Mohon tunggu...
Moh Najib Buchori
Moh Najib Buchori Mohon Tunggu... -

Alumnus PP Al-Anwar Sarang Rembang Jateng dan Al-Azhar Mesir,

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menyubsidi Pemerintah Demi Stabilitas Harga atau Manyubsidi Rakyat Miskin tetapi Harga Fluktuatif

3 April 2015   09:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:36 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fluktuasi harga BBM membuat matematika saya tentang tarif angkutan jadi nggak jalan. Ketika premium naik menjadi 8500 tarif angkutan ikut naik. Menurut matematika saya, seharusnya tarif angkutan tidak naik lagi dengan alasan kenaikan BBM sebelum harga premium di atas 8500. Yang terjadi sekarang, harga BBM dari 8500 turun menjadi 7500 tarif angkutan tidak ikut turun. Ketika turun lagi menjadi 6600 tarif angkutan tetap tidak turun. Kemudian naik menjadi 6900 tarif angkutan tidak latah ikut naik. Tapi ketika kemudian naik lagi menjadi 7400 tarif angkutan minta dinaikkan.

Kalau harga BBM naik tarif angkutan ikut naik, kalau turun nggak mau ikut turun. Selama ini tarif angkutan memang tidak mengikuti slogan”suwargo nunut neroko katut”. Tarif angkutan itu seperti jabatan: begitu naik enggan turun. Udah gitu kalau tarif angkutan naik harga-harga ikut naik. Kalau harga-harga sudah naik juga ikut-ikutan enggan turun.

Memang sih, waktu Jokowi mengumumkan akan menurunkan harga premium di kisaran 6500, ia berkomitmen akan menurunkan harga-harga lain. Kalau harga beras, minyak goreng dan gula, pemerintah sudah membuktikan bisa menurunkan harga. Tetapi bagaimana dengan sayur mayur, ikan laut, tempe, tahu, daging, ayam, telur, dan belanjaan lain yang terlanjur naik? Bagaiman dengan mendoan, ote-ote, bakwan jagung yang terlanjur dibonsai? Bagaimana dengan bakso, rujak, kolak yang terlanjur pakai porsi mini? Apa setelah BBM turun harga belanjaan ibu-ibu juga turun? Nggak tuch. Apa mendoan dan kawan-kawan kembali ke ukuran semula? Nggak juga. Apa bakso dan kawan-kawan porsinya kembali normal? Sama sekali tidak.

Bukan pada tempatnya fluktuasi harga pertamax disamakan dengan fluktuasi premium dan solar. Sebab, perubahan harga premium dan solar memiliki efek domino terhadap perubahan barang-barang lain.

Kalau saya yang jadi presiden, setelah harga BBM dinaikkan tidak akan saya ubah harga itu sampai harga pasar (terjemahan awam dari harga keekonomian)  melebihi harga yang telah saya tetapkan atau kurang dari setengahnya. Misalnya, setelah pada bulan november 2014 harga saya naikkan menjadi 8500, maka meskipun bulan berikutnya harga pasar BBM turun, harga jual BBM tidak saya turunkan. Saya hanya akan menurunkan harga BBM kalau harga pasar melebihi 8500 atau kurang dari 4250. Dengan begitu harga relatif stabil.

Lalu bagaimana dengan selisih harga pasar dengan harga jual? Misalnya, harga pasar premium adalah 7500 tetapi dijual pemerintah 8500 berarti ada surplus 1000 untuk pemerintah. Untuk apa surplus 1000 rupiah tersebut? Anggap saja surplus 1000 rupiah per liter sebagai “subsidi” pengguna BBM kepada pemerintah yang digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Toh 70 persen lebih jatah BBM dikonsumsi orang kaya. Dengan demikian yang menyubsidi pemerintah adalah orang-orang kaya dan dipersembahkan kepada golongan lemah melalui pemerintah.

Atau saya akan mengambil kebijakan yang menjadikan rakyat terbiasa dengan fluktuasi harga BBM. Misalnya, akan saya biarkan harga BBM berfluktuasi sesuai mekanisme pasar. Pada saat yang sama saya juga mengundang pesaing pertamina untuk membuka pompa bensin dan berlomba-lomba menjajakan BBM terbaik kepada konsumen akhir dengan harga semurah-murahnya. Dengan kebijakan ini saya yakin tidak akan ada lagi antrean jerigen yang mengular di pompa bensin. Tidak akan ada lagi panter yang tankinya dimodifikasi agar bisa memuat solar hingga 200 liter. Tidak akan ada lagi colt diesel yang mengisi solar full tank berkali-kali dalam sehari.

Untuk menjawab Keputusan MK yang melarang pemerintah menyerahkan harga BBM kepada mekanisme pasar, saya akan katakan bahwa harga BBM tidak dilepas ke mekanisme pasar, melainkan ditetapkan pemerintah berbasis harga pasar. Saya akan bikin harga BBM bergerak cepat merespon harga pasar. Perubahannya bisa per hari, per jam bahkan per detik seperti perubahan harga saham di bursa efek. Ketetapan pemerintah tentang perubahan harga saya cantumkan dalam panel harga di pompa-pompa bensin. Jadi kalau masyarakat ingin tahu harga BBM, datang aja ke pompa bensin dan lihat di panel harga atau lihat di running text televisi atau di internet.

Konsekwensinya saya akan membiarkan tarif angkutan berfluktuasi sesuai dinamikanya. Saya tidak akan mengatur tarif angkutan. Silahkan para pengusaha angkutan berlomba-lomba menawarkan pelayanan prima dengan harga semurah mungkin. Demikian pula harga barang dan jasa, kecuali beras, minyak goreng dan gula, saya serahkan kepada mekanisme pasar.

Untuk mendukung daya beli masyarakat miskin agar tetap bertahan hidup di dalam sistem “harga keekonomian”, saya akan keluarkan kartu ajaib seperti kantong ajaibnya dora emon dan saya bagikan kepada seluruh rakyat yang masuk kategori miskin. Pemegang kartu ajaib akan mendapatkan diskon setiap kali melakukan transaksi sepanjang saldo di kartu ajaib mencukupi. Caranya, tinggal gesekkan aja kartu ajaib ke mesin gesek. Tagihan yang diakibatkan dari transaksi kartu ajaib akan langsung dimasukkan pemerintah ke rekening pemilik mesin gesek segera setelah kartu ajaib digesekkan. Untuk memperluas jangkauan kartu ajaib, pemerintah akan memberikan insentif kepada pelaku usaha di semua level yang menyediakan mesin gesek, termasuk pelaku usaha bakul rujak, pangkas madura, bakso gerobak dan tukang parkir. Untuk menentukan jatah diskon per bulan bagi pemegang kartu ajaib akan saya perintahkan para menteri ekonomi dan menteri keuangan untuk merumuskannya. Saya akan perintahkan mereka untuk menghitung dengan seksama dan secermat-cermatnya berdasrkan prinsip keberpihakan kepada wong cilik.

Jika seluruh upaya sungguh-sungguh yang saya lakukan untuk menyejahterakan rakyat ternyata justru menyengsarakan rakayat, maka secara psikologis saya masih berhak merasa tidak berdosa. Sebab, apa yang saya lakukan adalah ijtihad politik, dan karenanya sekurang-kurangnya saya masih mendapatkan satu pahala.

Sebagai pertangungjawaban kepada rakyat akan saya katakan, “apapun akibat yang ditimbulkan oleh kebijakan saya, pasti semua sepakat bahwa dalam hal ini saya telah berjasa memberikan pengalaman nyata kepada bangsa ini tentang pahitnya sistem ekonomi yang saya terapkan. Seharusnya bangsa Indonesia berterima kasih kepada saya, karena dengan kebijakan yang saya terapkan, bangsa Indonesia menjadi tahu betapa buruknya sistem ekonomi ini bukan dari teori-teori yang diajarkan di bangku kuliah, bukan pula berdsarkan ‘katanya... katanya...’ , melainkan tahu berdasarkan pengalaman nyata. Pengetahuan yang dihasilkan dari pengalaman nyata tentu lebih kuat dibanding pengetahuan berdasarkan teori. Saya juga berjasa memberikan pelajaran kepada pemimpin mendatang agar bangsa Indonesia agar tidak jatuh di lubang yang sama”.

Akhirnya saya dipecat dengan sadis dan bengis, bukan oleh rakyat, tetapi oleh lawan-lawan politik yang sudah lama geram, karena tidak mampu menjatuhkan popularitas saya di mata rakyat. Saya sadar bahwa sebenarnya popularitas saya hanyalah popularitas artifisial, bukan popularitas yang lahir dari kinerja. Saya yakin, masih banyak orang baik di negeri ini yang bisa bekerja dengan tulus untuk memajukan dan menyejahterakan bangsa. Sayang, mereka tidak punya akses kekuasaan yang memadai. Mungkin ada yang salah dalam sistem politik kita, sehingga orang-orang yang benar tidak bisa menduduki jabatan yang benar. Bisa jadi sistem politik kita justru yang menghambat terjadinya “the right man on the right place”.

Akhirnya sayapun sadar bahwa saya bukan seorang presiden dan mungkin selama hidup tidak akan pernah merasakan jadi presiden. Saya hanya menghayal jadi presiden. Kalaupun saya jadi presiden, belum tentu saya mengambil kebijakan imajiner tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun