Dua minggu yang lalu tepatnya pada 15 November 2010 saya berhasil ketemuan denganLik Bimo dan Aniezt, sekedar nongkrong sambil makan bakmi Jawa di Alun-alun Lor Jogjakarta. Walaupun sudah lebih dari dua jam, namun karena obrolan masih terasa asyik sementara warung bakminya sudah mau tutup maka kitapun sepakat berpindah tempat menuju Alkid (alun-alun kidul). Lumayan sampai menjelang Subuh kita baru bubaran...
Banyak hal yang kami obrolkan disana, baik menyangkut keadaan Merapi dan pernik-perniknya (yang kebetulan masing-masing dari kita memang menjadi relawan namun bukan satu team), ataupun masalah komplek lainnya. Hanya saja ada satu bahan pertanyaan yang saat itu sempat kuungkapkan secara sekilas kepada Aniez yaitu mengenai spanduk yang kami temukan disepanjang jalan bertuliskan "Jogja siap referendum - ndherek ngersa dalem", pun kalimat lain yang bernada serupa.
Pertanyaan saya sebenarnya klise, referendum buat apa...? Merdeka...? (seperti Timor-Leste).Tanpa jawaban kita hanya nyengir saja menyikapinya, karena memang kita lahir dan besar di tlatah Ngayogyakarta Hadiningrat yang pada dasarnya toh juga sudah sama-sama tahu bahwa sang pemimpin adalah Ngersa Dalem Kanjeng Sultan Hamengku Buwono.
TRESNA NGERSA DALEM
Sedari kecil kita (saya) tak pernah merasakan apa yang dinamakan "memilih seorang Gubernur Kepala Daerah". Dan kami kebanyakan warga Jogja sepertinya juga sepakat dan tak mau mengusulkan itu karena kami sebagai rakyat ini juga pingin langsung menjadi aktif (bukan pasif) dalam menjalankan fungsi kontrol kepada penguasa (Jogja).
Yang kita inginkan dari seorang pemimpin itu adalah yang bisa tahu dan mengerti tentang keadaan rakyat yang dipimpinnya, yang kita mau dari seorang pemimpin adalah yang bisa memanusiakan manusia (menungsak'ke manungsa), tak ketinggalan yang kita harapkan dari seorang pemimpin itu adalah sosok yang mampu melayani karena hakekatnya adalah bertugas sebagai ABDI. Dan untuk kepemimpinan Sultan sampai dengan saat ini sepertinya juga tak berlebihan apabila saya katakan lumayan bisa mengayomi warga yang ada di Jogja.
Saya bukanlah orang yang berasal dari keluarga berada. Simbah putri saya pun dulunya hanya seorang batur a.k.a Pembantu. Jadi semoga tak dianggap terlalu muluk dalam memberikan satu nilai yang sifatnya subyektif, pada khusunya mengenai Ngersa Dalem.
Sedari kecil pula saya berada dikampung dan sempet ngaji di komplek Masjid dan pesantren perkampungan saya tinggal. Kebetulan keberadaan Masjid tersebut dikitari oleh sarehan (kuburan). Dan semenjak Kanjeng Sultan yang kesembilan masih sugeng (hidup) ada satu pesarehan yang beberapa kali dikunjungi oleh Kanjeng Sultan dalam rangka ziarah kubur mengirim doa pun tak lupa simbolik kembangnya. Tradisi itu sepertinya berlanjut ke Ngersa Dalem yang kesepuluh ini.
Selebihnya, semoga teman-teman tak heran kalau yang meninggal dikubur disitu dan di kunjungi ziarah kubur itu dulunya hanyalah juga seorang mBok Emban alias batur yang kelasnya sama dengan gedibal, pekathik, jongos ataupun kacung.
Yang musti di ingat adalah, bahwa kunjungan beliau ini mau pagi, sore, siang ataupun malam jarang sekali saya lihat adanya pengawalan khusus dari pihak keamanan..!
Pada tahun 1998, mungkin sebagian teman-teman sudah sempat mengetahui dan bahkan mungkin ada yang menjadi pelakunya, bahwa hampir setiap kampus di semua kota besar Indonesia terjadi demonstrasi. Saya ingat sekali, sebagaimana yang saya lihat dengan mata kepala sendiri bahwa kala itu sebagai motor penggerak adalah Amien Rais dan teman-teman kampus yang ada di Jogjakarta.
Sementara sebagai buntutnya adalah adanya kerusuhan Mey 1998. Tak hanya Jakarta, banyak kota besar diluar Jakarta juga terjadi kerusuhan dan penjarahan, tak terkecuali kota terdekat dari Jogja yang rusuh adalah Solo (Surakarta Hadiningrat), selain penjarahan pun ada bakar-bakaran rumah disana. Hal ini merembet menuju arah barat dan telah sampai di Jalan Solo, namun apa yang kita saksikan saat itu...? "Sultan tak segan untuk turun ke jalan guna terjun langsung demi menjaga keamanan,m ketentraman, dan kedamaian bersama tanpa ada alasan untuk mengijinkan para perusuh bisa leluasa memerankan aksinya di Jogja."
Teringat sekali bahwa para Mahasiswa Jogja saat itupun menaruh hormat kepada Kanjeng Sultan.Dan belum lama ini, kita semua bisa menyaksikan kiprah Sultan dalam menangani letusan gunung Merapi. Banyak yang musti membutuhkan solusi atas kejadian tersebut, namun tanpa berkoar-koar layaknya pejabat yang memberikan sumbangan berrupa ulartangga serta halma beliau bisa cancut taliwanda. Jauh dari perilaku seorang kepala pemerintahan yang bisa kita saksikan melalui pesawat Televisi bahwa berkehendak berkantor-ria di Istana Jogja (Gedung Agung). Lain dari perilaku itu, dari tempat beliau ngantor-pun Ngersa Dalem tak pernah menjanjikan sesuatu kepada warga...!