Mohon tunggu...
Umar Fondoli
Umar Fondoli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jika kebisuan tidak sanggup memberikan jawaban, menulis adalah cara mudah untuk meringankan beban hidup.

Kalau susah diomongin, ditulis aja......

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seandainya Saja Cinta

15 Februari 2011   20:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:34 1641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tiba-tiba saja perasaan ini menjadi deg-degan, tidak karuan detak jantung ini, ketika aku lihat ada nama Lyla terpampang dalam daftar tambahan kawan di situs jejaring sosialku. Seperti tidak percaya dia muncul begitu saja. Benarkah Lyla ? Kalau aku lihat fotonya sepertinya benar dia.Oh my God, Lyla my first love, how can find me. Aku coba selidiki lebih jauh di profil pribadinya. Ah..ternyata benar dia.Aku semakin bersemangat untuk terus membuka catatan dan album foto-fotonya. “Waladalah…ediann. Jiamput, ternyata anaknya sudah empat. Jabang bayik, ternyata dia bersuamikan lelaki kurus kering yang tidak modis sama sekali,” teriakku spontan didepan notebookku. Ternyata suaminya adalah Parno, mantan lawan politikku di Senat Mahasiswa dulu.

Dan memoriku terputar pada masa kuliah di Yogya dulu. Dimana pernah ada cerita cinta yang tertinggal disana. Pikiranku melayang membayangkan seorang perempuan cantik berambut panjang dan lurus, seperti bintang iklan shampoo. Apalagi kalau menoleh kebelakang, rambut hitamnya yang panjang terurai dengan lembut. Apalagi senyum manisnya yang tersungging mengarah kepadaku. Rasanya seperti merobek hatiku.

Aku teringat obrolanku dengan Kamal dan Sutrisno (keduanya adalah sahabatku) setiap pulang kuliah selalu hang out warung kopi depan kampus. Beli kopinya satu gelas, ngobrolnya bisa betah sampe berjam-jam. Apalagi kalau disambi main catur. Yang pasti dari warung kopi itulah, aku beranikan memproklamirkan diri telah memiliki kekasih hati kepada kedua sahabatku itu.

“Ah elok kali perempuan itu, tak kusangka kau pintar pilih cewek. Kakinya, alamaaakkk…betisnya sangat indah seperti betis kuda Australia. Mantap, mantap sekali itu. Tak rugilah kalau kau bisa dapatkan dia untuk kau jadikan separuh jiwamu,” kata Kamal, sambil meninju badanku.

“Brur, maukah kau aku beritahu sedikit rahasia tentang wanita. Hati-hatilah dengan wanita. Karena merekalah dunia ini tentram, tapi karena mereka juga bisa dalam sekejap berubah menjadi berantakan? “timpal Sutrisno sambil menyeruput kopi panasnya. Dia lebih suka kopi yang kental ala Blora daripada kopi cuwir khas Jogja.

“Maksudte piye ? “ tanyaku

“Begini, dalam memilih perempuan itu harus pake ilmu manajemen juga. Pertama, harus ada perencanaan yang matang. Artinya dalam memilih perempuan itu harus direncanakan dulu cara pendekatannya, strategi apelnya, kelemahannya apa, kekuatan kita apa, ancamannya siapa saja, dan peluangnya bagaimana, gitu.”

“Terus yang kedua ? “ tanyaku semakin bernafsu. Sepertinya penjelasan Sutris ini masuk akal juga.

“Yang kedua struktur tubuhnya. Misalnya saja, kakinya mulus apa enggak, terus payudaranya mentul-mentul apa masih padat.”

“Halah, tembelek, Tris..Tris..” timpal Kamal.

Tenan, ini bener lho. Mahasiswi perawan atau enggak itu bisa dideteksi lewat payudaranya. Coba saja kalau dia pas berjalan atau pas berlari kecil kamu perhatikan payudaranya, kalau terlihat mentul-mentulnya itu dahsyat, pasti dia sudah enggak perawan.”

“Hayah..ngarang kamu,” kataku.

Eeee dikandani ora percaya, teruskamu perhatikan ibu jarinya, bila nampak pucat sekali walaupun ada rasa hangat berarti kemungkinan besar kesuciannya sudah terbang,” wajah Sutris menunjukkan keseriusan. Aku nggak tahu darimana dia dapatkan ilmu seperti itu. Tapi biasanya dari mulut ke mulut informasi seputar virginitas, sudah tidak asing bagi mahasiswa.

“Terus tanda lainnya, apa coba ? “

“Pegang erat jari kelingkingnya, kira-kira satu menit, lalu lepaskan, tanya bagaimana rasanya ketika dipegang erat dan dilepaskan.Kalau dia menjawab tidak sakit, kemungkinan besar dia tidak suci lagi. Tapi kalau ia menjawab ada rasa rangsangan,jantungnyaberdebar atau ada rasa sakit seperti berdenyut, berarti dia masih perawan.”

“Gombal mukiyo. Jangan percaya, Mal. Lha wong analisanya tentang keperawanan itu tidak berdasar. Tidak ada referensi akademisnya,” aku katakan sambil menyedot rokok filteryang terselip diantara dua jemariku.

“Ndak ada dasar piye, lha wong ini ilmu katon (kelihatan), jeee ? Ya kalau pingin lebih detail dia masih perawan atau enggak, ya di coba aja dulu baru ketahuan dia perawan apa enggak. Iya engak ? “

“ha..ha..ha…jan kentir tenan bocah iki. Memangnya beli celana di Gardena (Dept. Store dijalan Solo, langgananku dulu kalau habis dapat kiriman wesel)bisa dicoba terus kalau cocok dibeli. Jan bocah kentir tenan, iki,” kataku.

“Aaayak…koyo deweke ora kentir (ndablek) wae. Andre ini juga kentir, Mal. Senengane lotse (drunk) arjo alias arak jowo, iyo ra..hehehee…ngaku wae, dab, haawong biasanya ngombene sesuk mabuke saiki …hahahaha..” ujar Sutris.

“Lha yang ketiga apa, Tris ? “ tanya kamal sambil tertawa terbahak-bahak.

“Yang ketiga dalam ilmu manajemen cinta adalah pelaksanaan atau action. Sepintar-pintarnya orang yang pinter tapi prakteknya tidak ada ya masih pinter orang yang sering praktek meskipun ndak pernah makan sekolahan. Eling to, manajemen itu kan intinya P.O.A.C. yaitu planning, organizing, actuating dan controlling,” jelasnya kayak yes..yes..o..dewe.

Weh pinter tenan kowe Tris. Pasti habis sinau buku manajemennya pak Suad Husnan, yo. Lha yang terakhir opo coba ? “ tanyaku.

“Yang terakhir yang mesti control, Nyo. Ning hurup ‘R’ nya jangan di ilangi, ndak ora ilok (pamali) kalau diucapkan. Maksudnya kalau sudah praktek ya harus bisa mengkontrol dirinya sendiri, jangan sampai berbuat yang tidak senonoh yang melanggar aturan maupun norma agama yang kita anut.Ha..nek melanggar njuk meteng (hamil) opo wani tanggung jawab, kowe ? “ kata Sutris.

“Asem tenan…ha..hahaha…jan pinter tenan kowe Tris. Cocok dadidukun percintaan modern…hahaha…” aku tidak bisa menahan tawa.

“Nah, sekarang pertanyaanku. Kalau Lyla yang baru saja diakui sebagai yayangnya Andre ini bagaimana menurut kamu, masih suci apa tidak,” tanya Kamal.

“Ayaak…kog menjurusnya kesitu. Ha iya jelas masih perawan to. Bener ndak, Tris. Awas, nek nganti bilang ndak prawan, tak antil (pukul) sampe ndlosor kowe,” timpalku.

“Ha..ha..ha…sungute njuk metu. Tak jamin masih ting..ting..lihat saja bibirnya masih merah merekah. Surabaya jalan ke Gresik, kalau ndak percaya dicoba disik…hihihihihi…” ujar Sutrisno.

“Gundulmu semplah kuwi, aku mau kalau suruh menjawab tapi menanggungnya, yo mengko disik….hehehehe…” kataku.

“Dasar penjahat kelamin kau, ” timpal Kamal.

“Yo ben, daripada penjahit kelamin,” dan obrolan tentang perempuan dan percintaan itu masih berlanjut sampai adzan Dhuhur bergema.

++++++++

Dan sekarang, usiaku dan Lyla sama-sama menginjak 40 tahun. Tapi wajah Lyla yang terpampang di profil jejaring sosial itu masih saja terlihat cantik. Malah bisa dibilang lebih matang dibandingkan ketika masih mahasiswi. Dan malam itu,aku coba beranikan diri menyapa dia lewat inbox massage:

Lama sudah kita tak bertemu

Sejak lepas dua hati yang berpadu

Rindu berat hati ini,

Tuk melepas bayang dirimu,

Dan aku berharap, ini bukan mimpi

Tapi kini, apa yang terjadi

Lelah sudah berharap kamu kembali

Mengisi relung hati ini

Mengingat masa indah lagi

Karena kamu sudah ada yang memiliki

Seandainya saja, tak terlepas cinta kita

Sekarang pasti kita kan bahagia

Namun masih ada

Kesempatan untuk kita, berbicara lagi tentang cinta

Harapan dan keinginanku

Tlah tumbuh tuk mewujudkannya

Asmara kita, untuk cinta kita

Your First Love

Berhari-hari aku tunggu jawaban atas pesan yang aku kirim kepadanya. Dan ternyata jawaban dia, sungguh membuat hati ini terasa pilu sekaligus menangis rindu :

Kucoba tuk melupakanmu

Namun, tak dapat berlalu

Rasa rinduku selalu mengharapkanmu

Kau pria idamanku, yang terbaik bagiku, terlalu munafik untuk berkata “tidak”

Pernah kukatakan kepada dia

Bahwa aku juga cinta kepadanya

Tapi apa yang terjadi, bahwa cinta tidak harus memiliki

Luka, hatiku kini

Rasa dendam membara di hati

Luka, hatiku kini

Ingin mendapatkan pengganti yang abadi

Your First Love Too

Dari situlah cerita cinta puber kedua itu dimulai. Kami saling berbagi cerita roman picisan masa lalu. Dimana masa-masa indah dalam memadu kasih kami lewati bersama penuh gairah dan rasa bahagia baik lewat pesan, chat, ber sms maupun saling bertelepon. Itu kami lakukan pada jam kerja, artinya kami hanya melakukannnya ketika kami yakin bahwa pasangan kami tidak berada disamping kami masing-maing. Tapi kalau rasa rindu ini menyerang, kami biasanya melakukan chat atau sms dengan mode silent sampai tengah malam. Kami benar-benar bisa lupa dengan diri sendiri yang masing-masing sebenarnya sudah menikah dan memiliki anak.

Ah rasa cinta benar-benar seperti virus yang melumpuhkan logika, seperti pagebluk (epidemi) yang menyerang perasaan. Yang ada hanyalah kesenangan, kebahagiaan dan kenyaman melebihi yang aku rasakan dengan istriku selama ini. Kami benar-benar menikmatinya seperti ketika masa remaja.

Masih segar dalam ingatanku, aku cium bibirnya didalam gedung bioskop Mataram. Dan pulangnya aku ajak mampir makan Tongseng di pasar Ngasem. Setelah makan, dia memandangi aku dan berkata, “Ndre, aku tidak bisa membayangkan menikah dengan lelaki lain selain dengan dirimu.”

Waktu itu, dadaku terasa kembung bangga, lalu aku kepalaku menunduk dan bibirku terkatup erat.”Aku merasakan sesuatu yang sama seperti yang kamu rasakan, Lyla ? Sungguh, aku mencintaimu. Sepertinya tidak ada perempuan lain yang mampu menggetarkan hatiku, hayah koyok yak-yak o wae, seperti pujangga jalanan yang merangkai kata-kata indah untuk mendapatkan pujian.Si mbok penjual Tongseng hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya mendengar obrolan kami.

Dan sungguh, aku tidak menyangka kalau malam itu adalah malam terakhir pertemuan kami. Aku tidak menyangka kalau keesokan paginya, ada telegram datang yang mengabarkan bahwa ibuku sakit keras dan aku harus pulang ke Surabaya, hari itu juga.

Seperti disambar petir perasaan dan tubuhku ini, dalam kondisi sakit keras, ibu memintaku dengan sangat agar aku mengawini anak perempuan satu-satunya Wak Karso, kawan bapakku ketika berjuang mengusir penjajah Belanda dari kota Surabaya.Karena ibuku ingin membalas budi baiknya Wak Karso yang sepeninggal bapakku almarhum, Wak Karso yang menyantuni keluarga kami. Bahkan, menurut ibuku, biaya kuliahku selama ini juga ditanggung oleh Wak Karso.

“Le, umur ibumu sepertinya tidak akan panjang lagi. Ibu mohon dengan sangat, kamu ikhlas menerima Nunung sebagai istrimu. Bapakmu almarhum pernah berwasiat kepada ibu, jika kamu lulus kuliah agar menikah dengan putrinya Wak Karso untuk menyambung tali silaturahmi dan balas budi kebaikan beliau kepada keluarga kita,” pinta ibu kepadaku waktu itu.

“Tapi, bu. Aku sudah punya pilihan sendiri. Tidak mungkin aku menikahi Nunung, yang aku anggap saudara sendiri.Nunung sudah aku anggap adikku sendiri,” kataku sambil menahan rasa dongkol atas permintaan ibu yang super kolot itu. Jaman sudah merdeka begini masih saja ada pemaksaan perjodohan dalam perkawinan.

Bagaimana mungkin aku menikahi Nunung, kawan sepermainku sejak kecil. Meskipun wajahnya manis, dan perkembangan badannya bagus sekali, tapi aku tidak mencintainya. Aku terlalu sayang kepada dia sebagai adik, sebagai sahabat.

“Nunung itu anak perempuan satu-satunya Wak Karso. Anaknya juga cantik dan pintar, lha wong dia lulusan PTN ternama.Agamanya juga baik. Aku lihat sholat wajibnya juga tertib. Perempuan kalau sholatnya tertib, pasti dia tidak akan macam-macam. Karena sholat itu menghalau perilaku yang keji dan mungkar. Apalagi orang tuanya kaya, terpandang dan tokoh dalam masyarakat di Kota ini. Istilah jawanya, bibit, bobot dan bebetnya sudah masuk,” Bulekku mencoba mencuci otakku dengan dalih status sosial dan ekonomi keluarga besar kami yang pasti lebih baik dari yang ada sekarang jika aku menikahi sahabat kecilku bernama Nunung.

“Bulek, bukan aku tidak patuh dengan perintah ibu. Aku sangat menyayangi ibu, karena dialah orang tua kami satu-satunya. Aku ingin membahagiakan ibu dan adik-adik. Tapi bukan dengan cara menjual diri saya kepada keluarga Wak Karso.”

“Hush..jaga ucapanmu itu, Ndre. Tidak ada orang tua yang tidak menginginkan anaknya bahagia. Kamu juga pernah diajarkan oleh guru ngajimu, kalau memilih istri itu pilihlah karena kecantikannya, kekayaannya, kepintarannya dan agamanya. Nunung memiliki kreteria itu, Ndre. Buat apa ibumu memilih mantu kalau hanya sugihnya saja. Toh ibumu juga tidak bisa menikmati kesugihannya itu, lha wong makan yang enak-enak saja dilarang dokter, takut kalau darah tinggi dan kolesterolnya naik. Kalau hanya cantik wajahnya, banyakNdre. Tapi belum tentu cantik hatinya. Perempuan kalau sudah merasa dirinya paling cantik, biasanya nganyih-nganyih, Ndre ? “

“Aku sudah punya pacar di Jogja, Bulek. Dia teman kuliahku. Aku sangat mencintai dan menyayangi dia. Bahkan aku sudah berjanji mau menikahi dia,” meskipun aku berdalih dan berpendapat apapun, ibuku dan keluarga besarnya tetap memohon aku untuk menikah dengan Nunung.

Dan pertahananku jebol juga, ketika aku diajak Paklekku untuk sekedar silaturahmi ke rumah Wak Karso. Ketika kami mengobrol di ruang tamu, muncul seorang bidadari cantik menyuguhkan the hangat kepada kami. Lima tahun tidak bertemu, Nunung sudah berubah menjadi perawan cantik berkulit kuning langsat. Senyumnya yang tersungging lembut seolah menembus kalbu.

“Wooo, ini Andre to ? Weleh-weleh, sudah dewasa sekarang. Gimana kuliahmu, lancar apa enggak,” tanya Wak Karso sambil menyalakan rokok kreteknya.

“Baik Wak, sudah hampir skripsi.”

“Kog kuliah lima tahun masih skripsi, Nunung saja baru sudah lulus sarjana Akuntansi. Mosok kalah sama dia…hehehehe…yo wis segera dirampungke. Biar cepat jadi sarjana….sarjana opo to kowe bakale,” Wak Karso memandangiku penuh tanya.

“Sarjana ekonomi, Wak.”

“Yo wis, sing penting dadi sarjana. Kalau sarjana ekonomi, sudah pasti harus pinter cari duit, iyo to Kang,” katanya sambil memandang ke arah Paklekku.

Yang membuat hati ini penasaran, kenapa ditengah-tengah obrolan kami, Nunung tidak muncul kembali sekedar ber ‘say hello’ kepadaku. Sampai kami berpamitan pulang, Nunung juga tidak terlihat batang hidungnya. Dan penampakan Nunung yang sesaat membuat hati ini mulai ragu akan kesetiaan cinta dan janjiku kepada Lyla di Jogja. Nunung tiba-tiba terlihat begitu sempurna di mataku.

Kondisi ibuku yang semakin hari semakin tidak baik kesehatannya, bulek memintaku untuk yang terakhir kalinya untuk melamar Nunung.

“Lamaran itu hanya formalitas, Ndre. Nunungitu sebenarnya suka sama kamu sejak SMP dulu, tapiya namanya perempuan, pasti malu untuk menyampaikannya. Bulek ini tahu dari sikapnya, Ndre. Dan Wak Karso sudah mengetahuinya, tinggal kamu saja. Coba kamu pikir lagi, ini demi menyelamatkan nyawa ibuku,” kata-kata terakhir dari bulekku itu yang akhirnya meluluhkan aku untuk menikah dengan perempuan yang bukan pilihanku. Meskipun pada akhirnya Ibuku tetap saja meninggal, walau perkawinanku dengan Nunung sudah dilangsungkan dihadapan pembaringan Ibuku yang sedang sekarat.

Perpisahanku dengan Lyla, hanya aku sampaikan melalui surat undangan perkawinan kami yang tiba-tiba. Aku mencoba menjelaskan semuanya dan meminta maaf atas kepadanya melalui puluhan surat yang aku kirim kepadanya. Meskipun semuanya tidak terbalas sampai sekarang.

Sejak menikah, aku tidak pernah bisa menemukan keberadaan Lyla. Seolah dia menghilang ditelan bumi. Sudah aku coba mencari ke kost maupun aku datangi ke rumahnya di Semarang. Hasilnya nol. Lyla, tidak pernah aku temukan. Dan dengan perasaan sedih aku harus mengakui bahwa perempuan sesempurna Lyla pun suatu ketika akan melupakanku.

++++++

Betapa darah ini mengalir kencang keseluruh tubuhku, ketika pertama kali aku dengar suara Lyla melalui handphone ku. “Apa kabar, Ndre ? Sehat dan aku harap kamu berbahagia dengan pilihan ibumu tercinta itu,” awal ejekan yang menyakitkan buatku. Bayangkan, lima belas tahun kami tidak bertemu, baru kali ini aku dengar suaranya meskipun lewat HP.

Hai, Lyla. Lama kita tidak bertemu. Apa kabar juga dirimu ?” tanyaku

“Aku sehat dan hanya sebagai ibu rumah tangga biasa. Suamiku pengurus partai dan anggota dewan perwakilan rakyat.Sangat sibuk dengan urusannya sendiri. Jadi ya kerjaku mengurus anak-anak di rumah dan mengurus suami, jika dia pulang,” jawaban itu terdengar menyedihkan, hampa makna.

Wah, hebat ya Parno. Ya ndak pa pa to namanya juga wakilnya rakyat, pasti sibuk banget yo ? Itu kan pekerjaan paling mulia dibandingkan pekerjaan apapun di dunia ini,” kataku.

“Ah, ngece kamu. Istri kamu bagaimana ? berapa anakmu,” tanyanya.

“Istriku baik-baik saja. Dia pegawai negeri di kantor gubernur.Anakku dua, yang satu SMP kelas tiga dan yang kecil kelas 4 SD. Laki semua ,” kataku.

“Selamat, ya! Mudah-mudah harmonis, sukses selalu dan murah rejeki. Ndre, aku tidak bisa membayangkan kamu ternyata bisa menikah dengan perempuan lain selain dengan diriku,”kedengaran tulus, tapi di hatiku kata-kata itu sungguh mengiris kalbu.

“Lyla, maafkan aku. Sungguh, aku tidak bermaksud membuat dirimu terluka oleh pernikahanku,” kataku via handphone.

“Yeee…GR. Siapa yang terluka ?” jawabnya manja.

“Kamu bahagia dengan Parno ?” tiba-tiba saja mulutku tidak bisa aku rem untuk menanyakan keadaan dirinya. Seolah-olah aku masihlah pacarnya yang selalu mengkhawatirkan keadaannya.

“Yup, aku bahagia. Kamu sendiri, bagaimana dengan istri kamu ? “

“Eee….begitulah. Dia terlalu manja dan terlalu banyak menuntut,” ah..kenapa aku harus berbohong hanya sekedar mendapatkan simpatinya.

“Kenapa begitu, wajar kan kalau istri manja dan menuntut sesuatu kepada suaminya. Kalau enggak sambat sama suami terus mau sambat sama suaminya orang apa.”

“Ah, bisa aja kamu. Bukan begitu maksudku, dia banyak menuntut sesuatu yang aku tidak mampu memenuhinya. Aku kalah power dengan dia, karena latar belakang kami yang berbeda,” untuk kedua kalinya aku berbohong kepada Lyla tentang istriku. Sekali lagi hanya untuk mendapatkan simpati dari dia.

“Bisakah kita bertemu, Ndre ? Setidaknya untuk berbagi cerita nostalgia kita. Sudikah kamu terbang ke Bandung menemuiku ? “ sesuai dugaanku dia langsung simpati kepadaku.

“Suamimu ? Anak-anakmu bagaimana ? Terus kita ketemu dimana ?” tanyaku seolah peduli saja dengan keluarganya.

“Suamiku terlalu sibuk dengan partainya, apalagi bulan-bulan ini dia rajin-rajinnya turba ke daerah-daerah untuk kampanye pencalonan dirinya sebagai legislatif untuk kedua kalinya di tingkat propinsi. Anak-anak, aman, ada pembantu di rumah. Dan kita ketemuannya kan tidak di rumahku ? “ jelasnya.

“Lalu, kita ketemu dimana ? “

“Nanti aku kasih tahu kalau kamu sudah sampai Bandung. Jangan lupa, telepon aku sebelum berangkat. Aku jemput di bandara,” katanya.

Malam itu aku tidak bisa tidur membayangkan pertemuan kami nanti. Rasanya seperti remaja yang sedang dimabuk asmara. Aku sadar kalau aku bukan remaja lagi dan seharusnya aku lebih bisa menguasai diriku sendiri. Tapi aku tak bisa membohongi hatiku. Kehadiran Lyla membangunkan lagi semua harapan dan khayalan yang kukira telah lama lenyap. Tapi masih adakah kemungkinan antara aku dan Lyla untuk melanjutkan kisah cinta yang belum tuntas kami jalani sewaktu kuliah dulu?

Padahal aku sebelumnya mengira , kalau aku telah menikah dan segalanya telah berakhir. Yang dia tidak ketahui, pernikahanku dengan Nunung sebenarnya adalah perkawinan yang bahagia dan sulitkusudahi kapanpun aku mau. Karena aku mencintainya sepenuh hati.Seandainya Nunung tahu, apakah segalanya akan berbeda? Apa pendapatnya kalau aku menceritakan semua padanya? Apakah dia cemburu ? Atau aku yang brengsek, bermain hati dengan perempuan lain yang tidak halal bagiku.

Tapi pikiran dan perasaan ini rasanya tidak bisa lepas dari Lyla. Meskipun apa yang kuharapkan bersamanya mustahil terjadi.Tapi gejolak jiwa ini terus meronta untuk meminta bertemu dengan dia. Aku merasa sangat lancang karena mencintai perempuan yang kini sudah menjadi istri pria lain. Mungkinkah perjumpaanku dengan Lyla akan memberikankukesempatan keduauntuk mendapatkannya kembali? Aku ingin kembali kepadanya. Tapi bagaimana mungkin ? Mustahil ? Ah..kenapa tidak aku coba untuk menerjang badai.

++++++

Dan esok harinya aku berpamitan kepada Nunung dan kedua anakku, bahwa aku ada meeting ke Bandung beberapa hari. Seperti biasanya, aku cium kening dan kedua pipi istriku dan kedua anakku. Aku langsung go show beli tiket di bandara Juanda. Setelah check in, aku telepon Lyla dan mengatakan kalau aku akan berangkat dengan penerbangan pagi.

Ketika pesawat yang aku tumpangi landing di Bandara Husein Sastranegara, jantung ini berdetak semakin kencang. Aku yakin wajahnya masih secantik di foto yang aku download dari internet.

“Andree sayang…” panggilan suara itu tidak asing bagiku. Sama persis seperti panggilan Lyla ketika kami masih pacaran di bangku kuliah dulu.

“Lyla…..”aku berlari menghampiri perempuan cantik berbalut busana perempuan modern dan kami berpelukan. Meski kagok karena lama tidak bertemu tapi hangat sekali aku rasakan, dan aku enggan melepaskannya karena rasa rinduku yang mendalam pada dirinya.

“Kamu tidak berubah, sayang ? “ kata Lyla sambil menatap wajahku.

“Kamu agak gemuk sekarang, tapi masih tetap cantik kog,” kataku dan dia membalas dengan mencubit pinggangku dengan jemari tangan kanannya.

“Kita ngopi dulu apa langsung jalan ? “tanya Lyla.

“Aku kan tamu disini, ya tergantung tuan rumah, dong ? “

“Hahaha….sebaiknya langsung jalan saja, nanti ketahuan wartawan bisa gawat. Tahu sendiri kan, wartawan suka berita yang jelek-jelek. Mottonya aja‘bad news is good news’,” katanya.

“Ngecee..yo…..

Hahahaha…..sorry, sorry. Aku lupa kalau kamu ini redaktur tabloid mingguan. Bagaimana kalau kita booking di Savoy hotel. Setuju ? “ ujarnya dan itu membuat detak jantungku semakin tak teratur.

“Kamu bilang kita, artinya kamu dan aku ? “ tanyaku memastikan perkataan Lyla barusan.

“Iya, kamu dan aku. Memang kenapa ? nggak suka ya ? Jangan berubah jadi alim gitu dong ?“ timpalnya dan bibirku terkatup tak bersuara sambil aku ikuti langkah kakinya menuju parkir mobil sedannya.

Aku yang nyetir ? “ kataku menawarkan diri sambil aku matikan tombol off HP ku.

“Aku saja, kamu kan jarang ke Bandung. Ntar kesasar ? “ katanya cengengesan.

Pertemuan yang sungguh menyenangkan. Tidak bisa aku pungkiri, aku sangat bahagia hari ini bertemu dengan Lyla lagi. Dan aku sepertilelaki merdeka yang terlepas dari kandang rumah tangga. Aku merasa tidak memiliki istri dan anak-anak. Ah, sungguh setolol inikah yang namanya mengumbar rasa cinta. Sepanjang perjalanan kami mengobrol tentang masa lalu, masa indah sewaktu berpacaran dan bercerita nostalgia mengenai tempat-tempat yang pernah kami kunjungi berdua.

“Kamu ingat enggak, dimana kamu pertama kami mencium bibirku,” kata Lyla

“Hahaha…baru aja ketemu kog tanya begitu ? pasti ingat dong ? di dalam gedung bioskop Mataram, kan ? untung waktu itu kita dapat kursi di belakang sendiri.”

“Hehehehe…dan untungnya penontonnya sepi. Sepertinya rasa itu masih tersisa di bibirku, Ndre.”

“Ah..bisa aja. Kan sudah ada yang menggantikannya secara teratur ? “

“Tapi rasanya lain dengan ciuman pertama…hihihihi.”

“Rasanya manis, asem, kecut ya…hahahaha….” kali ini tinjunya Lyla mendarat di lenganku. Aku melihat senyumnya masih manis seperti dulu. Kenapa birahi ini tiba-tiba saja menyerang kejantananku. Tapi hati kecil ini meneriakinya,” Hush…jangan tergoda nafsu. Ingat, dia tidak halal bagimu.”

“Ndre, maafkan aku kalau sampai saat ini aku masih terus mencintaimu,” ucapnya tanpa ekpresi, tapi aku bisa rasakan dari intonasinya kalau Lyla sedang bicara serius.

“Ya boleh lah, kita saling mencintai meskipun tidak bisa memiliki. Ingat,di KTP kita masing-masing status kita adalah kawin, sayang ? “ aku mencoba bersikap dewasa menanggapi pertanyaan dia.

Tapi, bisakah kau menghentikan badai cinta, sayang? “ ujarnya.

“Sejujurnya, saat ini aku tidak kuasa menahan suara gemuruh cinta juga di hatiku sendiri. Aku ingin kembali bersamamu, selamanya.

“Ah, gombal kamu. Darimana kamu dapatkan kalimat romantis itu ? “

“Dari beberapa novel yang aku download dari internet.”

“Pantas, kurang bijak. Lha wong novel bajakan, pasti nggak bayar pajak…hehehehe…”

“Aku serius, sayang ? “

“Dan itu mustahil. Iya, kan ? “

“Tergantung.”

“Maksudnya ? “

“Ya, tergantung kita bagaimana membawa kisah cinta kita ini menjadi happy ending untuk kita berdua. Ya pintar-pintarnya kita lah.”

Dan tidak terasa, mobil sedan yang kami tumpangi sudah sampai di hotel Savoy. Lyla tidak perlu membuka bagasi mobilnya karena aku hanya membawa satu tas punggung yang aku isi sedikit baju dan laptop.

“Mau check in atas nama Andre Sukamad, kemarin sudah booking,” kata Lyla kepada resepsionis hotel.

“Kamar 369, silahkan,” kata resepsionis sambil memberikan kunci kepada Lyla.

Kenapa kamu menikah dengan Parno?” tanyaku sambil berjalan mengikuti roomboy hotel.

“Kenapa ? Ada yang salah dengan Parno ?

“Seingatku, dia bukan lelaki tipemu.” Jawabku sekenanya.

Memang kamu tahu tipeku lelaki yang bagaimana?”dia bertanya balik kepadaku dan aku jawab dengan gelengan kepala.

Karena Parno mencintaiku dan sanggup membahagiakan aku ,” bisiknya pelan ke telingaku.

“Apa kamu mencintainya,” tanyaku dan Lyla membisu tidak menjawabnya.

“Apa kamu bahagia?” tambahku sambil aku tatap matanya.

Kadang-kadang. Kamu sendiri, kenapa waktu itu kamu tinggalkan aku dan menikahi Nunung ?

“Aku tidak ada pilihan, Ibuku sekarat dan desakan keluarga agar aku menikahi Nunung untuk kesembuhan ibu. Aku menyesal, aku minta maaf, sayang.”

“Apa kamu juga bahagia ? “

“Ya, kadang-kadang senang, kadang-kadang sedih. Tapi aku tidak bisa melepas bayangan dirimu, Lyla,” kataku meyakinkan Lyla agar tidak terlihat kalau aku sebenarnya sedang berbohong. Nunung dan anak-anak adalah harta kekayaanku yang tidak ternilai harganya. Ah, kenapa aku harus memikirkan mereka, bukankah aku sedang menjalani sebuah kisah cinta nostalgia.

“Benar, kamu kadang-kadang juga bahagia ? Aku nggak yakin tuh. Lelaki kalau ada maunya, pasti ngelakuin apa aja untuk menyenangkan orang yang dicintainya, meskipun itu bo’ong..hehehehe..” ledeknya.

Dan kami memasuki kamar suite room dengan satu tempat tidur yang lumayan nyaman. Lyla, duduk di kursi dekat televisi sambil mengamati aku yang berguling-guling mencoba tempat tidur kamar hotel.

“Ndre, jangan salah sangka tentang maksud aku. Aku benar-benar masih mencintai kamu. Aku kangen banget sama kamu,”kata Lyla sambil berdiri dan berjalan menuju ke arahku. Desiran darahku semakin kencang mengalir, libido kelelakianku tiba-tiba saja meningkat mengikuti andrenalin otakku. Lalu kami berciuman lama sekali dan dilanjutkan dengan mengurai birahi. Hingga tidak terasa waktu sudah memasuki sore hari.

“Iya pa, ini lagi jalan sama teman arisan. Papa dimana, kapan pulang ? Miss you, pa. Love you,” Lyla menutup HP nyadan berjalan ke kamar mandi.

“Telpon dari Parno, ya ? “ tanyaku.

“Iya, kenapa sayang ? “ Lyla menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap kepadaku tanpa kain selembarpun.

“Kedengaranya sangat romantis.”

“Hehehe…cemburu ya ? Biar dia nggak curiga, sayang ? “ dia membalikkan tubuhnya dan berlalu ke kamar mandi.

Dan sore itu kami lalui dengan penuh kesenangan dan kebahagiaan. Masa indah semasa remaja seperti terulang lagi. Kami jalan berduaan, bergandengan tangan, dan tidak lupa tanganku melingkar di pinggangnya, seolah enggan aku lepaskan. Kami susuri lorong Ciwalk dan tidak terasa kami sudah terhenti di Starbuck. Kami putuskan untuk duduk sejenak menikmati secangkir kopi supermahal di dunia.

“Ndre, kamu pernah baca novel supernova karya dewi lestari ? “ katanya seraya menyalakan rokok mild mentol yang terselip dibibirnya.

“Kamu perokok ? “ dia hanya mengangkat bahunya.

“Sekarang sudah jaman persamaan gender, Ndre. Disini biasa, perempuan merokok. Buat diet juag buat menenangkan pikiran , biar nggak bete,” jawabnya senteng.

Aku hanya memandanginya dengan penuh keheranan. Dulu ketika kami pacaran, rokokku selalu dimatikannya diatas asbak. Dia bilang nggak suka dengan asap rokok.

“Heh..kog bengong, sudah pernah baca belum ? Mosok redaktur ada waktu membaca cerita yang dahsyat itu.”

“Sudah, kenapa ? Dahsyat yang mana ? Hubungan Fere yang masih jomblo dengan Rana yang sudah bersuami itu yang kamu maksud dengan dahsyat ? “ heran aku, cerita perselingkuhan begitu dibilang dahsyat.

“Iya. Kamu tahu enggak, kalau sebenarnya rasa cinta itu bisa menyerangdan datang tanpa disangka kepada siapa saja yang dikehendakinya ? Baik yang sudah punya pasangan maupun belum.”

“Ah..kamu terbawa cerita novel itu ya.”

“Tapi bener lho, cinta itu seharusnya membebaskan, bukan membelenggu atau menakutkan. Karena rasa cinta itu, sebenarnya tidak bisa dibatasi oleh norma, agama, adat atau aturan moral lainnya.Love is nature, alamiah dan mengalir apa adanya,” aku bertambah bingung dengan ucapan Lyla yang seperti itu.

“Maksudnya,” aku butuh penjelasan yang lebih detail tentang ucapannya itu.

“Aku ingin kamu menikahi aku. Tanpa harusmeninggalkan pasangan kita masing-masing. Aku ingin, ketika kita berdua, kita bisa merasakan kebebasan mereguk cinta kasih kita tanpa terganggu dan terbelenggu dengan rasa takut kepada bayangan suami atau bayangan manja anak-anakku. Gimana menurut kamu ? “ ide gila yang disampaikan denganpenuh kelembutan dengan sorot mata yang sejuk dipandang. Ah, gila. Benar-benar edian. Danbibirku terkunci, tidak tahu apa yang harus aku jawab. Apa yang harus aku katakan.

“Mana mungkin pernikahan itu terjadi ketika kita masih terikat dengan perkawinan dengan pasangan kita ? Ngaco, ah ?”

“Kenapa tidak ? Pasangan kita harus disadarkan kalau aku dan kamu ini saling mencintai dan merasakan bahagia kalau sedang bertemu. Harusnya mereka mendukung dong, masak bikin pasangan bahagia enggak mau ? Itu namanya nggak sayang dan nggak cinta dong ? Itu namanya membelenggu cinta kita....hahahahaha......”

“Sudah malam Lyla, sebaiknya kamu pulang. Besok pagi kamu jemput aku ke hotel ya, sayang ? “ aku mencoba mengalihkan pembicaraan kami mengenai perkawinan.

“Yup, aku antar kamu ke hotel and I am going home tonight. Eit..nggak terasa sudah hampir jam sebelas malam ya. Ayuuk..jalan,” katanya sambil menarik tanganku.

+++++

Di kamar hotel, tiba-tiba saja aku merasa galau dengan perkawinanku yang aku jalani bersama Nunung selama 15 tahun. Seharusnya hubungan perkawinan kami lebih dewasa, dibandingkan usia perkawinan para artis yang hanya seumur jagung. Inikah namanya cinta puber kedua ?

“Assalamu’alaikum, gus. Pripun kabare,” entah kenapa tanganku tanpa sengaja memencet nomor HP Gus Umar, kawan baikku. Dia bukan saja pencerah bagiku, tapi juga kawan-kawan lain yang sedang dirundung kesumpekan.

“Tumben pake salam segala, Ndre. Kog gak koyok biasae, yok opo kabare. Nang endi, Kon ? (Koga enggak seperti biasanya, gimana kabarnya. Dimana kamu ? ) “ jawabnya.

“Di Bandung, gus. Aku ini mau konsultasi tentang cinta lama yang bersemi kembali. Dan sepertinya, aku ini sedang mengalami puber kedua. Intinya, aku saat ini sedang jatuh cinta dengan mantan pacarku sewaktu kuliah dulu, Gus. Menurut riko, yok opo, Gus.”

“Hehehehe….iso ae. Ya menurutku kalau aman terkendali ya dilanjut saja, tapi…..ini ada tapinya lho. Boleh kamu teruskan kalau melalui prosedur yang baik, benar dan halal. Kalau boleh tahu, dia masih perawan atau janda ? “

“Dia statusnya istri orang, Gus. Lha aku ini bingung, karena dia mengajak aku untuk meninggalkan istriku dan kawin dengan dia. Rasanya ndak mungkin, Gus, kalau aku meninggalkan istri dan anak-anakku dan kawin dengan mantan pacarku,” tiba-tiba saja kecantikan dan kebaikan istriku, menyeruak dalam benak dan pikiranku.

“Apa dia juga juga berencana mau meninggalkan suami dan anak-anaknya ?”

“Benar, Gus.”

“Hati-hati lho, Ndre. Di dalam perempuan, bersatu kekafiran, baik dari generasi terdahulu maupun generasi sekarang. Umumnya mereka dikuasai kebodohan dan hasrat jahat. Maka dari itu, perempuan harus dikendalikan dengan tali keshalehan yang kencang. Aku beritahu ya, Ndre. perempuan, diakui atau tidak, sarat dengan muslihat. Meski kaum pria juga tidak lepas dari yang demikian, perilaku ini lebih lekat kepada kaum hawa. Suka melemparkan kesalahan kepada orang lain dan pintar berdalih. Di dunia ini ada tiga jenis mahlukdi dunia ini, jika kamu menghormatinya maka kamu akan diremehkannya. Tapi kalau kamu meremehkannya, maka dia akan menghormatimu. Ketiga mahluk itu adalah perempuan, orang asing dan budak,” jelas Gus Umar.

“Tapi dia merasa tidak bahagia dengan suaminya. Aku juga merasa bahagia ketika dekat dan bertemu dengan dia. Hati dan perasaan ini terasa nyaman bersama dia, Gus. Lain dengan istriku di rumah..hehehehe….”

“Wong lanang yo ngono iku, pas manten anyar ae ngomonge ambune keringete bojone wangi, entute koyo minyak kasturi. Bareng wis dirabi limolas taun, eee…embelgedes..sing jarene keringete penguk, entute mambu tengik, ababe koyok bathang tikus..hahahaha. Wis lali karo rumuse minakjinggo yo, Ndre….hahahaha…” (Orang laki-laki ya gitu itu tabiatnya, ketika kemanten baru saja bilangnya bau keringat istrinya wangi, bau kentutnya seperti minyak kasturi. Setelah menjalani pernikahan limabelas tahun, eeee….gombal...yang katanya keringatnya bau tidak enak, kentutnya tengik, bau mulutnya kayak bangkai tikus……hahaha… sudah lupa dengan rumus minakjinggo yo, Ndre…)

“Opo Gus, rumus minakjinggo,”

“Miring nggih kepenak, njengking nggih monggo….hahahaha….” (Miring ya enak, nungging ya monggo)

“Hahahaha…bisa aja, Gus Umar ini. Terus gimana kelanjutannya hubungan kami, Gus. Aku sudah kadung jatuh cintrong e, yok opo iki,” desakku dengan harap Gus Umar memberikan suara dukungan kepadaku.

“Kalau bekas pacarmu itu tidak bahagia menjalani kehidupan dengan suaminya, kenapa masih mempertahankan tali perkawinan mereka ? “

“Alasannya karena anak-anak, Gus. “

“Lha kalau selingkuh dengan kamu, apa dia tidak berpikir dan berhitung tentang perasaan anak-anaknya? Itu egois, namanya. Mempertahankan perkawinan karena alasan anak-anak, tapi selingkuh, hihihi…yo sama juga bohong,” jawaban Gus Umar serasa menghantam kepalaku. Aku merasa tersindir dengan ucapan Gus Umar.

Lalu Gus Umar menambahkan, sebaiknya aku tanya pada diri kami sendiri, apa kami benar-benar saling mencintaiatau hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa kami benar-benar saling membutuhkan atauhanya ingin mengulangkeindahan masa pacaran kami dulu? Kalau hanya itu yang kalian inginkan, kalian akan kecewa kalau terus bersama. Karena kamu dan mantan pacar kamu itu, sekarang sudah berubah menjadi orang-orang yang memliki karakter danwatak pribadi yang berbeda. Kalian sudah lebih dewasa, bukanlagi remaja yang masih hijau.”

“Tapi…kami tidak bisa melenyapkan rasa cinta itu dari hati kami masing-masing…”

“Kalian itu terlalu egois, mau minta menang dan senangnya sendiri saja. Kalian tidak berpikir, sudah belasan tahun kalian mengarungi bahtera rumah tangga. Aku yakin kalian lebih mengenal pasangan kalian seutuhnya daripada mengenal diri kalian berdua yang baru saja bertemu. Apa kalian tidak memperhitungkan perasaan anak-anak dan pasangan hidup kalian yang sah menurut agama dan negara itu.”

“Mantan pacarku ini bilang, dia hanya mencintai aku, Gus. Apalagi setelah bertemu dengan aku. Rasa cintanya kepada suami dan anak-anaknya berkurang.”

“Halah, itu hanya kesenenangan sesaat. Hanya sak klebatan, hanya permukaannya saja. Percaya padaku. Coba kamu pikir, mengapa dulu mereka menikah kalau tidak saling mencintai. Apa karena keadaan yang memaksa mereka harus menikah ? “

“Iya, Gus. Keadaan. Dia tidak punya pilihan selain harus menikah dengan suaminya yang sekarang.”

“Jangan salahkan keadaan lah, harusnya mereka bisa merubah keadaan, lha wong mereka punya akal kog. Punya rasa, punya cinta, punya kasih sayang. Kalau rasa itu dipupuk, tentu akan tumbuh subur yang namanya keharmonisan. Orang yang selalu menyalahkan keadaan ketika keinginannya tidak terpenuhi , orang itu perlu dikasihani. Karena dia adalah termasuk orang yang tidak tahan banting menghadapi kenyataan hidup.”

“Terus, bagaimana nasib kami, Gus ?”

Kalau aku sarankan, kamu tinggalkan mantan pacar kamu itu, siapa tahu dia belum menemukan cara saja untuk menjadikan perkawinanannya bahagia. Kalau dia meninggalkan suaminya,

aku juga tidak menjamindia akan bahagia dengan orang yang hanyamengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya yang sudah mendampinginya selama belasan tahun.”

“Ya Gus, matur suwun. Salamu’alaikum,” aku sudahi saja pembicaraan via handphone ku dengan Gus Umar. Kalau diteruskan, aku merasa seperti diadili bahwa apa yang aku lakukan ini sungguh bukan hanya menyakitkan istri dan anak-anakku, tapi juga suami dan anak-anak Lyla.

Gusti Allah nyuwun ngapuro, ternyata tanpa sengaja aku telah menyakiti dan mengkhianati dua keluarga. Keluargaku sendiri dan keluarga Lyla.

++++

Pagi-pagi, ketukan pintu membangunkan aku dari tidur lelapku. Aku lihat jam weker di meja menunjukkan pukul 06.30 WIB. Zonder mampir ke kamar mandi, aku langsung buka pintu kamarku.

”Pagi, sayang ?” kecupan dipipi kanan dan kiriku dari bibir Lyla menyambut pagiku. “Iiih..bau. Sikatan sana gih, ini aku bawain bubur ayam. Kita sarapan bareng ya, say ? “

Tanpa menjawab satu patah katapun aku langsung masuk ke kamar mandi, gosok gigi dan mandi pakai sabun wangi.

“Oke, sudah rapi dan sudah wangi, mari kita breakfast bareng,” kataku.

“Kog wajah kamu masih terlihat kusut begitu, sayang. Senyum dong.”

“Hhhrg..” aku sunggingkan senyumku sepintas.

“Gitu, dong. Eh..sejak kedatanganmu kemarin, aku belum memuji kamu ya. Kamu tambah ganteng lho. Kelihatan tambah bijaksana, gitu.”

“Makasih, kamu juga masih tetap cantik. Bagaimana anak-anak, siapa yang mengantar ke sekolah ? “

“Siapa dulu dong ? Calon nyonya Andre. Anak-anak ke sekolah pake jasa antar jemput, sayang.”

“Suami kamu, aku perhatikan dari kemarin kog enggak telpon ke HP kamu ? “

“Halah, kenapa ngomongin dia sih. Dia nggak mungkin telepon, lha wong sim cardnya aku simpan di dompetku…hihihi..”

“Hehehehe….mulai nakal ya.”

“Paling dia telpon ke rumah. Ntar aku bilang kalau HP ku batereinya drop, buat internetan. Beres, kan.”

“Dia enggak cemburuan ? “

“Aku rasa semua suami yang sayang sama istrinya pasti punya lah rasa cemburu. Kalau kamu sendiri, gimana ? “

“Ya sama sih, cemburuan juga.”

“Katanya, enggak bahagia, kog masih cemburu sama istrimu ?”

“Enggak tahu, mungkin job diskripsi sebagai suami memang harus begitu kali.”

“Kalau dengan perempuan, hindari kecemburuan yang berlebihan. Boleh sih, cemburu tapi harus tetap kontrol. Kalau kamu seorang pecemburu dan kehilangan kontrol, aku jamin istrimu akan menurunkan ketertarikannya kepada kamu. “

“Begitu, ya ? “

“Bagi perempuan, pecemburu itu bukan karakter laki-laki sejati. Pecemburu itu menandakan laki-laki yang tidak percaya diri, rendah diri. Betul, kan ? “

“Enggak juga, cemburu itu bentuk rasa cinta dan kasih sayang dong.”

“Hehehe…kalau cinta dan sayang kog ngambek, kalau benar cinta dan sayang harusnya justru didukung dong kalau istrinya mau selingkuh..hahahahaha…”

“Edan kamu, itu namanya suami kentir. Terus, apa lagi yang disukai istri terhadap suaminya.”

“Jangan sebut istri dong, sebut saja perempuan. Tahu enggak kalau, apa yang menyebabkan sebagian besar perempuan itu bisa tergila-gila dengan lelaki.”

“Enggak tahu.”

“Rahasianya adalah jika pria itu memiliki karakter percaya diri, suka tantangan dan bisa mengontrol emosinya. “

“Yang aku tahu, perempuan itu penuh dengan misteri. Lebih suka menyembunyikan perasaan untuk melindungi hatinya. Dan perempuan lebih pandai berakting dibandingkan lelaki. Dia lebih cepat menangis, tapi dalam sekejap dia bisa tertawa terbahak-bahak ketika menerima telepon atau sms dari temannya. Apalagi teman tapi mesranya..hehehee…..Perempuan itu lebih suka romantis dan sanjungan. Dan yang aku tahu, perempuan cantik seperti kamu ini lebih menyakinkan dibandingkan perempuan manapun didunia ini,” kataku menyanjung.

“Halah gombal, pada akhirnya juga menikah dengan perempuan lain bukan denganku. Hmpir semua perempuan rata-rata lebih suka tipe lelaki yang gentleman. Gentleman adalah tipe laki-laki sejati, itu menurutku. Gentleman bisa mengerti perasaan perempuan, gentleman bisa diandalkan sebagai pelindung dan pemecah solusi persoalan, dan mampu membuat perempuan merasa nyaman aman dan keduman jika berada disampingnya,” katanya sambil terbahak-bahak.

“Hehehehe…kalau kamu merasa nyaman, apa enggak jika bersama aku ? “

“Nyaman, aman, dan senang. Tapi dengan catatan asal pasangan kita tidak mengetahui hubungan kita ini…hahahaha…” kali ini tertawanya semakin menjadi.

“Yang tidak nyaman, kalau pulang istri menggeledah inbox sms dan menginterogasi daftar panggilan keluar dan masuk. Iya enggak.”

“Memang istri kamu sering begitu ? “ tanya Lyla sambil mengutak atik HP Blackberry nya.

“Enggak sering sih, tapi pernah.”

“Ndre…”

“Iya…sayang”

“Kita jadi menikah, kan ? “ tanya Lyla sambil menatap mataku dalam-dalam.

“Kamu serius? “ aku balik bertanya.

“Tergantung jawaban kamu. Sesuai dengan harapan aku atau tidak. Aku mohon, kamu jawab dengan jujur. Aku benci kebohongan.”

Aku tarik nafasku dalam-dalam dan aku keluarkan perlahan-lahan,”Sejujurnya, aku sangat bahagia dengan istriku dan anak-anakku. Meskipun pada tahun pertama pernikahan kami, aku sangat sulit melupakan bayangan dirimu. Banyak penyesalan dan perasaan bersalah kepada kamu. Aku tidak tahu, kenapa perasaan ini berkecamuk lagi ketika kamu muncul secara tiba-tiba di Facebook ku. Tiba-tiba aku merasa kehausan akan cinta dan kasih sayangmu. “

“Ndre, aku ingin kamu jujur, aku yakin kamu tidak bahagia kan bersama istrimu. Karena rasa cinta dan kasih sayang yang kamu harapkan hanya ada padaku. Aku sendiri merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan, ketika tahun pertama pernikahanku dengan Parno. Hidupku terasa hambar tanpa dirimu, Ndre.”

“Tapi kamu bisa punya anak sampai empat. Mana mungkin tanpa perasaan cinta, perkawinan kamu bersama Parno bisa langgeng sampai sekarang.”

“Enggak, Ndre. Aku merasa tersiksa menikah dengan politisi. Dari awal perkawinan, aku mencoba untuk mengikuti kemauan dia. Aku mencoba taat menjadi makmum dan dia imamku. Kehidupan ekonomi dan sosial kami tidak sebaik sekarang. Dulu, ketika kehidupan ekonomi kami pas-pasan, Parno benar-benar menjadi sosok hero dalam rumahtangga kami. Dia begitu sayang kepadaku dan juga kepada anak-anak. Bahkan dia sering mendongeng sampai anak-anak tertidur . Tapi sejak dia menjadi anggota dewan yang terhormat, keharmonisan rumah tangga kami mulai terganggu. Benar, ekonomi kami semakin membaik, tapi dia jarang pulang tanpa alasan. Jika aku telpon, dia selalu menjawab dengan alasan sibuk. Lama-lama aku bosan dan tidak pernah peduli dia ada dimana. Terkadang seminggu sekali dia baru pulang. Entah apa yang dikerjakan, yang aku tahu dia sering mondar-mandir Bandung – Jakarta.”

“Lalu karena itu kamu merasa kesepian dan mengundang aku kemari? “

“Bukan itu maksudku, Ndre. Aku butuh kamu karena aku ingin meneruskan cerita cinta yang pernah kita rajut bersama. Disamping aku sangat rindu kepadamu,” kami beradu pandang lama sekali. Aku bingung, apa yang harus aku jawab tentang tawaran menikah dengan mantan pacar yang sekarang masih sah menjadi istri orang.

Nasehat Gus Umar kepadaku terlintas dalam pikiranku secara tiba-tiba,”Salah satu sifat istri shalihah yang menandakan bagusnya interaksi kepada suaminya adalah berkhidmat kepada sang suami dan membantu pekerjaannya sebatas yang ia mampu. Ia tidak akan membiarkan sang suami melayani dirinya sendiri sementara ia duduk berpangku tangan menyaksikan apa yang dilakukan suaminya. Ia merasa enggan bila suaminya sampai tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rumah, memasak, mencuci, merapikan tempat tidur dan lain sebagainya, sementara dia masih mampu untuk menanganinya. Sehingga tidak mengherankan bila kita mendapati seorang istri shalihah menyibukkan harinya dengan memberikan pelayanan kepada suaminya, mulai dari menyiapkan tempat tidurnya, makan dan minumnya, pakaiannya, dan kebutuhan suami lainnya. Semua dilakukan dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati disertai niat ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan sungguh ini merupakan bentuk perbuatan ihsannya kepada suami, yang diharapkan darinya ia akan beroleh kebaikan dunia dan akherat.”

Dan rasa berdosa itu menusuk perasaan dan otakku. Aku sadar betul bahwa Nunung bukanlah istri yang sibuk dengan dirinya sendiri. Istriku selalu peduli dengan suami dan anak-anak. Istriku selalu tabah menerima semua keadaan yang kami jalani bersama, susah maupun senang. Istriku tidak pernah mengeluh dengan kenyataan hidup sepahit apapun yang mendera keluarga kami. Lalu kenapa harus aku berlaku demikian hanya untuk mengumbar nafsu asmara ?

“Maafkan aku Lyla, aku tidak bisa. Mustahil kita jalani perselingkuhan ini dengan menikah. Nunung adalah istri yang setia, taat beribadah, perhatian kepada anak-anak, tidak pemalas, sangat sayang kepadaku dan anak-anak. Dia sabar dan sesulit apapun kondisi keluarga kami, dia tidak pernah mengeluh. Dia selalu menjadi penyejuk hatiku ketika perasaanku terbakar amarah. Dia selalu menjadi pembakar semangat ketika aku terpuruk tak berdaya. Terus terang, aku bingung,” intonasi suaraku aku atur selembut mungkin agar tidak menggugah emosi dia.

“Lalu ? “ pandangan dia semakin tajam kepadaku

“Tanpa mengurangi rasa cinta dan kasih sayangku kepadamu, juga rasa hormatku kepada suamimu, aku mohon, kita harus sudahi hubungan cinta sesaat kita ini. Aku sungguh berterima kasih atas segala kesenangan dan kebahagiaan yang kamu berikan kepadaku meskipun sekejap terasa.”

Dan tiba-tiba dia memelukku erat lalumeledaklah tangisannya,”Maafkan aku, Ndre. Aku salah telah menjebakmu kedalam lembah kenistaan yang seharusnya tidak kita lakukan. Kita telah menyakiti dan mengkhiati pasangan kita dan juga anak-anak kita. Aku sungguh menyesal. Ini harus kita akhiri sampai disini.”

Perlahan aku lepaskan pelukan Lyla dari tubuhku. Tidak terasa air mataku menetes tanpa bisa kubendung. Terbersit bayangan kebahagiaan dan keceriaanku setiap hari bersama istri dan anak-anakku muncul dengan tiba-tiba. Apa yang telah aku lakukan ? Kenapa bisa sejauh ini aku lakukan dengan mantan kekasihku ?pertanyaan itu terus berteriak dari dalam hatiku. Apa jadinya kalau istriku mengetahui, apa yang aku lakukan dengan mantan pacarku. Meskipun istri dan anak-anakku, tentunya Yang Maha Tahu pasti mengatahui segala perbuatan kami. Hukuman apa yang pantas untukku Ya Tuhan.

Bayanganku menerobos kisah hukum rajam yang menakutkan itu. Jika hal ini terjadi di Afghanistan, tentu tentara Taliban akan menanam seluruh tubuhku dengan menyisakan kepala yang terlihat di permukaan tanah. Dan mereka akan melempariku dengan batu sampai aku mati.

Aku juga teringat tentang sebuah kisah yang termasyhur dalam Injil, yang dimulai di sebuah pagi di pelataran Baitullah, ketika Yesus duduk mengajar. Orang-orang mendengarkan. Tiba-tiba guru Taurat dan orang Farisi datang. Mereka membawa seorang perempuan yang langsung mereka paksa berdiri di tengah orang banyak.

Perempuan itu tertangkap basah berzina, kata mereka. ”Hukum Taurat Musa memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian dengan batu,” kata para pemimpin Yahudi itu pula. Mereka tampak mengetahui hukum itu, tapi toh mereka bertanya: ”Apa yang harus kami lakukan?”.

Sama seperti yang aku lakukan dengan Lyla, aku mengetahui hukum-hukum itu, tapi tetap saja aku terjang karena desakan birahi yang sangat dahsyat.

Bagi Yohanes, yang mencatat kejadian ini, guru Taurat dan orang Farisi itu memang berniat ”menjebak” Yesus. Mereka ingin agar sosok yang mereka panggil ”Guru” itumengucapkan sesuatu yang salah.

Para pakar Taurat dan kaum Farisi agaknya curiga, Yesus telah mengajarkan sikap beragama yang keliru. Diduga bahwa dia tak mempedulikan hukum yang tercantum di Kitab Suci; bukankah dia berani melanggar larangan bekerja di ladang di hari Sabbath? Mungkin telah mereka dengar, bagi Yesus iman tidak bisa diatur pakar hukum. Beriman adalah menghayati hidup yang terus-menerus diciptakan Tuhan dan dirawat dengan cinta-kasih.

Tapi bagi para pemimpin Yahudi itu sikap meremehkan hukum Taurat tak bisa dibiarkan. Terutama di mata kaum Farisi yang, di antara kelompok penganut Yudaisme lain, paling gigih ingin memurnikan hidup sehari-hari dengan menjaga konsistensi akidah.

Maka pagi itu mereka ingin ”menjebak” Yesus.Tapi Yesus tidak menjawab. Dia hanya membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jari-jarinya di tanah. Dan pemimpin Yahudi itu terus-menerus bertanya, Yesus pun berdiri dan berkata, ”Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah dia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Yesus membungkuk lagi dan menulis di tanah.

Suasana mendadak senyap. Tidak ada yang bertindak. Tidak seorang pun siap melemparkan batu, memulai rajam itu. Bahkan satu demi satu orang-orang itu pergi, didahului oleh yang tertua. Akhirnya di sana tinggal Yesus dan perempuan yang dituduh pezina itu, dan dia berkata, ”Aku pun tidak menghukummu. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Cerita yang hampir mirip dengan film layar lebar berjudul “Perempuan Berkalung Sorban” . Dimana seorang perempuan anak Kyai dituduh oleh suaminya sendiri telah berbuat zina dengan kekasih gelapnya. Dan gemparlah seluruh pondok pesantren, dan perempuan yang didakwa oleh suaminya telah berzina harus dihukum rajam. Pemimpin pondok pesantren yang notabene ayah kandung perempuan tertuduh, tidak mampu melakukan pembelaan kepada anaknya sendiri. Justru ibunya yang dianggapnya sebagai kaum lemah dan surganya berada dalam ketaatannya pada sang suami, mampu melakukan pembelaan dengan mempersilahkan siapa saja yang merasa tidak punya dosa untuk melempar batu yang digenggamnya. Walhasil, tidak ada satupun diantara mereka yang bersedia melakukan hukum razam karena kata-kata “Yang tidak pernah melakukan dosa yang boleh melempar batu ini”.

Aku teringat pula dengan pesan Gus Umar lewat smsnya. Dia mengatakan, kecintaan terhadap lawan jenis merupakan fitrah yang ada pada setiap manusia yang sempurna. Inilah hikmah diciptakannya manusia dengan jenis yang berbeda, berupa laki-laki dan wanita. Namun kecintaan kepada lawan jenis, seharusnya diletakkan pada tempatnya sesuai aturan syari’at. Jika tidak, maka di sinilah manusia akan hidup seperti binatang, bahkan lebih keji lagi. "Menurut firman Allah dalam Al Qura an surat Al Isra ayat tiga puluh dua ; Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk,” begitu kata Gus Umar.

Aku sungguh menyesal dan sangat malu dengan diriku sendirijika mengingat cerita-cerita itu dan mengingat apa yang telah aku lakukan bersama Lyla. Seandainya saja waktu bisa diputar, tentu aku tidak akan mengulanginya.Seandainya aku tidak terjebak dengan nafsu syahwatku untuk berjumpa dengan mantan kekasih hatiku yang sekarang telah menjadi milik pria lain, tentu hal ini tidak akan pernah terjadi dalam sejarah kehidupanku.Seandainya..ya seandainya saja tidak terlepas cinta kita, belum tentu aku bisa mendapatkan sesuatu yang terbaik dan terindah di dunia ini. Mereka adalah istri dan anak-anakku.

Tangis Lyla perlahan mulai mereda. Lalu dia bicara padaku,”Ndre, kenapa kamu mengatakan kebenaran atas kesalahan dan dosa yang kita lakukan dengan sadar ? Kenapa, Ndre ? “

“Aku tidak tahu, aku tidak tahu, Lyla ? “

“Tahu enggak, kamu itu lelaki munafik ! “ Lyla meraih dompetnya dan lari keluar kamar. Tinggal aku sendirian di dalam kamar hotel menyesali apa yang telah aku perbuat dengan Lyla. Lalu aku nyalakan HP ku.

++++++

Dering HP yang baru aku nyalakan itu mengagetkan aku. Aku simak LCD HP ku, ternyata dari istriku. “Assalamu’alaikum ? Pagi mas,gimana acara meetingnya ? Kog HP nya nggak di hidupkan dari kemarin ? Sibuk banget ya, mas ? “ sapa istriku.

“Wa’alaikum salam. Sorry, kemarin batereinya habis, nggak sempat nge charge. Super sibuk.Anak-anak gimana ?” tanyaku balik.

“Anak-anak baik-baik saja, mereka minta oleh-oleh pisang molen Bandung sama kaos bergambar mobil antik, seperti yang dulu pernah mas belikan di Cihampelas.”

“Iya, nanti aku belikan.”

“ Mas, tadi pemred kamu telpon ke rumah nanyain keberadaan kamu. Kog katanya kantor nggak nugasin mas ke Bandung? mana sih yang benar ? “

“Ini meeting sama kawan-kawan aliansi jurnalisik, kantor memang nggak tahu ?”

“Kog bisa begitu,” istriku penuh tanda tanya.

“Ya bisa lah, udah biarin aja, Nanti aku pulang pake penerbangan sore,” aku menyela untuk mengalihan pembicaraan.

“Eh..mas, ingat enggak sama Luna, teman SMA ku dulu,” dia mau curhat rupanya.

“Iya ingat, ada apa dengan dia,” kataku.

“Dia cerita kalau baru saja bertemu dengan mantan pacarnya sewaktu di bangku kuliah dulu. Kelihatannya seneng banget,” busyet, kenapa dia menceritakan sesuatu yang baru saja aku alami.

“Memang kenapa kalau bertemu mantan pacar, ada yang salah ? “ aku balik bertanya kepada istriku.

“Enggak ada yang salah sih, tapi yang aku heran dia bertanya kepadaku, apa pernah aku merasa menyesal dengan perkawinan yang aku jalani bersama kamu. Setidaknya sekali atau beberapa saat pernah menyesali yang namanya perkawinan.”

“Terus kamu jawab apa ?”

“Ya aku bilang, enggakpernah. Karena aku merasa perkawinan kita baik-baik saja. Dia minta saran, bagaimana sikapnya dia menghadapi persoalan cinta lama yang tumbuh kembali dalam hatinya sejak pertemuannya dengan mantannya itu. Dia bingung, harus meninggalkan suaminya yang selama ini dianggapnya tidak pernah membuatnya bahagia, atau tetap bertahan karena malu sama cemooh orang tua dan saudara-saudaranya. Kalau menurut mas, gimana ,” mati aku. Seandainya kamu merasakan penyesalanku atas peristiwa yang baru saja terjadi diriku,tentu kamu tidak akan menyodorkan pertanyaan yang menyakitkan itu kepadaku.

“Dia yang merasakan, ya dia sendiri dong yang harus menentukan pilihan, kenapa kamu yang dimintain pendapat,” jawabku dengan intonasi meninggi.

“Kog jadi sewot begitu, mas kenapa sih ? ada yang salah ya dengan ucapanku ?” balasnya dengan nada lembut.

“Sorry, aku terbawa emosi. Aku membayangkan kalau aku menjadi suaminya Luna, ya tentu saja ada rasa marah, cemburu, dendam, dan seabreg kejengkelan dan kekecewaan yang mengalir dalam darahnya yang mematikan logika dan perasaannya. Memang selama ini perkawinan mereka tidak bahagia ? Kira-kira apa yang menyebabkan ketidakbahagiaan itu. Suruh dia mencari akar permasalahan yang membuat rumah tangganya tidak harmonis itu.”

“Ya, itu dia yang aku nggak tahu. Kalau menurutku, persoalan ekonomi rumah tangganya yang amburadul itu yang membuat Luna tidak kuat.Bayangkan mas, delapan tahun menikah, ekonomi mereka bukannya tambah baik tapi tambah buruk. Kasihan Luna, dia merasa menyesal telah salah memiih Arif pasangan hidupnya.”

“Kenapa nggak minta cerai saja,” kataku pelan dengan nada bergetar.

“Nggak semudah itu mas, karena ada anak. Ada image buruk tentang kehidupan janda yang sudah memiliki anak, ada gengsi dan rasa malu, pokoknya kompleks deh.”

“Ya menurutku, kalau sudah tidak ada rasa kebahagiaan dalam kehidupan Luna secara pribadi, mending dia minta cerai biar bebas. Dia harus membicarakannya secara baik-baik dengan suaminya, biar perpisahan mereka juga terjadi atas keihlasan masing-masing pihak. Sehingga tidak ada dendam diantara mereka berdua,” air mataku meleleh tidak terkendali. Sesekali suara isakku terdengar meninggi.

“Mas kenapa, kog seperti nangis. Mas nangis, ya ? “ aku coba menahan desakan sesuatu yang menyesak didalam dada.

“Enggak, agak pilek aja. AC kamarnya terlalu dingin,” kataku sambil acting seolah aku bersin dan mengusap ingus pilekku.

“Oooo..kirain nangis. Masak diajak ngobrol istri, nggak ada hujan nggak ada angin, menangis..hehehe.”

“Hehehehe….” Aku mencoba mengimbangi ketawa istriku meskipun air mataku tetap mengalir tidak bisa aku kendalikan. Oh Tuhan, kog aku merasa sangat berdosa kepada istriku. Dia sungguh istri yang sempurna buat diriku.

“Terus, gimana ya caranya kasih saran ke Luna, agar dia berpisah kepada suaminya. Kog rasanya aku takut kualat. Kan nggak baik mensarankan teman untuk bercerai, meskipun itu halal. Tapi kan dibenci Tuhan ? “

“Ya kalau nggak bisa kasih saran yang mampu dijadikan solusi, sebaiknya jangan deh. Sensitif, dan rawan konflik. Bisa-bisa kalau si Arif tahu, kamu yang dilabraknya nanti,” kataku.

“iya deh, aku akan sampaikan kepadanya tidak ikut campur urusan rumah tangga mereka. Aku yakin, Luna akan menemukan jalan keluar yang terbaik,” katanya yang membuat bibirku ini bergetar, dan didalam hati aku berucap : Sungguh aku beruntung memiliki istri baik dan perhatian seperti kamu, Nung ?

“Mas,…mas…hallo… Kog nggak dijawab.”

“Aku disini, sayang ? “ jawabku dan air mataku terus mengalir semakin deras.

“Kamu nggak pa pa kan ? Kog tumben panggil aku sayang, biasanya kalau nggak Nung ya Yung. Hayoo…. ada apa ?” goda istriku.

“Nggak ada apa-apa, aku kangen sama kamu. Aku baru sadar kalau kamu itu ternyata istri yang baik, tawadu’ sama suami, nggak rewel, dan cantik,” dan air mata ini terus saja mengalir.

“ Halah gombal. Yo wis kangennya diterusin nanti malam aja di rumah. Ati-ati ya, Mas. Assalamu’alaikum,” aku masih menempelkan HP ku di dtelinga kananku meskipun istriku sudah menutupnya.

“Wa’alaikum salam,” aku tersadar dan aku tuntaskan penyesalanku dengan menangis sejadi-jadinya meratapi kejadian nista yang aku lakukan bersama Lyla. Ternyata baru aku mengerti, bahwa cinta yang tidak bisa saling memiliki, seharusnyatidak saling menyakiti. Ah..seandainya saja. (****)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun