"Sungguh tidak adil, aku tidak pernah mengecap rasa makanan yang enak. Tidak pernah membaui harumnya masakan yang mengundang selera. Tidak pernah menyentuhnya pada saat buah apel, durian, anggur masih ranum dan menggoda nafsu makan. " Anus menggumam memprotes keberadaan dirinya.
"Tapi kenapa aku hanya digunakan saat semuanya telah menjadi busuk? Hanya diingat pada pagi hari saat semua makanan menyisakan ampas yang selalu membuat orang tutup hidung? Aku hanya menjadi pemeran terakhir dari sebuah proses bersenang-senang. Aku selalu kalah oleh mulut, mata dan tangan. Sungguh tak ada keadilan sama sekali. Aku muak dengan pembagian tugas yang sangat timpang ini. Aku tidak terimaaa... Nasibku tak sebaik tetangga-tetanggaku."
Pagi itu Anus terus memprotes keberadaan dirinya. Sulit memahami kenyataan hidup, bahwa selalu ada bagian-bagian tubuh dengan berbagai peran yang tak mungkin dipersamakan. Demikian juga tetangga yang lain, si Tangan Kiri yang selalu tak seberuntung tangan kanan.
"Wahai Anus, jujur saja aku juga bisa dikatakan senasib dengan dirimu. Meskipun tak seburuk nasibmu. Tetangga dekatku si Tangan Kanan selalu lebih baik nasibnya. Ia yang selalu menerima uang, bersalaman dengan orang-orang dan mengambil makanan lebih dulu. Aku selalu dinomor duakan hanya jika dia memerlukan bantuan. Sementara untuk membersihkan hal-hal yang kotor, selalu aku yang disuruh, termasuk membersihkanmu dari kotoran manusia. Adilkah itu? Sungguh aku muak dengan kenyataan ini!" Anus dan Tangan Kiri akhirnya bersekutu karena merasa senasib. Protes terhadap ketidakadilan harus dilakukan. Jika tidak seumur hidup akan mengalami perlakuan yang tak berubah, dan selalu menjadi bagian yang tak menyenangkan.
Demikian juga Mata, Telinga, Hidung semua memprotes keberadaan dirinya yang tak seberuntung organ yang lain.
Diam-diam Hati mendengar perbincangan mereka, yang mau tidak mau ia angkat bicara.
"Wahai teman-teman, tahukah kalian bahwa kalian semua adalah wujud dari keadilan itu sendiri. Kontribusi kalian sama besar untuk kelangsungan hidup manusia. Kalian adalah pahlawan kehidupan, karena manusia tanpa salah satu dari kalian akan membuat hidup tidak berjalan sebagaimana mestinya. Tugas kalian memang tak sama, ada yang enak dan ada yang tak menyenangkan. Tapi bukan berarti kalian lebih mulia atau lebih hina dari yang lain. Itu hanyalah ketetapan dari yang menciptakan kalian."
"Tapi Hati, saya tetap merasakan ini sebuah ketidakadilan. Meski kamu bilang ini atas nama kontribusi kehidupan, atau kami adalah pahlawan kehidupan. Itu tak membuatku merasa lebih berharga." Anus menimpali nasehat Hati.
"Coba bayangkan Anus, jika semua anggota tubuh mempunyai peran yang sama. Semua hanya berperan 'melihat' seperti yang dilakukan oleh mata. Padahal kehidupan membutuhkan asupan air dan makanan. Siapa yang akan mengunyah makanan? Lalu jika semua berperan sebagai mulut yang bertugas mengunyah makanan, lalu siapa yang akan memproses? Bisakah makanan berhenti di mulut tanpa melibatkan perut, lambung, usus halus dan usus besar? Lalu bisakah kehidupan hanya diserahkan kepada perut yang selalu memproses makanan, tanpa ada yang membuang sampahnya? Disinilah peranmu yang sangat vital. Tanpa Anus, manusia akan kembung karena sampahnya mengumpul di perut tanpa ada jalan keluar. Tegakah kamu melihat penderitaan perut".
"Lalu apa maksud tugas kami dibeda-bedakan?"
"Tugas kita sebenarnya sama. Mengabdi dan menghamba. Kita semua hanyalah ciptaan. Bukan soal enak dan tidak enak keadilan itu diukur. Seberapa besar totalitas kita menjalankan apapun peran kita sehingga kehidupan berlangsung dengan baik, itu yang penting. Karena enak dan tidak enak pun bisa terjadi pada apapun dan sifatnya relatif sesuai dengan persepsi dan cara pandang terhadap keberadaan diri." Hati mencoba menenangkan Anus dan Tangan Kiri dengan penjelasan dan perumpamaan.