Teori ini hingga saat ini masih diperbincangkan dan banyak hal mulai dikait-kaitkan. Misalnya, akun instagram sepakbola asing yang kerapkali menyorot liga luar kini menyorot Indonesia dengan melakukan postingan pada akunnya. Ini adalah hal yang langka, bahkan jika diperbolehkan bisa masuk ke 7 keajaiban dunia sepak bola Indonesia.
Kemal Pahlevi juga menjadi salah satu pelopor teori ini sehingga teori ini mengalami tipping point. Hematnya, teori ini menjelaskan bahwasanya ada sebuah karpet merah untuk Indonesia agar bisa masuk piala dunia. Tapi pertanyaannya, mengapa bisa?
Jawaban yang paling mendekati dugaan tersebut adalah sebab adanya bisnis yang dijalankan FIFA. Awalnya hal ini membuat saya mengerutkan dahi, namun jika dipikir-pikir, ada benarnya juga.
Idealnya, politik, bisnis, dan olahraga (terkhususnya bola), tidak boleh disatukan sebab akan menjadi asal muasal kecurangan dalam sportivitas. Namun kita baru saja bicara 'idealnya' atau semestinya, bukan realistisnya.
Nyatanya olahraga telah menjadi sarang bisnis yang legit sehingga rawan dipolitisasi. Tidak usah kemana-mana, mari berkaca kepada pertandingan Indonesia melawan Bahrain yang hingga kini memunculkan kosa kata 'bahrain' sebagai kosakata kecurangan. Susah untuk mengatakan bahwa wasit botak itu tidak memihak dan bersikap idealis dalam permainan kemarin.
Tapi apa hubungan politik dan bisnis dalam pemecatan Shin Tae Yong ini sehingga Patrick Kluivert terpilih menjaci coach yang baru?
Premisnya, begini. Pertama, Indonesia adalah negara penggila sepakbola. Kedua, Piala Dunia akan segera dilaksanakan, Ketiga, sepak bola sudah terikat dengan bisnis dan politik.
Piala dunia akan dilaksanakan pada 11 Juni hingga 19 Juli pada tahun 2026. Kuat dugaan bahwasanya pertandingan itu akan dilaksanakan pada pagi hari yang mana waktu itu adalah waktu orang bekerja sehingga stadion kemungkinan sepi penonton. Tidak mau dirugikan, sepak bola yang terikat dengan bisnis dan politik menginginkan Indonesia yang gila sepakbola masuk ke Piala Dunia agar menjadi pemasukan utama dan akan meningkatkan keuangan negara. Maka dengan Indonesia yang masuk piala dunia, orang Indonesia akan menonton ke stadion, menyewa hotel, mencoba pariwisata-pariwisata sehingga membantu perekonomian mereka.
Teori ini memang rasional namun nampak diragukan. Misalnya, kendati gila sepak bola belum tentu juga masyarakat akan berbondong-bondong tamasya ke negara tersebut, menimbang masyarakat kita memiliki ekonomi yang layak diperbincangkan. Namun, bagaimana jika target mereka adalah kalangan elit? Masih menjadi pertanyaan.
Lalu apa kaitan pemecatan Shin Tae Yong dengan Piala Dunia ini? Karena Indonesia memiliki peluang besar untuk masuk piala dunia, Maka STY mesti dipecat. Pemecatan Shin Tae Yong dilakukan sebab kegagalan PSII menyatukan kembali retakan-retakan kaca yang berada di luar lapangan hijau. Maka dari itu, bisa jadi, mediasi yang terbaik adalah pemecatan Shin Tae Yong itu sendiri. Namun terbaik versi siapa? Mafia sepakbola? Bung Towel bolehlah angkat suara.
Begitulah dua teori tentang pemecatan Shin Tae Yong yang ramai dibahas di media sosial, khususnya Instagram. Saya pribadi tidak tahu benar-salahnya, terlebih kenyataan bahwa bisnis dan politik adalah dua hal yang dinamis, dan kadangkala terlalu dinamis hingga tidak lagi bisa ditebak.
Tidak perlu jauh-jauh, politik pak Jokowi misalnya. Tidak bisa ditebak, bukan?