Beberapa hari lalu Shin Tae Yong dinyatakan dipecat sebagai pelatih Timnas Indonesia dan kemudian digantikan Patrick Kluivert. Pemecatan ini sejujurnya adalah hal yang sama sekali tidak terduga, terlebih, Shin Tae Yong dan Indonesia seolah telah melakukan penyatuan jiwa dan raga, seolah seperti konsep ecobodysme yang digagas Wahyu Trisno Aji belakangan ini; satu tapi tidak menyatu.
Shin Tae Yong memang berasal dari Korea, namun, kok, rasanya seolah ia lahir dan dibesarkan di Indonesia? Bagaimanapun juga, susah untuk melepaskan rasa bahwa Shin Tae Yong yang telah menjadi bagian kita; seolah murni berasal dari Indonesia, seperti pemain naturalisasi-naturalisasi lainnya yang kenegaraannya hybrid sehingga dianggap bangsa Indonesia.
Di media sosial, pemecatan Shin Tae Yong hingga saat ini masih menjadi sorotan. Penggantinya, Patrick Kluivert masih ditolak oleh masyarakat Indonesia dan kejahatan masa lalunya malah menjadi hal-hal yang muncul ke publik. Pertanyaannya, apakah Kluivert mampu melampaui prestasi Shin Tae Yong? Kemungkinan besarnya, tidak. Kita pun tidak boleh terlalu mengharapkan hal tersebut.
Dibandingkan Kluivert sebagai coach yang baru, prestasi asisten Kluivert tersebut malah mendapatkan  lebih sering sinaran oleh masyarakat. Masyarakat nampaknya tidak terlalu berharap pada Kluivert, namun untuk asistennya, hal itu patut diperbincangkan.
Tulisan ini akan sedikit merangkum hal-hal yang terjadi belakangan ini, terkhususnya tentang pemecatan Shin Tae Yong dan konspirasi-konspirasi yang dimunculkan publik melalui media maya Instagram. Dan tulisan ini, mungkin akan saya lempar melalui sebuah pertanyaan; mengapa Shin Tae Yong dipecat?
Sekilas, salah seorang yang pernah mengakui sebagai orang yang pernah berada di staff timnas menyimpulkan bahwasanya pemecatan Shin Tae Yong terjadi akibat masalah-masalah yang berada di luar rumput. Sederhananya, masalah ini adalah masalah personal.
Menjadi coach atau leader adalah tanggung jawab yang besar sebab mesti menyatukan visi sekaligus menyelesaikan misi yang diberikan instansi. Nampak adanya ketidaksesesuaian konseptor dan aktor yang bisa saja terjadi akibat miskomunikasi atau kecemburuan sosial. Ketidaksesuaian inilah yang kemudian menjadi penyebab keretakan sebuah tim, dan ini jugalah yang menjadi problem STY.
Teori itu muncul sebab pada pertandingan melawan salah satu negara, Shin Tae Yong terkesan coba-coba. Beberapa pemain berkualitas dibiarkan di bangku subtitusi dan pola serangan cenderung sama, yang mana pada beberapa laga Indonesia terus menerus mengalami kekalahan.
Jika dikaitkan, maka masalah Shin Tae Yong tersebut bisa saja dengan tokoh-tokoh yang ada pada bangku subtitusi tersebut. Ketidakmauan Shin Tae Yong melepaskan mereka bisa jadi karena kesalahan Shin Tae Yong sendiri yang tidak mau, oversubjektif, atau bisa jadi karena ketakutan Shin Tae Yong bahwa pemain tersebut akan bertindak 'tidak baik'.
Yang jelas, Shin Tae Yong, Timnas, atau PSII gagal memperbaiki kaca retak yang muncul di luar lapangan hijau dan jika dibiarkan terus akan menjadi problem di masa yang akan datang. Alhasil, Shin Tae Yong dipecat.
Selain hal tersebut, ada juga teori kedua yang mengatakan bahwasanya Indonesia akan lolos ke Piala Dunia.
Teori ini hingga saat ini masih diperbincangkan dan banyak hal mulai dikait-kaitkan. Misalnya, akun instagram sepakbola asing yang kerapkali menyorot liga luar kini menyorot Indonesia dengan melakukan postingan pada akunnya. Ini adalah hal yang langka, bahkan jika diperbolehkan bisa masuk ke 7 keajaiban dunia sepak bola Indonesia.
Kemal Pahlevi juga menjadi salah satu pelopor teori ini sehingga teori ini mengalami tipping point. Hematnya, teori ini menjelaskan bahwasanya ada sebuah karpet merah untuk Indonesia agar bisa masuk piala dunia. Tapi pertanyaannya, mengapa bisa?
Jawaban yang paling mendekati dugaan tersebut adalah sebab adanya bisnis yang dijalankan FIFA. Awalnya hal ini membuat saya mengerutkan dahi, namun jika dipikir-pikir, ada benarnya juga.
Idealnya, politik, bisnis, dan olahraga (terkhususnya bola), tidak boleh disatukan sebab akan menjadi asal muasal kecurangan dalam sportivitas. Namun kita baru saja bicara 'idealnya' atau semestinya, bukan realistisnya.
Nyatanya olahraga telah menjadi sarang bisnis yang legit sehingga rawan dipolitisasi. Tidak usah kemana-mana, mari berkaca kepada pertandingan Indonesia melawan Bahrain yang hingga kini memunculkan kosa kata 'bahrain' sebagai kosakata kecurangan. Susah untuk mengatakan bahwa wasit botak itu tidak memihak dan bersikap idealis dalam permainan kemarin.
Tapi apa hubungan politik dan bisnis dalam pemecatan Shin Tae Yong ini sehingga Patrick Kluivert terpilih menjaci coach yang baru?
Premisnya, begini. Pertama, Indonesia adalah negara penggila sepakbola. Kedua, Piala Dunia akan segera dilaksanakan, Ketiga, sepak bola sudah terikat dengan bisnis dan politik.
Piala dunia akan dilaksanakan pada 11 Juni hingga 19 Juli pada tahun 2026. Kuat dugaan bahwasanya pertandingan itu akan dilaksanakan pada pagi hari yang mana waktu itu adalah waktu orang bekerja sehingga stadion kemungkinan sepi penonton. Tidak mau dirugikan, sepak bola yang terikat dengan bisnis dan politik menginginkan Indonesia yang gila sepakbola masuk ke Piala Dunia agar menjadi pemasukan utama dan akan meningkatkan keuangan negara. Maka dengan Indonesia yang masuk piala dunia, orang Indonesia akan menonton ke stadion, menyewa hotel, mencoba pariwisata-pariwisata sehingga membantu perekonomian mereka.
Teori ini memang rasional namun nampak diragukan. Misalnya, kendati gila sepak bola belum tentu juga masyarakat akan berbondong-bondong tamasya ke negara tersebut, menimbang masyarakat kita memiliki ekonomi yang layak diperbincangkan. Namun, bagaimana jika target mereka adalah kalangan elit? Masih menjadi pertanyaan.
Lalu apa kaitan pemecatan Shin Tae Yong dengan Piala Dunia ini? Karena Indonesia memiliki peluang besar untuk masuk piala dunia, Maka STY mesti dipecat. Pemecatan Shin Tae Yong dilakukan sebab kegagalan PSII menyatukan kembali retakan-retakan kaca yang berada di luar lapangan hijau. Maka dari itu, bisa jadi, mediasi yang terbaik adalah pemecatan Shin Tae Yong itu sendiri. Namun terbaik versi siapa? Mafia sepakbola? Bung Towel bolehlah angkat suara.
Begitulah dua teori tentang pemecatan Shin Tae Yong yang ramai dibahas di media sosial, khususnya Instagram. Saya pribadi tidak tahu benar-salahnya, terlebih kenyataan bahwa bisnis dan politik adalah dua hal yang dinamis, dan kadangkala terlalu dinamis hingga tidak lagi bisa ditebak.
Tidak perlu jauh-jauh, politik pak Jokowi misalnya. Tidak bisa ditebak, bukan?
Tulisan ini bisa jadi dipengaruhi karya-karya Bur Rasuanto dalam buku Saya Berambisi Jadi Presiden dan pembicaraan masyarakat maya di Instagram. Begitulah tulisan ini saya buat, dan terimakasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI