allah, jika menolong orang yang sedang kesusahan seperti saya ini,” kata Sarmin.

“Astagfirulloh..hehehe…Begini lho Min, kalau aku sampai membantu denganmemberikan hutang ke kamu, itujustru akan menyengsarakan kamu. Karena aku yakin kamu akan sulit membayarnya kepadaku. Aku akan menjadi orang yang zalim dan dilaknat oleh Allah jika aku sampai menyengsarakan orang yang hidupnya sudah susah seperti kamu. Naudzubillah, astagfirulloh al azim, “ jelasnya lagi yang menambah hati dan perasaan Sarmin semakin ‘kemropok’ panasnya.

“Tapi kalau ada orang mampu dan melihat kesengsaraan ada didepan matanya, kemudian dia tidak membantunya, apa itu tidak zalim namanya, Den. Pasti nanti diakherat akan masuk neraka jahanam,” jawab Sarmin sekenanya.

“Hahaha…ngerti apa kamu tentang neraka dan surga. Lha wong sholat kamu saja bolong-bolong. Ikut pengajian di musholla saya setiap malam jum’at saja, kamu nggak pernah. Semua ada syari’at ada hakekat. Ada hukumnya dalam agama, Min. Kalau manusia itu sedang diberikan cobaan dan ujian, hanya kepada Allah lah mereka hanya bisa meminta pertolongan. Mangkanya shollat yang bener, yang tertib, biar rejekimu lancar. Kalau kamu dalam kesulitan terus terbantu dengan pinjaman dari aku atau orang lain, itu akan menimbulkan ketergantungan dan menyebabkan kemalasan. Akan menurunkan semangatmu dalam berjuang memperbaiki nasib. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubah nasibnya. Dan tangan diatas itu lebih baik daripada tangan dibawah,” jelasnya.

“Asem tenan. Sudah nggak ngasih pinjaman, malah kasih kuliah subuh. Kayak Islam-islamo dewe wae.Kayak Sholatnya sudah bener saja. Memang hanya yang sudah bertitel Haji saja yang bisa sembahyang dengan benar. Memang shollat itu bisa mendatangkan rejeki secara instan. Kalau memang shollat bisa mendatangkan rejeki, kenapa orang-orang yang kaya di sekitar kita adalah mereka yang saya lihat tidak pernah menjalankan shollat. Paling-paling, mereka baru menjalankan shollat kalau sudah terjerat kasus hukum atau tersangkut masalah korupsi,” gumamnya dalam hati, lalu bergegas pamit pulang kepada Haji Den Sobary,”injih Den Kaji, kalau begitu saya mohon diri dulu. Mudah-mudahan, kedatangan saya kemari membawa hikmah dan barokah buat saya dan juga Den Kaji sekeluarga.”

“Ya..ya..sing sabar, tawakal dan sing tabah. Jangan lupa, shollat dan memohon kepada Allah. Tapi jangan hanya doa saja tanpa ada ihtiar. Ingat, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang merubahnya,” pesan Haji Den Sobary.

“Gombal mukiyo tenan Den Kaji iki,” jawabnya dalam hati, lalu pamit,”Assalamu’alaikum. Pareng, Den Kaji.”

“Wa’alaikum salam. Maaf lho Min, saya tidak bermaksud pelit tapi saya bermaksud menguji ketabahan dan kesabaran serta keimanan kamu . Jangan lupa, shollat. Shollat yang tertib..yo, Min.”

“Jiangkrik…memangnya kalau sudah haji, bisa menilai keimanan seseorang apa. Bukankah hanya Allah saja yang bisa menilai hambaNya beriman atau tidak. Wis.embuhlah..” katanya dalam hati.

Dia teringat ajaran ustadz Somad di kampung yang mengatakan bahwa sholat itu disyari'atkan sebagai bentuk tanda syukur kepada Allah, untuk menghilangkan dosa-dosa, ungkapan kepatuhan dan merendahkan diri di hadapan Allah, serta menggunakan anggota badan untuk berbakti kepada-Nya yang dengannya bisa seseorang terbersih dari dosanya dan tersucikan dari kesalahan-kesalahannya dan terajarkan akan ketaatan dan ketundukan.

Menurut ustadz Somad, Allah telah menentukan bahwa sholat merupakan syarat asasi dalam memperkokoh hidayah dan ketakwaan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:"Alif Laaam Miiim. Kitab (Al Qur-an) tidak ada keraguan di dalamnya, menjadi petunjuk bagi mereka yang bertakwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka." (QS. Al Baqarah : 1-2).

“Junjungan kita kanjeng nabi Muhammad SAW bersabda pondasi segala urusan adalah Islam, dan tiangnyaadalah sholat, sedangkan yang meninggikan martabatnya adalah jihad fi sabilillah," begitu kata ustadz Somad yang diingat oleh Sarmin.

Tapi mengapa sholat yang sesungguhnya baik dan bermanfaat itu, tidak merubah hidup kita ? mengapa sholat tidak memperbaiki moral para pengusaha, penjabat, pegawai, politisi, pedagang dan orang-orang yang kaya-kaya itu ?Mengapa tidak mengubah orang-orang miskin ke dalam suatu kekuatan yang di abdikan untuk Allah ? Mengapa golongan kami terus berada dalam keadaan memalukan dan kalah ? Kenapa yang merasa sholatnya sudah tertib dan benarbanyak yang tidak mau menafkahkan sebagian rejekinya kepada orang-orang yang sangat membutuhkan pertolongannya, seperti saya ini,“ pertanyaan itu terus menyerang ideologi Sarmin.


Dengan langkah gontai tak terarah, Sarmin melanjutkan perjuangannya untuk mendapatkan setetes rejeki . Terbayang dalam pikirannya, anak-anaknya yang menangis menahan lapar. Dan terbayang pula wajah pilu istrinya didepan mata. Tak terasa tetesan air matanya mengalir membasahi pipinya. Sesekali di lapnya dengan telapak tangan kanannya.

“Ya Allah, inikah keadilan yang Engkau berikan kepada saya. Inikah ujianMu ? Pantas saja banyak manusia yang berpaling dariMu karena tidak sabar menerima azabMu. Meskipun saya tahu, bahwa Engkau tidak akan memberikan ujian melebih batas kemampuan saya. Tapi dengarkanlah jeritan anak-anak dan istri saya. Yang memekakan teling dan merobek batin saya,” keluhnya sambil matanya menengadah keatas menatap langit.

Memang kata ‘sabar’ mudah untuk diucapkan. Atau setidaknya mampu mendinginkan orang yang sedang dirundung kemalangan. Sangat manusiawi sekali jika orang bersedih lalu berkeluh kesah tentang kesedihannya. Sangat manusiawi sekali jika musibah, kemalangan dan kesedihan itu seolah-olah hanya milik orang-orang yang bodoh dan miskin. Dan tidaklah salah jikaada pendapat yang mengatakan bahwa kemiskinan serta kebodohan itu sangat dekat dengan kekufuran jika salah menyikapinya.

Sarmin sudah kehabisan akal untuk mendapatkan jalan keluar. Dia lalu berhenti dibawah pohon beringin dipinggir jalan. Pohon itu memang tempat yang sangat strategis untuk melepaskan lelah dan penat bagi pejalan kaki maupun pengendara sepeda. Air liurnya mengumpal diataas lidahnya ketika matanya tertuju gerobak dorong es dawet yang mangkal di bawah pohon itu. Tak terlihat penunggu gerobak dorong itu, entah kemana penjualnya. “Penjualnya kemana ya ? wah kebetulan, mumpung nggak ada orang yang melihat. Aku akan ambil es dawet itu,” gumamnya.

Ketika beranjak dari tempat duduknya dan menuju kearah gerobak dorong itu, tiba-tiba datang dua anak bersepeda berhenti didepan gerobak itu. “Pak, beli es dawetnya di bungkus,” kata salah satu dari mereka. “es nya yang banyak ya, pak,” tambahnya.

Ketika Sarmin melayani kedua anak seusia anaknya yang kelas tiga SD itu, tiba-tiba datang menghampiri dari belakang seorang kakek dengan pakaian lusuh tapi tersirat di wajahnya yang bersahabat. “Wah..matur nuwun lho nak, telah dibantu menjualkan es dawet saya. Saya baru saja dari sungai di dekat gubug itu, perut saya sakit,” katanya sambil menunjukkan gubug yang berada didekat lereng sawah yang terbelah aliran sungai.

Sarmin tersenyum kecut, dan mempersilahkan kakek tadi melanjutkan melayani kedua anak tadi. “Maaf mbah, tadi saya tidak melihat ada orang yang menunggu gerobak es dawet. Lalu ketika ada pembeli ya saya ladeni saja,” kata sarmin.

“Ndak pa pa, nak. Saya yang justru berterima kasih, karena telah dibantu menjualkan dagangan saya. Ini le, dawetnya. Inibuat sampean,” kata kakek itu sambil memberikan sebungkus es dawet kepada anak kecil tadi. Setelah kedua anak tadi berlalu, kakek tua itu membuatkan satu gelas es dawet kepada Sarmin.

“Terima kasih, mbah,” jawab Sarmin sambil tersipu malu. “tapi kalau boleh dibungkus saja, buat anak-anak saya di rumah.”

“Ya itu diminum dulu, nanti anak-anak sampean saya bungkuskan sendiri. Berapa to anaknya ?”

“Dua kek.”

“Lha terus, garwa sampean ada di rumah juga.”

“Ada, mbah.”

“Ya sudah, es dawetnya dihabiskan dulu, saya bungkuskan untuk anak-anak dan istri sampean.”

“Wah, jadi ngak enak nih sama si mbah. Matur nuwun, mbah.”

“Jangan sungkan-sungkan, sudah sewajarnya kita hidup di dunia ini saling tolong menolong sesame. Bahkan sesama mahluk hidup lainnya saja kita wajib tolong menolong kog, apalagi sesame manusia. Dan sekarang ibi banyak orang mampu materi tapi tidak mampu sodaqoh. Mereka pikir untuk membersihkan hartanya, mereka cukup dengan membayar zakatdua setengah persen setahun sekali. Atau sodaqohnya di giatkan pada bulan Ramadhan saja.”

“Si mbah ini bisa saja, kan tidak semua orang kaya seperti itu. Banyak juga orang kaya yang sadar beramalkog. Sebenarnya saya ini sedang bingung, mbah. Anak-anak dan istri saya kelaparan di rumah. Saya tadi baru saja dari Den Kaji Sobary, mau pinjam uang. Ehh..bukan duit yang saya dapat malah dikasih ceramah. Saya sudah bosan dengan ceramah-ceramah begitu, Kek. Lha wong kita ini ndak buta huruf kog. Sudah otomatis kalau saya ini juga bisa membaca Al Qur’an,baik tulisan arabnya maupun arti bahasa Indonesianya. Saya ini jelek-jelek begini pernah mondok di pesantren lho, mbah.”

“Hehehehe…jebolan pesantren dikasih ceramah agama kog alergi ki piye to ?”

“Bukan alergi mbah, sudah bosan. Mosok bebek diajarin berenang. Saya bosan dengan kata-kata sabar, tawakal, tabah. Mereka yang bisa ngasih nasehat seperti itu soalnya mereka tidak mengalami nasib jelek seperti saya, mbah. Mereka seperti penonton sepak bola yang bisa berkomentar dan mengejek pemain di lapangan. Padahal belum tentu mereka itu bisa bermain sepak bola sebagus yang diejeknya.”

“Hehehe…hidup ini kan seperti permainan judi bagi yang tidak tahu makna kehidupan di dunia. Hidup ini seolah-olah hanya hitam dan putih, sedih dan bahagia. Bahkan ada yang bilang, hidup di dunia ini hanya sekedar mampir minum. Hahahaha…kalau aku ya bukan hanya sekedar mampir minum, tapi ya jualan es dawet juga. Kalau perlu menyelam sambil minum air sambil mengambil harta karun di dasar laut. Jadi begitu mecungul, bisa bersenang-senang di dunia. Dan nanti di akherat bersenang-senang lagi. Enak toh ? “

“Hahahaha….gitu ya, mbah. Nggak disangka, si mbah ini dalam juga pengetahuan tentang makna hidup. Tapi bener lho mbah, kalau di luar rumah begini saya bisa tersenyum, tertawa dan juga seolah-olah sadar bahwa hidup saya ini sudah ada garis tanganNya.Tapi begitu pulang ke rumah melihat anak-anak dan istri saya yang menangis karena kelaparan, sepertinya doa dan pengharapan saya kepada Tuhan sia-sia saja. Doadan ritual itu ternyata tidak bisa membuat kenyang perut istri dan anak-anak saya,” kata Sarmin sambil menaruh gelas es dawetnya yang sudah habis dilahapnya.

“Halah..bisa saja sampean ini. Saya bisa ngomong begitu karena saya ini hobby membaca. Dari yang say a baca ya saya sampaikan ke orang lain sesuai dengan apa yang saya hafal…hahaha….ndak jauh berbeda dengan penulis buku-buku agama itu . Mereka baca kitab suci, baca sejarah dan tuntunan agama dari berbagai macam pengarang dan penulis, lalu diketik ulang sesuai dengan bahasa yang disesuaikan dengan pasar dimana buku itu akan diedarkan atau dibaca. Jadi buku itu yang ditulis oleh mereka yang menyebut dirinya pemikir dan intelektual agama itu sebenarnya 99 persen adalah berasal dari perpustakaan,baru yang 1 persen itu mungkin pemikiran dia sendiri. Atau justru pendapat yang dicomot dari pemikiran kawannya..hehehe,” kata si kakek sambil terkekeh-kekeh.

Sarmin yang mendengarnya merasa terheran-heran dengan apa yang baru saja diucapkan oleh si kakek. Orang tua yang hanya penjual es dawet, bisa berpendapat sepertikolumnis Koran nasional. “Luar biasa si mbah ini. Ternyata luas pengetahuannya. Dulu lulusan mana, mbah ?”

Kakek itu malah tertawa terbahak-bahak,”Sekarang inisemua orang sudah bisa berpendapat. Lha wong di televisi setiap hari dicekoki perdebatan masalah sosial, budaya,politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan bahkan agama.Cobasampean perhatikan, mulai bangun tidur semua stasiun televisiramai-ramai menyiarkan kuliah subuh, satu jam kemudian kita tinggal pilih chanel informasi semua berita termasuk olah raga, lalu siaran memasak, dan seterusnya. Belum radio, belum lagi koran. Ya kebangeten to, kalau saya yang hanya lulus SD saja pinter hanya dengan menyaksikan, mendengar dan membaca,masak mereka yang lulusan SMA dan sarjana nggak paham,”kata kakek.

“Gitu ya mbah.Kalau televisi dan radio, kayaknya semua orang Indonesia hampir semuanya punya, mbah. Tapi apa ya cukup dengan penghasilan dari jualan es dawet saja, si mbah bisa langganan koran segala,” tanya Sarmin.

“Hehehehe…dari tadi kita mengobrol, si mbah belum tahu nama ki sanak. Kalau saya panggil saja mbah Umar, kalau situ punya nama siapa ? “

“Sarmin, mbah.”

“Hehehe…begini nak Sarmin. Jangan menilai seseorang itu dari lahirnya saja.Situ ndak tahu to, kalau saya itu punya sepuluh gerobak es dawet. Yang satu saya sendiri yang menjalankan, yang lainnya dikelilingkan sama tetangga kanan kiri saya yang menganggur. Kami bagi hasil 40 persen buat mereka 60 persen buat saya dari hasil penjualan. Heran to..hehehehe…saya sudah melakukan iniselama 40 tahun. Anak saya empat laki-laki sudah mentas semua. Sudah jadi orang semua. Bahkan ada yang jadi gubernur di salah satu propinsi di Indonesia.Di rumah hanya tinggal saya dan istri saya. Meskipun banyak yang mencemooh, dikira saya ini edan. Kata mereka, mbah anaknya jadi gubernur kog masih jualan dawet . Buat apa uangnya ? Tapi saya diamkan saja, mereka tidak tahu perasaan orang tua yang demi Allah hanya ihlas memberi dan tidak berharap ada kembalian dari apa yang kami berikan kepada anak-anak kami. Yang penting mereka masih berbakti, eling sama wong tuwa, tidak bikin malu keluarga dan manfaat untuk masyarakat. Itu sudah lebih dari cukup buat kami.”

“Hah..yang benar mbah. Jadi anaknya si mbah ini ada yang jadi gubernur ? Lalu hasil jualan si mbah ini buat apa ? Kenapa nggak ikut anaknya saja, mbah. Kan enak, mbah,” kata Sarmin penuh dengan keheranan.

“Saya jualan ini nggak cari untung duit, tapi cari untung bathin. Dengan berjualan es dawet ini, saya justru mendapatkan hiburan, syukur bisa membantu orang yang kesusahan seperti sampean ini. Coba kalau saya enggak jualan es dawet, apa bisa ketemu dengan sampean, coba. Dan yang lebih penting lagi, karena saya sukadan senang berjualan es dawet yang bisa mengantarkan keempat anak-anak saya jadi orang semua..hehehe…kata Bung Karno, jas merah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah.” kata kakek yang memperkenalkan dirinya dengan sebutanmbah Umar.

“Waduh mbah, ketiwasan. Karena asyiknya mengobrol saya sampai lupa kalau anak-anak dan istri saya sedang menunggu saya di rumah. Saya mohon pamit dulu, mbah. Monggo, mbah,” kata Sarmin bergegas menyalami mbah Umar.

Tangan kanan mbah Umar merogoh saku celana kanannya, diambilnya dua lembar yang kertas lima puluhan ribu dan diberikan kepada Sarmin.

“Apa ini mbah ? “

“Buat jajan anak-anakmu, sudahlah terima saja.”

“Alhamdulillah. Terima kasih mbah Umar, matur nuwun. Saya pamit dulu, mbah. Monggo mampir ke rumah saya kalau mbah Umar ada waktu, monggo mbah,” kata Sarmin dengan muka yang kali ini lebih cerah, sambil setengah berlari meninggalkan rindangnya pohon beringin menuju pulang ke rumah.

Namun betapa kagetnya ketika sampai di depan pintu halaman rumah mungilnya, Sarmin melihat kedua anaknya berdiri berangkulan menangis didepan pintu rumah.

“Kenapa, Surti. Ada apa Sari,” tanya Sarmin setengah berteriak kepada Surti, anak perempuan sulungnya yang berusia 13 tahun dan Sari, anak perempuannya yang berusai 9 tahun. “ada apa ini.”

Sambil menahan isak tangisnya, Surti mengatakan kepada bapaknya kalau ibunya pergi meninggalkan mereka berdua,” Dan ibumenitipkan selembar surat ini bapak.”

Sarmin merasa tubuhnya seakan mau pingsan. Lalu dia berusaha sekuat tenaga untuk meraih tempat duduk di ruang tamu. Sarmin sesasaat menghirup udara dalam-dalam, lalu ia hempaskan keluar dari mulutnya kuat-kuat. Dia mencoba menguasai diri, lalu memberikan tiga bungkus es dawet kepada Surti,”Sur, kamu makan dulu es dawet ini sama adikmu sana, di dapur sana. Masalah ibumu biar bapak yang berpikir. Kalian nggak usah sedih, mungkin saja ibumu hanya emosi sesaat. Nanti pasti pulang. Apa ibumu bilang kepada kalian pergi kemana ? Pergi ke rumah eyang, mungkin. “

“Enggak, pak. Tadi ibu hanya menangis dan bilang kalau ibu sudah nggak sanggup hidup seperti ini. Ibu membawa semua baju-bajunya ke dalam koperlalu memaksa pergi meskipun aku dan Sari dengan sekuat tenaga menahan kepergiannya. Tadi ada seorang laki-laki yang menjemputnya pakai mobil kijang,” kata Surti.

“Seorang laki-laki, siapa dia. Kalian kenal ? Kog bisa dia menjemput ibumu kesini ?”

“Surti nggak kenal, pak. Sebelum ibu mengemasi pakaiannya, ibu pamit ke wartel bu Tuginah, enggak tau telpon siapa. Sepulang dari wartel, ibu langsung mengeluarkan baju-bajunya dari dalam almari dan memasukkannya ke koper. Aku tanya, ada apa, ibu hanya diam sambil sesenggukan menangis. Lalu ibu menciumi aku dan Sari, sambil ngomong : maafkan ibu ya nduk, doakan ibu, gitu katanya,” Surti mencoba menjelaskan kronologis minggatnya ibu mereka dari rumah.

“Ya..sudah, kamu makan es dawetnya dulu. Biar bapak disini,” kata Sarmin sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. Dengan penuh keraguan dia pungut surat istrinya di atas meja tamu yang dititipkan kepada Surti. Perlahan dia buka dengan penuh rasa kecewa dan tanda tanya :

Maafkan aku, mas. Aku terlalu lelah untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang tidak pernah menyenangkan dan membuatku selalu menderita. Aku sebenarnya sudah merasakan penderitaan ini sejak kelahiran anak pertama kita, Surti. Tapi aku masih bisa bertahan dan mencoba mempercayai semua ucapanmu bahwa kita akan bisa menyelesaikan semua penderitaan secepat mungkin. Apalagi mas Sarmin meyakinkan aku dengan berbagai harapan bahwa mas akan mendapatkan proyek besar ini dan itu, tapi nyatanya mana ? .

Sampai anak kedua kita lahir bahkan sampai detik ini semua ucapan mas Sarmin hanya omong kosong belaka. Tidak ada satupun yang terbukti dan mampu membuat diriku nyaman dan bahagia. Aku mohon maaf, mas. Aku pergi bukan untuk kembali kepada orang tuaku. Aku pergi demi masa depan anak-anak kita dan juga kebahagiaan kita.

Aku pamit dan mohon restu untuk pergi bekerja ke luar negeri ikut PJTKI nya pak Ijoel. Aku sejak tiga bulan yang lalu diam-diam tanpa sepengetahuan mas, aku sudah mengurus paspor dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan keberangkatanku ke luar negeri. Semuanya gratis, mas. Tapi dipotong gaji selama enam bulan. Dan aku mohon maaf, kalau surat ijin suami tandatangannya dipalsu sama pak Sekdes atas ijinku.Kata pak Ijoel, besok pagi aku sudah terbang ke Hong Kong.

Demi Tuhan aku sangat menyayangi mas dan juga anak-anak. Aku ingin keluarga kita hidup bahagia dan tidak menderita seperti ini. Untuk itu tidak ada pilihan lain, kecuali aku pergi untuk mengais rejeki buat perbaikan nasib keluarga kita. Doakan aku sukses, mas. Titip anak-anak. Insya Allah setelah potongan gajiku berakhir,setiap bulan aku akan kirim uang buat anak-anak dan mas Sarmin. Aku mohon, selama aku tinggal ke luar negeri, jangan macam-macam. Aku juga janji kepada mas, untuk menjaga harga diri dan kehormatan selama bekerja di luar negeri.Insya Allah, dua tahun lagi aku kembali.

Yang selalu menyayangimu

Miarsih

Dan tiba-tiba air mata dari kedua mata Sarmin tidak terbendung mengalir membasahi kedua pipinya. Diremasnya surat itu berkali-kali sampai kumal, “Tidak mungkin aku mengejar istriku ke kota. Apalagi jam segini sudah tidak ada angkot ke kota. Ngojek, juga mahal. Uang pemberian mbah Umar tadi lebih baik buat beli beras dan lauk daripada untuk sewa ojek. Ya Allah, apa yang harus aku lakukan.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun